Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Kesehatan irit membagikan data penderita corona.
Pemerintah daerah berinisiatif mengambil langkah penanggulangan penyebaran wabah.
Pemerintah pusat mengkritik langkah sejumlah kepala daerah.
DIUNDANG ke dalam grup WhatsApp yang berisi kepala dinas kesehatan dari berbagai penjuru Tanah Air, Herlin Ferliana jadi lebih sering mengecek telepon selulernya. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur itu kerap mengamati pesan dari penghuni grup lainnya tentang penanganan wabah Coronavirus Disease atau Covid-19. “Di grup itu, kami berkoordinasi,” ujar Herlin pada Jumat, 13 Maret lalu.
Menurut Herlin, grup WhatsApp tersebut baru dibentuk Kementerian Kesehatan pada hari itu—atau sebelas hari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama virus corona pada Senin, 2 Maret lalu. Sejak kasus pertama diumumkan, angka penderita corona terus meningkat. Pada Kamis, 12 Maret lalu, Kementerian Kesehatan mencatat 34 kasus. Pada Sabtu, 14 Maret, jumlahnya meroket menjadi 96 orang—lima di antaranya meninggal.
Munculnya grup tersebut dipicu oleh tersendatnya komunikasi antara Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan di daerah. Herlin, misalnya, mengeluh Kementerian Kesehatan kurang terbuka kepada dinas kesehatan. Dia mencontohkan, daerah belum bisa mengakses data pasien yang terpapar corona. Padahal data itu diperlukan untuk melacak orang-orang yang berkontak fisik dengan pasien tersebut. Keterbatasan data itu pun dikeluhkan sejumlah provinsi.
Macetnya komunikasi pun terjadi ketika dinas kesehatan daerah ingin mengetahui status positif atau tidaknya pasien. Seorang pasien yang dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi, Surakarta, baru diketahui terinfeksi corona setelah juru bicara pemerintah untuk corona sekaligus Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Achmad Yurianto, mengumumkannya pada Jumat, 13 Maret lalu. Dua hari sebelumnya, pasien itu telah meninggal.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, sebelum pasien tersebut meninggal, status laki-laki 59 tahun itu adalah orang dalam pengawasan. Menurut Ganjar, spesimen telah dikirim ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pada Selasa, 10 Maret lalu. Setelah status positif diumumkan, pemerintah Jawa Tengah pun tak mengetahui kluster pasien itu termasuk baru atau lama. Padahal data itu diperlukan untuk melacak potensi penyebaran virus.
Mengetahui ada pasien positif corona meninggal di wilayahnya, Wali Kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmo langsung menyatakan peristiwa itu sebagai kejadian luar biasa. Hadi meniadakan kegiatan pemerintah seperti upacara dan apel di Balai Kota. Murid sekolah pun diminta belajar di rumah selama dua pekan. Hadi juga menutup sejumlah tempat wisata dan hiburan. “Saya pilih dimarahi orang waras daripada dimarahi orang sakit,” katanya dalam bahasa Jawa.
Di Bali, status kesehatan pasien positif corona asal Inggris juga terlambat diketahui. Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati pada Kamis, 12 Maret lalu, menilai Kementerian Kesehatan tertutup mengenai informasi tersebut. Dinas Kesehatan Bali baru mengetahui status pasien kasus 25 tersebut setelah dia meninggal di Rumah Sakit Sanglah, Bali, pada Rabu, 11 Maret lalu.
Informasi mengenai riwayat perjalanan pasien ke-25 itu juga berbeda-beda. Menurut Sekretaris Daerah Bali Dewa Made Indra, pasien kasus ke-25 berwisata ke Bali pada 29 Februari lalu. Tiga hari kemudian, dia datang ke rumah sakit swasta karena demam. Setelah lima hari, pasien itu dilarikan ke Sanglah, yang menjadi rumah sakit rujukan corona.
Namun juru bicara pemerintah untuk corona, Achmad Yurianto, mengatakan pasien itu baru tiba di Pulau Dewata pada Ahad, 8 Maret lalu, dan sempat transit di Qatar. Begitu masuk ke Indonesia, pasien itu dilarikan ke rumah sakit. Yurianto mengatakan tak ada kewajiban pusat menginformasikannya kepada daerah. “Saya tak memberikan laporan ke provinsi karena yang melakukan pelacakan adalah kabupaten/kota,” ujar Yurianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana RSUD Dr. Moewardi, Solo, setelah pengumuman meninggalnya pasien yang terinfeksi corona di Jawa Tengah, 13 Maret 2020. ANTARA/Mohammad Ayudha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seretnya pasokan data dari pusat membuat kepala daerah berakrobat untuk menanggulangi penyebaran corona. Menurut Hadi Rudyatmo, kepala daerah belum pernah diajak berbicara oleh pemerintah pusat mengenai penanganan Covid-19. “Tidak ada instruksi dari pusat. Kami harus berkreasi sendiri,” katanya.
Bukan hanya soal data pasien, kekisruhan pengumuman kasus positif corona pun terjadi. Gubernur Banten Wahidin Halim pada Kamis, 12 Maret lalu, mengumumkan melalui Instagram bahwa dua warga Banten positif terjangkit corona. “Artinya, sudah ada empat warga Banten yang terkena virus corona,” kata Wahidin dalam video berdurasi hampir dua menit. Yurianto mengatakan kewenangan mengumumkan pasien corona ada pada pemerintah pusat. “Prosedurnya begitu. Kami tak pernah menyampaikan data ke gubernur. Kalau beliau mendapat data sendiri, ya, terserah,” katanya.
Di Ibu Kota, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bergerak cepat dengan membuat situs khusus yang memuat informasi tentang corona. Pada Jumat malam, 13 Maret lalu, situs corona.jakarta.go.id menampilkan jumlah pasien dalam pemantauan 586 orang, dalam pengawasan 261 orang, dan positif 69 orang.
Anies juga rajin menggelar konferensi pers untuk menyampaikan data terbaru. Berbeda dengan pemerintah pusat yang tak membuka data sebaran kasus, Anies justru mengumumkan sebaran titik pasien corona di Jakarta. Pada Sabtu, 14 Maret lalu, Anies juga mengumumkan penutupan sekolah dan pemberlakuan proses belajar-mengajar jarak jauh selama dua pekan. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini juga menunda ujian nasional.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan pemerintah telah memutuskan bahwa narasi dan informasi tentang corona harus selaras. Johnny berharap daerah mengikuti instruksi dari pusat. Pada Jumat, 13 Maret lalu, Presiden Joko Widodo ikut memuji Anies—juga Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil—sebagai kepala daerah yang mampu memberikan sosialisasi dan edukasi tentang wabah corona.
DEVY ERNIS, EGY ADYATAMA, DEWI NURITA, NURHADI (JAWA TIMUR), JAMAL A NASHR, AHMAD RAFIQ (SOLO), JONIANSYAH HARDJONO, AYU CIPTA (TANGERANG), MADE ARGAWA (BALI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo