Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Merangkak naik sejak Agustus 2021, harga minyak goreng kian melonjak.
Dipicu pasokan global yang berkurang karena kebijakan biodiesel (B30).
Pemerintah berakrobat menekan harga melalui kewajiban pasokan 20 volume ekspor untuk kebutuhan domestik.
HARGA telur ayam baru terkendali, kini harga minyak goreng sawit yang melonjak akibat pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menipis. Berbagai kebijakan pemerintah, dari subsidi hingga pemberlakuan satu harga, seperti tak mempan meredam harga minyak goreng. “Kami seperti menangkap bayangan,” kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. “Setengah mati.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah lalu mewajibkan eksportir minyak sawit memenuhi kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dan mengatur harga jual 20 persen dari volume ekspor memakai domestic price obligation (DPO). Kebijakan ini dikunci dengan harga eceran tertinggi. Berhasilkah? Lutfi menjelaskannya kepada Retno Sulistyowati dan Khairul Anam dari Tempo melalui telepon WhatsApp pada Rabu, 2 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana pedagang CPO dan perusahaan sawit merespons DPO dan DMO?
Kalau lagi rugi, disuruh begini pasti protes. Mereka lagi untung. Dalam 23 bulan harga sedang tinggi. Persoalan ini timbul karena kita bikin B30. Itu yang membuat harga CPO naik. Harga minyak goreng ikut naik, meski jika dibanding negara lain kenaikan harga di Indonesia tak seberapa. Harga vegetable oil sejak Mei 2021 sudah naik 2,7 kali lipat. Tinggi sekali.
Anda yakin pengusaha patuh?
Harga di luar sedang bagus, pengusaha akan berlomba-lomba ekspor. Mereka harus memenuhi kebutuhan dalam negeri dulu. Sekarang mereka mulai mencari dan membeli untuk memenuhi pasokan dalam negeri karena mereka perlu bisa segera ekspor. Jadi ini offset.
Apa latar belakang kebijakan DMO dan DPO?
Awalnya, November 2021, saya minta perusahaan gede-gede, yang sudah berbulan-bulan untung, membantu supaya harga minyak goreng dalam negeri enggak terlalu tinggi. Kami minta sediakan 11 juta liter. Tapi yang tersedia cuma 4,7 juta liter. Karena enggak jalan, ya sudah, dalam bentuk kemasan sederhana. Saya kasih subsidi. Kenapa mesti kemasan khusus? Karena akan memakai anggaran subsidi, pakai duit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), harus akuntabel. Untuk memudahkan monitoring, distribusi mesti di retail modern. Tapi ternyata kapasitas pabrik untuk kemasan sederhana, yang bentuknya kayak bantal, enggak cukup untuk memproduksi dalam waktu singkat. Kebijakan diubah lagi dibikin satu harga Rp 14 ribu per liter.
Saat saya tetapkan itu, harga tandan buah segar di titik lelang Belawan, Sumatera Utara, Rp 14.060 per kilogram. Besoknya harga Belawan menjadi 15.500 per kilogram. Waduh, kalau harga terus naik, kebijakan ini enggak akan sustained. BPDPKS mesti nombok Rp 1 triliun per bulan. Padahal alokasi dananya hanya Rp 2,5-4 triliun. Akhirnya saya memakai DMO dan DPO. Semula pengusaha wait and see. Bingung bagaimana caranya, tendernya. Selama akhir pekan itu kami sosialisasi. Kamis kami putuskan, Jumat pengusaha bergerak.
Jadi berapa realisasi subsidi dari BPDPKS?
Kecil, karena kemasan sederhana itu cuma 3 persen dari kebutuhan nasional. Kebijakan itu enggak jalan. Hanya 11-19 Januari. Saya ganti dengan kebijakan satu harga, enggak jalan juga karena harga internasional naik terus. Jadi kayak lari mengejar bayangan, setengah mati.
Kebijakan DMO dan DPO sudah terlihat hasilnya?
Dua hari ini pasokan minyak mengucur. Hari ini ada 30 juta liter dalam bentuk minyak goreng curah. Artinya, tiga-empat hari lagi Anda ke warung, ke pasar tradisional, harga sudah Rp 11.500 per liter.
Bagaimana pengawasan di pasar tradisional?
Monitoring dibutuhkan kalau ada subsidi. Skema yang sekarang tanpa subsidi. Jadi harga bahan baku (CPO) yang diturunkan, menjadi Rp 9.300 per kilogram.
Sempat ribut, perusahaan inti menginjak petani plasma.…
Mereka mau cari untung dengan menekan petani. Tapi sudah saya peringatkan. Pengusaha butuh pasokan sawit untuk ekspor. Tapi mesti setor dulu kewajiban 20 persen untuk dalam negeri, baru ekspor. Dengan begitu, suplai minyak dalam negeri melimpah. Kalau enggak patuh, bisa hancur semua.
Enggak ada potongan harga di petani?
Ada pengusaha nakal memotong Rp 500-800 per kilogram. Tapi buah sawit lagi susah sekarang karena musim hujan. Sekarang pengusaha rebutan karena harga internasional sedang tinggi.
Jadi pengusaha mau rugi 20 persen untuk DMO karena harga di luar tinggi?
Bukan rugi. Dia berkorban untuk DMO. Tapi, dengan begitu, mereka bisa menikmati harga ekspor yang naik. Bila saya tahan ekspornya, harga internasional akan naik lagi. Apalagi pasokan berkurang 20 persen karena memenuhi kebutuhan domestik. Pengusaha tahu ini make money.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo