Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Kesehatan Dunia mempertanyakan lagi keterbukaan pemerintah mengatasi virus corona.
Jokowi menunjuk Kepala BNPB Doni Monardo sebagai ketua gugus tugas penanganan corona.
Pemerintah Indonesia sempat mengabaikan tawaran Singapura soal alat pengujian corona.
DITEKEN Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus, surat bertanggal 10 Maret 2020 itu ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat itu, Tedros secara tersirat mempertanyakan keterbukaan pemerintah dalam menangani kasus Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Badan Kesehatan Dunia pun merasa perlu menerima data tersebut. “Data ini penting sebagai alat mengukur risiko yang komprehensif secara global,” ujar Tedros.
Dalam surat yang sama, Tedros menyoroti pendekatan Indonesia dalam melacak dan mendeteksi kasus corona. Ia meminta Indonesia menaikkan status kasus Covid-19 menjadi darurat nasional. Tedros pun menyarankan pemerintah mendesentralisasi laboratorium untuk memantau kluster penyebaran. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, membenarkan adanya surat tersebut.
Ini bukan pertama kali Badan Kesehatan Dunia menyampaikan keraguan terhadap pemerintah. Sebelum Presiden mengumumkan kasus pertama pada Senin, 2 Maret lalu, pejabat perwakilan Badan Kesehatan Dunia dalam pertemuan dengan Kementerian Kesehatan mempertanyakan kemampuan dan keterbukaan Indonesia dalam menangani corona. Mantan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Anung Sugihantono, yang hadir dalam pertemuan itu, membenarkan adanya keraguan tersebut.
Sikap pemerintah dalam menangani kasus corona tak henti menuai kritik dari dalam dan luar negeri. Kritik ini kian gencar setelah Presiden Jokowi mengakui pemerintah tidak membuka semua data mengenai penyebaran virus corona kepada publik. “Kami tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan masyarakat,” ujarnya setelah meninjau kesiapan Bandar Udara Soekarno-Hatta mengantisipasi corona pada Jumat, 13 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo melakukan peninjauan kesiapan Bandara dalam menghadapi COVID-19 di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 13 Maret 2020. ANTARA/Muhammad Iqbal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak membuka empat kasus awal positif corona, pemerintah tak membuka lagi data seputar pasien. Pemerintah juga tak mengumumkan lokasi penularan pasien dan rumah sakit yang merawatnya. Menurut Jokowi, kebijakan yang diambil tiap negara berbeda-beda. Presiden pun mengklaim pemerintah bergerak cepat setelah muncul kasus baru ataupun kluster baru.
Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, seperti Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Lokataru, serta Migrant Care, membandingkan Indonesia dengan Korea Selatan, yang sama-sama menghadapi ancaman Covid-19. Di Korea Selatan, pemerintah menyiarkan secara berkala bukan hanya kasus baru, melainkan juga lokasi ditemukannya kasus. Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pemerintah cukup mengumumkan lokasi kasus corona agar masyarakat bisa menghindari penularan.
Sikap pemerintah yang tak ingin menimbulkan kegaduhan sudah diputuskan dalam rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan beberapa hari sebelum kasus pertama diumumkan pada 2 Maret lalu. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, yang hadir dalam pertemuan tersebut, mengatakan agenda rapat itu membahas penanganan virus corona yang melanda dunia. “Presiden berpesan bahwa jangan menggunakan istilah ‘krisis’ dalam menghadapi corona supaya tidak menimbulkan kepanikan,” tutur Muhadjir.
•••
PADA hari yang sama dengan tibanya surat dari Badan Kesehatan Dunia, Jokowi kembali mengumpulkan sejumlah pembantunya di Istana Bogor. Dalam rapat terbatas itu, Jokowi menugasi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo melakukan koordinasi penanganan corona. Belakangan, Jokowi juga menunjuk Doni sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Dari Istana Bogor, Doni bergerak ke kantornya. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini mengumpulkan instansi pemerintahan lain, seperti Kantor Staf Presiden, kepolisian, dan tentara, untuk berkoordinasi. Dimintai konfirmasi mengenai sejumlah pertemuan ini, Doni mengatakan masih mengurus persiapan penanganan corona. Pada Sabtu, 14 Maret lalu, Doni menyebut wabah corona sebagai bencana non-alam. “Sudah ditetapkan sebagai pandemi global, maka statusnya adalah bencana non-alam.”
Juru bicara presiden, Fadjroel Rachman, mengatakan Presiden Jokowi sudah berkomunikasi dengan Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia setelah menerima surat. Menurut dia, pembentukan gugus tugas merupakan jawaban atas rekomendasi Badan Kesehatan Dunia. Langkah pemerintah lainnya, kata dia, menajamkan koordinasi serta membuat protokol komunikasi antara pusat dan daerah.
Persoalan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah ini juga disampaikan Ikatan Dokter Indonesia. Ketua Satuan Tugas IDI untuk Corona, Zubairi Djoerban, mengaku menerima keluhan dari sejumlah rumah sakit tentang kelambanan penyampaian hasil pengujian oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Selama ini, pengujian memang hanya dilakukan badan tersebut. Menurut Zubairi, hasil itu harus dilaporkan lebih dulu kepada Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Achmad Yurianto atau Menteri Kesehatan.
Ribetnya alur informasi itu, kata Zubairi, merepotkan rumah sakit, apalagi jika hasilnya positif.. Sebab, rumah sakit mesti menelusuri kembali dengan siapa saja pasien tersebut berkontak. Kritik mengenai monopoli Kementerian Kesehatan juga disampaikan peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo. Di Singapura, dia mencontohkan, penelusuran kasus positif corona melibatkan kementerian kesehatan, institusi riset, dan kepolisian.
Dikritik banyak pihak, Kementerian Kesehatan mulai melunak. Presiden Jokowi pun memerintahkan kementerian ini menggandeng lembaga lain untuk menguji suspek Covid-19, seperti laboratorium Universitas Airlangga dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Pada Senin, 9 Maret lalu, sejumlah pejabat Kementerian Kesehatan bertemu dengan pimpinan Eijkman. Salah satu agendanya adalah soal pembuatan vaksin corona.
Pemimpin Eijkman, Amin Subandrio, belum bersedia mendetailkan keterlibatan lembaganya secara teknis. “Belum sampai rincian,” ujar Amin. Sedangkan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Achmad Yurianto mengatakan Eijkman belum mampu membuat vaksin corona dengan alasan spesimen yang dimiliki belum banyak.
Menurut Yurianto, lembaga lain dilibatkan karena penyebaran Covid-19 sudah tak terkendali. Untuk mencegah penularan meluas, diperlukan pendeteksian secara cepat. Sentralisasi pengujian bakal membuat Kementerian Kesehatan kesulitan mendeteksi kasus-kasus yang timbul. “Kami buat mengalir, supaya jalan, sehingga tak terlalu lama pendeteksiannya,” ujar Yurianto.
Hingga Sabtu, 14 Maret lalu, sudah ada 96 kasus positif corona di Indonesia. Salah satu kasus positif adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Menurut Yurianto, sebanyak lima pasien meninggal dan delapan sembuh. Jumlah kasus positif itu meningkat dibanding sehari sebelumnya, yaitu 69 kasus dan empat orang meninggal.
•••
RIBETNYA penanganan corona juga terjadi dalam pengadaan alat pengujian. Pada 13 Februari lalu, Chief Executive Temasek Foundation International Benedict Cheong menulis surat kepada Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Ngurah Swajaya. Isi surat itu menginformasikan alat pendeteksi Covid-19 bernama VereCoV Detection Kit. Dalam satu kali pengujian, alat tersebut diklaim bisa mendeteksi dan mengidentifikasi Covid-19 serta membedakannya dengan virus Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Hasilnya pun terlihat dalam dua setengah jam.
Melalui surat yang sama, Benedict Cheong menyatakan ada 500 unit alat tersebut yang tersedia pada pertengahan Februari lalu. Ia menyatakan Temasek siap bekerja sama dengan instansi yang ditunjuk untuk mengukur hasil pengujian alat yang dikembangkan Veredus Laboratories, perusahaan bioteknologi yang berbasis di Singapura, itu.
Kepada Tempo, Ngurah Swajaya membenarkan isi surat tersebut. “Mereka menawarkan melalui kedutaan,” ujar Swajaya pada Jumat, 13 Maret lalu. Temasek Foundation belum bisa dimintai tanggapan soal surat ini. Mereka tidak membalas surat elektronik yang Tempo kirim pada Kamis, 12 Maret lalu.
Sebulan setelah surat itu keluar, pemerintah tak kunjung merespons tawaran tersebut. Baru pada pekan lalu, Jokowi berkomunikasi dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Ngurah Swajaya membenarkan adanya komunikasi tersebut. Dalam pembicaraan dua kepala negara, kerja sama dengan Singapura diputuskan melalui business to business. Kementerian Badan Usaha Milik Negara kemudian diminta membereskan soal impor alat tes tersebut. “Karena ini urusan privat,” kata Swajaya.
Anggota staf khusus Menteri BUMN, Muhammad Ikhsan, membenarkan adanya tawaran alat tes dari Temasek. Menurut Ikhsan, informasi bantuan ini pada awalnya disampaikan Kementerian Luar Negeri melalui Kedutaan Besar Indonesia di Singapura. Kementerian BUMN kemudian menunjuk holding farmasi BUMN yang bakal mengimpor alat tersebut. “Ini kerja sama atas nama solidaritas,” kata Ikhsan. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tak bersedia menjawab soal urusan alat tes ini.
Sejumlah pejabat di Kementerian BUMN dan Kementerian Luar Negeri bercerita, kedatangan alat tes itu sempat ditolak Kementerian Kesehatan. Maka yang ditugasi membawa peralatan tersebut ke Indonesia adalah Kementerian BUMN. Muhammad Ikhsan tak menampik info bahwa masih ada lembaga yang menolak alat itu. Namun dia meminta persoalan ini tak dibesar-besarkan. “Tinggal dijalankan pelan-pelan. Ada yang reluctant atau enggak, kan biasa,” ujar Ikhsan.
Petugas saat melakukan penyemprotan cairan desinfektan pada lingkungan Sea World, Ancol, Jakarta,14 Maret 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Namun dua pejabat di Kementerian Kesehatan mengatakan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menolak peralatan tersebut karena merasa alat yang tersedia selama ini sudah sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia. Para pejabat di kementerian itu pun mencurigai ada motif bisnis dalam pengadaan alat tersebut. Seorang di antaranya bercerita, ketika virus corona mulai mewabah ke berbagai negara, muncul berbagai tawaran untuk membeli alat pendeteksi.
Juru bicara penanganan corona Indonesia, Achmad Yurianto, membantah info bahwa alat pengujian itu merupakan bantuan dari Singapura. Versi Kementerian Kesehatan, mereka memang membeli alat tes melalui Temasek Foundation International, sebagai salah satu agen. Menurut Yurianto, Singapura tak mungkin menyumbangkan alat tes mengingat juga sedang kerepotan dengan isu corona. “Indonesia membayar alat tersebut,” katanya.
Pada Rabu, 11 Maret lalu, dua petinggi PT Kimia Farma, bagian dari holding farmasi BUMN, terbang ke Singapura. Menggunakan pesawat Garuda Indonesia pada pagi hari, keduanya kembali pada hari yang sama dengan membawa enam boks alat penguji corona. Juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Deni Surjantoro, membenarkan adanya barang masuk dari Singapura yang terkait dengan corona. “Namun saya tidak bisa menjelaskan isinya,” ujar Deni.
Honesti Basyir, Direktur Utama PT Bio Farma, perusahaan yang menjadi induk holding farmasi, membenarkan kabar bahwa dua anak buahnya berangkat ke Singapura. Hanya, dia mengatakan perusahaannya belum membeli alat tes dalam jumlah besar karena perlu pengujian lebih dulu. “Kami juga masih membuka kemungkinan mencari alat tes lain dari Korea atau Cina,” tutur Honesti.
WAYAN AGUS PURNOMO, DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI YUSUF, NUR ALFIYAH, EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo