Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertanian menjadi salah satu penyumbang emisi karbon.
Sawah dan peternakan menyumbang emisi yang cukup besar.
Perlu ada tindakan pemerintah untuk mendorong pertanian yang terintegrasi.
DULU tak banyak yang sadar bahwa aktivitas pertanian menjadi salah satu penyumbang emisi karbon. Padahal emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian dan kehutanan terus naik seiring dengan meningkatnya kebutuhan pangan dan peningkatan konsumsi daging yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk. Kini tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah menyediakan pangan dengan cara yang berkelanjutan, adil, dan etis di tengah ancaman perubahan iklim yang terus berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat yang sama, dampak perubahan iklim menjadi ancaman karena membuat produksi dan distribusi makanan menjadi lebih sulit dan lebih mahal (Foley dkk, 2011). Kesejahteraan petani pun makin tergerus oleh perubahan iklim. Kerentanan yang tidak diantisipasi dan diminimalkan dapat berdampak tergerusnya pendapatan dan berkurangnya aset petani (Ellis, 2000).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2023 menjadi tahun terpanas dalam sejarah peradaban manusia. Per September 2023, suhu rata-rata global naik 1,8° Celsius dibanding level praindustri. Para ahli sepakat mencegah dampak terburuk perubahan iklim dengan cara membatasi peningkatan suhu global hingga 1,5° Celsius di atas level praindustri.
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia merasakan dampak kenaikan suhu bumi, dari kekeringan, banjir, naiknya permukaan air laut, hingga kebakaran hutan dan lahan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memproyeksikan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim mencapai Rp 544 triliun pada 2020-2024. Kerugian tersebut bisa bertambah jika tidak ada upaya penurunan emisi yang signifikan.
Pemerintah merespons isu perubahan iklim melalui kebijakan Low Carbon Development Initiative. Sektor yang masuk kerangka penurunan emisi antara lain energi serta kehutanan dan pertanian. Sektor alih guna lahan dan kehutanan serta sektor pertanian menyumbang 33,8 persen dan 10,4 persen terhadap total emisi gas rumah kaca nasional (Climate Watch, 2023).
Reformasi dua sektor ini pun menjadi kunci untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca nasional 31,89 persen pada 2030 dengan upaya sendiri. Untuk mewujudkan ambisi tersebut, harus ada aksi mitigasi dan adaptasi melalui peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial, ekosistem, dan ketahanan iklim.
Di sektor pertanian, sumber terbesar emisi adalah sawah dengan kontribusi 69 persen dan enterik ternak 28 persen. Emisi dari alih guna lahan dan kehutanan karena deforestasi juga berhubungan dengan sektor pertanian dan perkebunan. Deforestasi menyebabkan berkurangnya kemampuan ekosistem dalam menyerap emisi karbon yang dihasilkan manusia.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian pemerintah mengingat posisi strategis sektor pertanian terhadap perekonomian dan menjadi tumpuan hidup 39 juta tenaga kerja Indonesia. Diperlukan transformasi agar para pekerja di sektor pertanian dapat beradaptasi dan resilien terhadap perubahan iklim. Transformasi ini akan mirip dengan yang terjadi ketika masyarakat pemburu-pengumpul berubah menjadi masyarakat agraris dan masyarakat industri (Haberl dkk, 2011). Diperlukan komitmen kuat dan strategi yang matang untuk aksi mitigasi yang cepat.
Program penurunan emisi di sektor pertanian, di antaranya pengelolaan lahan sawah dengan menerapkan upaya pengairan berselang seperti metode System Rice Intensification atau pertanian terpadu, penggunaan varietas padi rendah emisi, penyiapan lahan tanpa bakar, pemupukan berimbang, pembangunan biogas untuk menyerap gas metana dari kotoran hewan, perbaikan pakan ternak, serta peremajaan komoditas perkebunan, dapat menurunkan emisi.
Sedangkan pengurangan emisi di sektor kehutanan menuntut tindakan korektif. Upaya yang utama adalah penurunan laju deforestasi serta degradasi hutan dan lahan melalui moratorium perluasan kebun sawit hingga penghentian pemberian izin usaha pada hutan alam primer dan lahan gambut. Adapun upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan bisa dilakukan melalui rehabilitasi lahan gambut dan penegakan hukum yang tegas.
Untuk mengoptimalkan program dekarbonisasi sektor pertanian, diperlukan dukungan kebijakan yang memadai, termasuk dukungan fiskal. Kementerian Pertanian telah mengalokasikan dana program Pertanian Cerdas Iklim, tapi anggarannya rata-rata hanya Rp 241,73 miliar pada 2018-2020. Untuk peremajaan tanaman kelapa sawit, dana yang tersalurkan hanya Rp 922 miliar pada 2022 dan Rp 1,59 triliun pada 2023. Jika dibandingkan dengan anggaran insentif 1 juta sepeda motor listrik yang mencapai Rp 7 triliun, tentu keduanya bak bumi dan langit.
Konsep pertanian terpadu yang mengintegrasikan usaha pertanian dengan peternakan/perikanan bisa berjalan antara lain dalam food estate. Secara konsep, pertanian terintegrasi ini merupakan bentuk ekonomi sirkular yang dapat menghemat biaya input, meningkatkan produktivitas, dan mereduksi emisi karbon.
Sayangnya, program tersebut menuai kegagalan berkali-kali akibat perencanaan kebijakan yang kurang apik. Seharusnya ada empat aspek agar food estate berhasil, yaitu kelayakan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan budi daya dan teknologi, serta kelayakan sosial-ekonomi masyarakat. Jika salah satu aspek tidak terpenuhi, proyek itu akan gagal dan merugikan.
Penerapan pertanian terpadu di level rumah tangga petani atau entitas bisnis pun masih sedikit. Hanya segelintir petani yang dapat menerapkannya karena harus didukung infrastruktur dan modal. Apalagi petani kita kebanyakan bukan pemilik lahan. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa 62 persen petani merupakan petani gurem dengan lahan di bawah 0,5 hektare, yang skala usahanya tidak ekonomis.
Akibat ketiadaan kuasa atas lahan dan keterbatasan modal, petani sulit menerapkan pertanian terintegrasi. Jika terjadi kerugian, yang menanggung pun adalah petani yang menggarap lahan (Mardian, 2022). Kondisi serupa terjadi dalam program peremajaan kelapa sawit rakyat. Program yang diluncurkan pada 2016 ini awalnya ditargetkan untuk mengganti 2,5 juta hektare pohon kelapa sawit yang sudah tua pada 2025. Namun yang disetujui hingga akhir 2023 hanya 326.308 hektare dan lahan yang sudah ditanami kembali hanya 205.524 hektare.
Tantangan tidak berhenti di situ. Pemerintah juga belum memiliki konsep peremajaan komoditas lain seperti teh, kopi, kakao, dan karet dalam konteks mencegah deforestasi. Peremajaan ini perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi dan penyerapan tenaga kerja serta memberikan pendapatan tambahan bagi petani. Program tersebut juga akan mendorong petani melakukan intensifikasi lahan ketimbang ekstensifikasi yang berdampak deforestasi.
Selain itu, pencapaian target pembangunan pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg) yang bersumber dari limbah pun rumit. Dari target PLTBg berkapasitas 5,5 gigawatt pada 2025, hingga 2023 baru terpasang 3,9 megawatt. Diperlukan strategi percepatan dan keberpihakan dari pemerintah untuk sektor pertanian dan kehutanan.
Terlepas dari semua itu, tantangan yang sesungguhnya adalah bagaimana paradigma pembangunan dan political will pemerintah. Sebab, kedua faktor tersebut yang akan menentukan pilihan kebijakan yang diambil dan siapa saja pihak-pihak yang bakal menikmati manfaatnya. Kita semua berharap target penurunan emisi dapat tercapai tanpa mengorbankan aspek sosial-ekonomi masyarakat dan daya dukung lingkungan pun tetap dapat terjaga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tantangan Dekarbonisasi Sektor Pertanian"