Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Jebakan Dekarbonisasi Semu 

Dekarbonisasi bak dua sisi mata uang. Ada peluang ekonomi sekaligus risiko terjebak proyek yang bersifat semu.

21 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dekarbonisasi menjadi tren yang dilakukan korporasi.

  • Banyak proyek dekarbonisasi yang berakhir pada transition-washing.

  • Perlu ada reformasi kebijakan dan tindakan nyata untuk mendorong transisi energi.

DAMPAK emisi karbon dan gas rumah kaca kian tak terbendung. Tahun lalu, suhu bumi mencapai titik terpanas sepanjang sejarah. Demikian pula emisi karbon dari energi fosil yang mencapai titik tertinggi, hingga 36,8 miliar metrik ton karbon dioksida. Pada saat yang sama, Indonesia mengalami 4.940 bencana alam dengan kerugian finansial yang sangat besar. Tak terhindarkan lagi, kita tengah berhadapan dengan krisis iklim yang memaksa kita mengubah cara pandang terhadap berbagai aspek, termasuk ekonomi.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru-baru ini, PricewaterhouseCoopers mengungkapkan hasil survei terhadap 4.700 eksekutif perusahaan di seluruh dunia. Hasilnya, 30 persen dari mereka sepakat bahwa isu krisis iklim akan memberikan dampak signifikan terhadap aktivitas usaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebanyak 65 persen pemimpin perusahaan menyatakan upaya melakukan efisiensi energi dalam rangka menurunkan emisi karbon dan penghematan biaya secara ekstrem sedang berlangsung. Pelaku usaha khawatir krisis iklim akan berdampak pada stranded asset atau penurunan aset yang tidak mereka perkirakan sebelumnya. Jika terlambat melakukan mitigasi, khususnya komitmen menjalankan dekarbonisasi atau upaya mengurangi emisi karbon, perusahaan bisa gulung tikar.   

Program dekarbonisasi ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, program ini memiliki urgensi dengan segala risikonya. Di sisi lain, ada peluang. Dengan kata lain, dekarbonisasi bisa menciptakan peluang ekonomi baru. Center of Economic and Law Studies bersama Greenpeace menghitung potensi ekonomi Rp 2.943 triliun dari kegiatan dekarbonisasi, termasuk dalam bentuk transisi energi dan ekonomi sirkular. Artinya, jika dekarbonisasi dilakukan secara serius, akan ada dampak positif terhadap total output ekonomi. Efek lain adalah penciptaan 19 juta lapangan kerja akibat transisi menuju kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan. 

Pertanyaannya, bagaimana melakukan dekarbonisasi dengan tepat? Jika pelaku usaha salah dalam memandang dan menjalankan program dekarbonisasi, target pengurangan emisi karbon tidak akan tercapai. Biaya membengkak, tapi hasilnya nol besar. Kondisi yang lebih problematis adalah transition-washing.

Transition-washing adalah praktik perusahaan yang seolah-olah melakukan transisi ke arah yang lebih berkelanjutan dengan istilah dan teknologi baru, tapi hasilnya malah memperburuk capaian pengurangan emisi karbon. Perusahaan melakukan transisi semu hanya untuk mendapatkan lisensi agar bisa melanjutkan bisnisnya, menarik insentif pemerintah, hingga mengelabui investor dan konsumen.

Salah satu contoh transition-washing adalah investasi dalam proyek carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS) atau penyimpanan karbon yang saat ini marak di industri minyak dan gas. 

CCS dan CCUS sempat mengemuka dalam debat calon wakil presiden pertama pada 12 Desember 2023. Saat itu Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto, menyampaikan pertanyaan kepada Mahfud Md., calon wakil presiden Ganjar Pranowo, tentang kerangka regulasi CCUS yang dijawab dengan normatif. Seharusnya, sebelum membicarakan kerangka regulasi, Gibran bertanya dulu, adakah proyek CCUS yang pernah berhasil di dunia? Apakah CCUS menjadi solusi ideal bagi Indonesia atau sebaliknya? Alih-alih menyangkut pembahasan substansi, istilah ini malah digunakan untuk menjebak lawan dalam debat. 

Teknologi CCUS pada dasarnya tergolong sangat mahal, belum teruji, dan lebih berisiko bagi lingkungan. Alih-alih menurunkan tingkat produksi dan konsumsi terhadap energi fosil, CCUS memberi jalan panjang agar sektor fosil tidak segera ditutup. Membuat regulasi CCUS artinya memfasilitasi transition-washing.

Upaya delaying tactic atau menunda dekarbonisasi juga terlihat dari dorongan industri migas untuk berinvestasi ke energi hidrogen. Sebenarnya hidrogen bukan hal baru. Namun yang perlu dicatat adalah kecenderungan menggunakan hidrogen sebagai alasan transisi di sektor migas.

Beberapa produsen mobil melihat hidrogen sebagai bahan bakar masa depan yang rendah emisi. Klaim ini banyak mendapat kritik karena hidrogen, yang berasal dari gas alam, dianggap sebagai solusi semu dalam transisi energi. Memakai energi hidrogen sama dengan melestarikan pemakaian energi fosil yang seharusnya sudah digantikan untuk mencapai net zero emission pada 2050. 

Begitu juga mobil dan sepeda motor listrik yang tidak bisa dipandang sebagai solusi dekarbonisasi sektor transportasi. Alih-alih mempercepat transisi ke kendaraan listrik di sektor transportasi publik, pemerintah justru bernafsu memberikan subsidi kepada pemilik kendaraan listrik pribadi. Jumlah kendaraan terus bertambah, kemacetan masih terjadi, dan subsidi jadi tidak tepat sasaran karena dinikmati orang kaya. 

Selain itu, nikel yang menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik diperoleh dengan cara-cara yang bertolak belakang dengan upaya dekarbonisasi. Sebagai contoh, ada 14,4 gigawatt pembangkit listrik batu bara yang menggerakkan smelter nikel. Pembangkit listrik tenaga uap batu bara milik Perusahaan Listrik Negara ingin pensiun, tapi energi berbasis batu bara malah dipakai di kawasan industri nikel yang mengatasnamakan dekarbonisasi dan “hilirisasi”. Belum lagi langkah sektor hulu tambang yang sangat eksploitatif mengejar nickel rush berakhir dengan anjloknya harga logam itu di pasar internasional karena oversupply

Lalu apa solusi yang seharusnya dijalankan? Alih-alih mendorong pembangunan smelter nikel baru, pemerintah perlu memastikan masuknya investasi di sektor daur ulang baterai. Di bidang energi, pemerintah harus konsisten membangun jaringan transmisi dan pembangkit energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air. Sejauh ini, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya baru mencapai 102,3 megawatt dan pembangkit energi mikrohidro hanya 560 megawatt. Sumber energi terbarukan lain, termasuk tenaga angin, menurut data Statistik Listrik 2018-2022, hanya 266,1 megawatt. Angka itu jauh di bawah kapasitas PLTU batu bara yang mencapai 37,2 gigawatt. 

Jalan ideal untuk mencapai dekarbonisasi jelas bukan transition-washing. Dibutuhkan reformasi kebijakan, khususnya dalam aspek pembiayaan dan fiskal. Taksonomi Berkelanjutan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan sebaiknya tidak memberi ruang bagi energi fosil untuk mendapatkan label “transisi energi”. Ruang pembiayaan harus lebih berfokus pada sektor yang benar-benar “hijau” sehingga diharapkan akan terjadi pergeseran kredit di sektor tambang dan migas ke energi terbarukan. Taksonomi Berkelanjutan Indonesia juga seharusnya memicu terbitnya instrumen pembiayaan rendah karbon, seperti Sustainable Link Bond serta Blue Bond.

OJK juga perlu lebih melibatkan masyarakat adat dan komunitas di desa dalam perdagangan karbon sekaligus memastikan integritas sistemnya. Perdagangan karbon yang masih sepi juga disebabkan oleh belum berlakunya pajak karbon. Selama pajak karbon belum diberlakukan, korporasi tidak memiliki insentif untuk melakukan dekarbonisasi dan mengambil peran dalam perdagangan karbon.

Mobilisasi dana dari dalam negeri bisa melengkapi pendanaan internasional dalam rangka transisi energi. Tapi yang harus diwaspadai adalah pendanaan dari luar negeri tidak bersifat donor-driven atau ditentukan oleh pemberi dana, melainkan sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Ini bisa terlihat dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang awalnya diharapkan bisa mempercepat penutupan PLTU batu bara. Faktanya, dalam Comprehensive Investment and Policy Plan JETP yang dirilis kepada publik pada November 2023, hanya dua PLTU batu bara yang dipensiunkan, yakni PLTU Cirebon 1 dan PLTU Palabuhanratu. 

JETP juga masih terjebak dalam rencana pendanaan berbasis utang, dengan sedikit porsi dana hibah. Padahal negara-negara maju yang terlibat dalam JETP punya tanggung jawab historis membantu negara berkembang seperti Indonesia. Perlu dipahami juga bahwa dekarbonisasi di sektor energi tidak melulu soal pembangunan pembangkit energi terbarukan yang padat modal. Potensi pengembangan energi terbarukan dalam bentuk mikrohidro atau pemanfaatan aliran sungai yang dikelola langsung oleh komunitas masyarakat idealnya masuk skema JETP. 

Upaya dekarbonisasi, meski potensinya cukup besar dan mendatangkan manfaat bagi dunia usaha dan kesempatan kerja, belum sepenuhnya berjalan di rel yang tepat. Ada dekarbonisasi yang bersifat semu hingga proyek dengan teknologi yang belum teruji. Di tengah ancaman krisis iklim, seharusnya ada tindakan nyata. Bukan dansa-dansi politik yang tak perlu. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Salah Arah Dekarbonisasi Semu"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus