Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT itu pulau seluas 444 kilometer persegi tersebut dihuni sekitar 2.000 orang Arawak, suku Indian yang juga bermukim di daerah sekitar Curacao, seperti Guyana dan Venezuela. Belanda merebut Curacao dari Spanyol pada 1634 dan mulai membangun benteng pertahanan Fort Amsterdam--hanya selang 30 tahun sebelum Belanda membangun Fort Rotterdam di Makassar.
Hingga akhir abad ke-18, Curacao menjadi salah satu dermaga terpenting dan dikenal dengan transatlantic slave trade atau triangular trade: segitiga dagang tempat kapal-kapal pergi dari Eropa membawa barang, seperti besi dan senjata, untuk ditukar dengan budak dari Afrika barat, yang lalu mereka jual di Amerika dan Karibia. Dari sana, kapal-kapal tersebut mengangkut hasil perkebunan, seperti gula dan kopi, kembali ke Eropa. Walau tidak dalam jumlah besar, perkebunan di Curacao juga mempekerjakan budak dari Afrika, sampai akhirnya Belanda resmi menghapus perbudakan pada 1863.
Perekonomian Curacao yang melemah sejak dihapusnya perbudakan kembali naik dengan masuknya industri kilang minyak pada awal abad ke-20, setelah emas hitam itu ditemukan di perairan sekitar Venezuela. Selain membuka lapangan kerja untuk ribuan orang, juga dari luar Curacao, masuknya perusahaan raksasa seperti Shell memicu pembangunan infrastruktur dan perumahan. Pada era inilah beberapa ahli bangunan datang dari Hindia Belanda dan meninggalkan jejak arsitektur yang amat mirip dengan perumahan yang dibangun saat itu di kota seperti Yogyakarta, Bandung, dan Semarang. Selama Perang Dunia II, Curacao menjadi dermaga kunci untuk bahan bakar tentara Sekutu.
Seirama dengan banyaknya wilayah koloni Eropa setelah Perang Dunia II, penduduk negeri-negeri di bawah kekuasaan Belanda mulai menuntut untuk lebih mandiri dari penjajahnya. Namun, tidak seperti Indonesia yang melepaskan diri dari Belanda, Curacao, Aruba, dan St. Maarten sekarang masing-masing adalah negara yang menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Bonaire, St. Eustatius, dan Saba masih berstatus provinsi dari Belanda. Satu-satunya bekas jajahan Belanda di Karibia yang sepenuhnya lepas dari empu kolonialnya adalah Suriname, yang resmi merdeka pada 1975.
Seiring dengan arus kedatangan orang dari berbagai penjuru dunia selama lima abad, penduduk Curacao yang berjumlah sekitar 160 ribu jiwa mencerminkan keberagaman sejarah pulau tersebut: dari orang Eropa asal Belanda, Spanyol, dan Portugis; keturunan budak dari Afrika barat; serta pendatang dari berbagai negara Amerika Latin. Pada pertengahan abad ke-20, ratusan orang Indo, yang berdarah campuran Eropa dan Indonesia, datang dan menetap di Curacao setelah Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia.
Dalam dasawarsa terakhir, banyak orang dari Cina yang datang dan mengadu nasib di Curacao. Negeri itu juga didatangi pengungsi dari negara tetangga, Venezuela, yang tengah didera krisis ekonomi dan politik. Bahasa resmi di sana adalah Inggris, Belanda, dan Papiamentu, yang merupakan campuran dari berbagai bahasa Eropa, Arawak, dan beberapa dialek dari Afrika. Kebanyakan penduduk Curacao juga fasih berbahasa Spanyol.
Meski industri minyak masih berperan dalam ekonomi Curacao, pengaruhnya mulai berkurang sejak akhir Perang Dunia II akibat otomatisasi dan persaingan dari negara lain. Lapangan kerja penting lain di Curacao adalah jasa keuangan--Curacao adalah negara dengan pajak yang rendah--dan pariwisata.
LINAWATI SIDARTO, KONTRIBUTOR TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo