Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prabowo Subianto memaparkan presentasi berjudul
PT Teknologi Militer Indonesia atau PT TMI disebut cawe-cawe dalam pengadaan alutsista.
Pendirian PT Teknologi Militer Indonesia dianggap melanggar Undang-Undang Yayasan.
TERDIRI atas lebih dari 25 lembar, presentasi berjudul “Perisai Trisula Nusantara” disampaikan Prabowo Subianto di hadapan anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 2 Juni lalu. Menteri Pertahanan itu membeberkan berbagai persoalan dalam alat utama sistem persenjataan (alutsista) Tentara Nasional Indonesia. “Beliau menjelaskan semua hal secara logis dan kami dapat memahaminya,” ucap anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Sugiono, Kamis, 3 Juni lalu.
Dua anggota Komisi Pertahanan bercerita, Prabowo mencontohkan amunisi yang dimiliki personel Angkatan Darat bakal habis dalam perang tiga hari. Ketua Umum Gerindra itu lalu mengatakan nantinya bekal pokok prajurit Angkatan Darat bisa untuk bertahan hingga 60 hari. Dalam rapat tertutup itu, Prabowo juga menyampaikan rencana belanja senilai US$ 55,27 miliar atau sekitar Rp 786,215 triliun, dengan kurs Rp 14.225 per dolar Amerika Serikat.
Menurut politikus yang sama, angka itu merupakan bagian dari rencana belanja senilai US$ 124,995 atau setara dengan Rp 1.778 triliun yang terdapat dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2021-2024. Pada akhir Mei lalu, rancangan tersebut bocor ke publik.
Dalam rapat di Komisi Pertahanan, Prabowo juga menyampaikan niatnya membeli sejumlah alutsista. Misalnya, dia akan mendatangkan 36 pesawat tempur Dassault Rafale dari Prancis. Tahun lalu, Prabowo dua kali berkunjung ke negara itu, yaitu pada Januari dan Oktober 2020. Saat itu, Prabowo bertemu dengan Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly dan menyebut Indonesia akan mengembangkan kerja sama untuk memperkuat alat utama sistem persenjataan. “Dan memajukan kapasitas industri pertahanan Indonesia sebagai bagian global production chain produk alutsista,” ujar Prabowo, Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (tengah), dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 2 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo juga berencana membeli 36 pesawat tempur F-15EX buatan Boeing, Amerika Serikat. Awalnya, bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu berniat membeli jet F-35 yang merupakan produk hasil konsorsium Joint Strike Fighter (JSF), yang beranggotakan antara lain Inggris, Australia, Belanda, dan Turki. Sejumlah sumber di Kementerian Pertahanan dan anggota Komisi Pertahanan DPR menyebut Prabowo kepincut dengan pesawat itu karena memiliki mode siluman dan bisa memberikan efek gentar kepada negara tetangga. Namun Amerika tak memberikan restu terhadap rencana pembelian F-35.
Untuk Angkatan Darat, Prabowo juga berencana melanjutkan kerja sama pembelian tank Leopard buatan Rheinmettal Landsysteme GmbH asal Jerman. Pada 2013, Kementerian Pertahanan meneken kerja sama pembelian 164 unit tank Leopard. Satu tahun kemudian, 52 tank Leopard itu dikirim ke Indonesia. Ketika itu, pemimpin delegasi Indonesia yang mengikuti acara pengiriman adalah Wakil Menteri Pertahanan Sjahfire Sjamsoeddin. Sjafrie kini menjabat Asisten Khusus Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Tank Leopard ini sempat ramai dibahas dalam debat pemilihan presiden 2014. Ketika itu, Joko Widodo menyebut pembelian tank Leopard tidak tepat karena bobotnya mencapai 62 ton dan tak cocok dengan infrastruktur Indonesia. Sebaliknya, Prabowo yang saat itu menjadi rival Jokowi menyatakan Leopard bisa digunakan. Sejumlah sumber di Komisi Pertahanan DPR menyebutkan, setelah Jokowi menjabat presiden, tak ada lagi pengiriman Leopard ke Indonesia.
Menurut dua sumber di Komisi Pertahanan, Prabowo juga berencana membeli 1.200 senapan antitank Carl Gustaf buatan Saab Bofors Dynamics di Swedia. Prabowo juga berniat memboyong dua kapal Corvette Gowind dan empat kapal selam Scorpene. Kedua kapal itu merupakan buatan Naval Group dari Prancis.
Setelah Prabowo menyampaikan presentasinya, sejumlah anggota Komisi Pertahanan bertanya soal anggaran yang digunakan. Anggota komisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Effendi Simbolon, misalnya, mempertanyakan dasar hukum utang luar negeri yang hanya diatur melalui peraturan presiden. “Apa cukup dengan perpres, apalagi pembayaran utangnya melintasi lima masa pemerintahan?” tutur Effendi.
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Gerindra, Sugiono, mengatakan Prabowo mengibaratkan anggaran pembelian alutsista itu seperti proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, yang pembiayaannya merupakan utang dari Cina dan akan dibayar sampai 50 tahun ke depan. “Kalau kereta cepat itu proyek, dana pertahanan ini anggaran rutin,” ujar Wakil Ketua Harian Partai Gerindra ini, menirukan ucapan Prabowo. Menurut Sugiono, Prabowo menyatakan pertahanan yang kuat berasal dari dana yang tak terbatas.
Seusai rapat, Prabowo menjelaskan konsep induk pertahanan ke depan. Dia menyatakan berbagai alutsista di tiga matra, TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, perlu diganti. “Banyak Alutsista kita sudah tua. Memang mendesak harus diganti,” ujar Prabowo. Ihwal anggaran, Prabowo melanjutkan, Kementerian Pertahanan masih membahasnya bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, dan lembaga lain.
•••
SEPEKAN sebelum rapat di Dewan Perwakilan Rakyat, polemik pembelian alat utama sistem persenjataan mencuat ke publik. Salah satu sebabnya, anggaran senilai lebih dari Rp 1.700 triliun yang akan digunakan berasal dari utang luar negeri. Namun Komisi Pertahanan DPR akhirnya mendukung rencana peremajaan alutsista oleh Kementerian Pertahanan. “Fraksi kami meminta alutsista yang dibeli bukan barang bekas dan harus disesuaikan dengan kebutuhan TNI,” kata anggota Komisi Pertahanan DPR yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Utut Adianto.
Sejumlah politikus Senayan mengatakan rapat di DPR berjalan mulus setelah Prabowo Subianto melobi pimpinan dan ketua kelompok fraksi di Komisi Pertahanan. Pada Senin malam, 31 Mei lalu, Prabowo mengumpulkan mereka di rumahnya di Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Padahal siangnya Prabowo tak hadir dalam rapat kerja di DPR. Ia mengutus Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra untuk menghadapi anggota Komisi Pertahanan.
Utut Adianto dan anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Gerindra, Sugiono, membenarkan adanya pertemuan itu. “Hanya halalbihalal dan makan malam,” ujarnya. Namun Sugiono enggan menjelaskan isi rapat tersebut. Dua anggota Komisi Pertahanan menyebutkan dalam persamuhan itu Prabowo menjelaskan soal polemik anggaran alat peralatan pertahanan dan keamanan. Prabowo juga menceritakan kondisi pertahanan Indonesia serta munculnya PT Teknologi Militer Indonesia (TMI).
Didirikan pada 14 Agustus 2020, PT TMI diisi oleh orang-orang dekat Prabowo, seperti Glenny Kairupan yang menjabat komisaris utama. Tiga komisaris lain merupakan kader Gerindra, yaitu Wakil Sekretaris Jenderal Gerindra Angga Raka Prabowo; anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Judi Magio Yusuf; dan Prasetyo Hadi, anggota DPR dari Gerindra. Adapun posisi direktur utama dipegang oleh Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya Satrio Dimas Aditya.
Tiga bulan setelah PT TMI berdiri, Prabowo mengirim surat kepada Direktur Utama Rosoboronexport—perusahaan resmi Rusia untuk ekspor dan impor produk pertahanan—A.A Mikheev. Ia memperkenalkan perusahaan yang berada di bawah kendali yayasan milik Kementerian Pertahanan itu. Prabowo menyebutkan perusahaan itu dipimpin oleh Mayor Jenderal (Purnawirawan) Glenny Kairupan.
Anggota Komisi Pertahanan DPR dari Fraksi Nasional Demokrat, Muhammad Farhan, mengatakan pendirian perusahaan itu berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Yayasan. Sebabnya, badan usaha yang didirikan oleh yayasan harus bergerak di bidang sosial, keagamaan, atau kemanusiaan. “Yayasan tak bisa mendirikan badan usaha yang bergerak di sektor militer,” tutur Farhan.
Dalam rapat kerja pada Rabu, 2 Juni lalu, menurut anggota Komisi Pertahanan Effendi Simbolon, PT TMI kembali disorot. Anggota Dewan, Effendi menambahkan, meminta penjelasan mengenai perusahaan yang berada di bawah Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan milik Kementerian Pertahanan tersebut, yang semula bernama Yayasan Kesejahteraan, Pendidikan, dan Perumahan.
Menurut anggota Komisi Pertahanan dari Gerindra, Sugiono, Prabowo mengatakan PT TMI bukan perusahaan yang mengadakan alutsista, melainkan membantu transfer teknologi. Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Rodon Pedrason juga mengungkapkan hal yang sama. Selama ini, kata Rodon, pembelian alutsista kerap tak disertai transfer teknologi. “Masak kita ngecat dan las kapal doang?” katanya.
Sugiono mengklaim orang-orang dekat Prabowo di perusahaan itu memiliki rekam jejak teruji dalam persoalan alutsista. Adapun Sekretaris Perusahaan PT TMI Wicaksono Aji mengatakan perusahaan berisi para ahli yang mempelajari peralihan teknologi alat utama sistem persenjataan berteknologi canggih. “Kami memberikan masukan kepada pihak yang membutuhkan,” ujarnya. Adapun Glenny Kairupan tak membalas pertanyaan yang dilayangkan Tempo ke telepon selulernya.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Soleman B. Ponto, justru mencurigai PT TMI yang belum berusia setahun akan memonopoli proyek pengadaan alutsista. “Terkesan monopoli karena transfer teknologi pembelian alutsista melalui PT TMI,” katanya. Direktur Imparsial Al Araf pun mengungkapkan kekhawatirannya bahwa perusahaan itu akan menjadi broker karena semua transfer teknologi hanya melalui PT TMI.
Narasumber yang mengetahui aktivitas PT TMI mengatakan perusahaan itu terlibat dalam rencana pengadaan dan transfer teknologi pesawat tempur Dassault Rafale dan kapal selam Scorpene. Menurut sumber yang sama, Kementerian Pertahanan tidak melibatkan Panglima TNI dan sejumlah kepala staf. Proses pengadaan alutsista itu pun dimonopoli oleh Kementerian Pertahanan.
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi NasDem, Muhammad Farhan, mengatakan, dalam rapat kerja bersama Panglima TNI Hadi Tjahjanto pada 6 Mei lalu, masalah pengadaan alutsista itu juga ditanyakan. “Panglima mengatakan tidak dilibatkan,” ucapnya. Menurut Farhan, beberapa hari setelah rapat itu, Kementerian Pertahanan menggelar rapat di Lorin Hotel Sentul dengan mengundang asisten perencanaan tiga kepala staf. “Meminta tiap angkatan menuliskan kebutuhan alutsista,” ujarnya.
Itu sebabnya salah satu keputusan rapat yang digelar pada Rabu, 2 Juni lalu, menyebutkan bahwa Kementerian Pertahanan dan TNI serta para pemangku kepentingan mengintensifkan komunikasi dan koordinasi untuk menyelesaikan rancangan Rencana Induk Pertahanan Negara Tahun 2020-2044 beserta rincian anggarannya. Hadi enggan menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo seusai rapat di Komisi Pertahanan pada Rabu, 2 Juni lalu.
Soleman B. Ponto mengatakan seharusnya pengadaan peralatan pertahanan disesuaikan dengan kebutuhan di setiap matra. “Bukan seperti saat ini, dari atas dan diminta disesuaikan di bawah,” tuturnya. Ia mencontohkan rencana pembelian kapal selam Scorpene yang sebetulnya tak cocok dengan perawatan dan galangan kapal yang dimiliki Indonesia.
Kepala Staf Angkatan Laut Yudo Margono menjawab diplomatis ihwal pengadaan yang seharusnya berjalan dari usul matra lalu dibawa ke Kementerian Pertahanan. “Kami sebagai pengguna, kalau diberikan itu, kami rawat,” katanya. Tempo juga bertanya mengenai rencana pembelian Scorpene yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan Angkatan Laut. “Ha-ha-ha…. Ya, kami rawat saja. Dia membeli itu, akan kami sesuaikan,” ucapnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEVY ERNIS, DEWI NURITA, BUDIARTI PUTRI UTAMI, EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo