Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Target Lama Sang Induk

Rencana lama Telkom mengempit saham Gojek selangkah lagi terlaksana. Gagal dilakoni sendiri, aksi korporasi bernilai triliunan rupiah ini dilakukan lewat Telkomsel. Dibayangi ketidakpastian soal nasib investasi.

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Telkomsel melanjutkan rencana induk yang hendak masuk ke Gojek sejak dua tahun lalu.

  • Target keuntungan bukan hanya dari modal, tapi juga kerja sama operasional.

  • Valuasi Gojek dan nasib investasi masih jadi pertanyaan.

JANJI Erick Thohir seharusnya menenangkan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan anak usaha terbesarnya, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Menteri Badan Usaha Milik Negara itu memastikan bakal memberikan lampu hijau kepada perusahaan pelat merah yang akan berinvestasi ke korporasi lain sepanjang jelas perhitungannya. “Kalau perusahaan yang akan dibeli adalah perusahaan yang sehat, yang bisa mendukung core business, mengapa tidak?” kata Erick secara tertulis kepada Tempo, Jumat, 2 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erick mengomentari rencana Telkomsel membeli saham Gojek, aplikasi super berlabel decacorn­—julukan untuk perusahaan rintisan dengan valuasi lebih dari US$ 10 miliar atau senilai Rp 148 triliun. Kaul Erick itu menjadi penting karena rencana serupa oleh sang induk, PT Telekomunikasi Indonesia alias Telkom, mentok di meja Kementerian BUMN dua tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar rencana Telkomsel masuk Gojek berembus kencang sejak Agustus lalu. Telkomsel, penopang utama bisnis Telkom saat ini, dikabarkan akan membeli saham minoritas Gojek. Pembicaraannya kini sudah di ujung. “Sudah dimintakan persetujuan ke Dewan Komisaris Telkomsel,” ucap seorang pejabat di lingkungan Grup Telkom yang mengikuti pembahasan transaksi ini.

Diskusi sengit mewarnai pembicaraan direksi Telkomsel dan komisaris perwakilan Singapore Telecommunications Limited (Singtel). Perusahaan telekomunikasi milik raksasa investasi Singapura, Temasek Holdings, ini menguasai 35 persen saham Telkomsel lewat Singapore Telecom Mobile Pte Ltd. Mereka mempertanyakan alasan direksi hendak masuk ke Gojek.

Komisaris utama Gojek Garibaldi Thohir (kanan) dalam temu media di Jakarta, Kamis (24/10/2019)./ANTARA/Arindra Meodia

Kepada Tempo, dua komisaris di Grup Telkom menceritakan hal senada bahwa pembahasan alot karena duit yang akan diambil perseroan untuk merealisasi transaksi ini tergolong gede banget. “Semua anggota dewan komisaris sangat hati-hati juga. Bukan cuma Singtel,” tutur salah seorang komisaris. Kedua pengawas ini menolak namanya disebutkan dengan alasan rencana transaksi tersebut belum bisa diumumkan selama belum “deal”.

Adanya perjanjian kerahasiaan (non-disclosure agreement) pula yang dipakai manajemen Telkom, Telkomsel, dan Gojek untuk menutup rapat soal perkembangan rencana transaksi ini. Telkom dan Telkomsel hanya mengakui sedang menjajaki segala peluang yang sejalan dengan arah transformasi bisnis ke depan, yakni fokus pada konektivitas serta platform dan layanan digital.

Telkom dan Telkomsel sudah menjadi raja di bisnis konektivitas alias penyedia jaringan, baik mobile maupun fixed. Sementara itu, di dua lini lain, platform dan layanan digital, induk dan anak ini masih kedodoran menghadapi para pesaing yang kebanyakan berasal dari perusahaan rintisan. Kamis, 1 Oktober lalu, Grup Telkom menyudahi Blanja.com, platform marketplace yang dikembangkan bersama eBay, setelah sewindu berdarah-darah menghadapi sengitnya bisnis e-commerce.

Makanya, untuk masuk ke dua lini baru itu, Telkom tidak hanya melakukan pengembangan secara internal, tapi juga membuka skema kemitraan dan pembelian saham. “Baik dengan berbagai startup, unicorn, maupun decacorn sekalipun,” ujar Ririek Adriansyah, Direktur Utama Telkom, lewat jawaban tertulis, Jumat, 2 Oktober lalu.

•••

STRATEGI masuk ke pemain existing di bisnis digital sebetulnya sudah terbaca di laporan tahunan Telkom dua tahun terakhir. Pada 2018, perseroan membopong tagline “Digital Now”. Huruf “i” kedua dalam slogan itu bermakna “Investasi di platform pintar dan peningkatan perluasan layanan digital”. Pada 2019, motonya berubah menjadi “Win Digital”. Kali ini misi perusahaan kentara, satu-satunya huruf “a” di situ mewakili acquire atau mendapatkan kemampuan digital secara anorganik dan mempercepat kemitraan ekosistem.

Sejumlah analis menilai Telkom dan Telkomsel memang harus mengejar pertumbuhan di dua lini digital yang baru: platform dan layanan digital. Caranya: membeli atau bekerja sama dengan pemain yang teruji. Membuat platform anyar berpotensi melahirkan Blanja.com yang baru, tidak kuat “bakar uang” dan akhirnya terbakar sendiri.

Seorang pejabat di Kementerian BUMN mengungkapkan bahwa arah itu sudah mulai dituju. Telkom dan Telkomsel sedang mengincar jagoan-jagoan nasional di sektor layanan digital. Salah satunya Gojek, aplikasi yang dibangun Nadiem Anwar Makarim—kini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—lewat PT Aplikasi Karya Anak Bangsa. Telkomsel mengincar jutaan mitra Gojek untuk dijadikan pengguna layanan data dan selulernya, seperti lewat Simpati. Sebaliknya, Gojek bisa masuk ke ratusan juta pelanggan Telkomsel.

Eksekutor strategi ini adalah Setyanto Hantoro, yang baru duduk sebagai Direktur Utama Telkomsel pada Januari lalu. Pada 2018, Setyanto pula yang bernegosiasi dengan Gojek untuk rencana investasi Telkom. Kala itu, dia masih menjabat Executive Vice President Strategic Investment Telkom.

Sebenarnya, kata petinggi Telkom yang mengikuti negosiasi pada 2018, Gojek dan Telkom sudah sepakat merealisasi transaksi. Duit Rp 6-7 triliun dari Telkom digelontorkan untuk 3-4 persen saham Gojek. Transaksi akan mengacu pada dolar yang total nilainya sekitar US$ 400 juta. Artinya, nilai Gojek kala itu berada di kisaran US$ 9,8-10 miliar. Kedua entitas juga telah sepakat bakal melengkapi deal dengan kerja sama strategis yang berkaitan dengan operasi usaha masing-masing.

Sebelum melanjutkan transaksi, Komisaris Utama Telkom ketika itu, Hendri Saparini, meminta direksi mengejar opini legal dari Kejaksaan Agung. Hendri menolak berkomentar ketika ditanyai soal peristiwa 2018 tersebut. “Diskusi dengan dewan komisaris baru saja,” ujarnya, Rabu, 30 September lalu.

Alotnya perdebatan tentang rencana transaksi Telkom dan Gojek terjadi di Kejaksaan Agung. Kejaksaan melihat nilai dan model bisnis Gojek yang menjadi target investasi Telkom tidak layak. Prinsip investasi pemerintah adalah harus dilakukan terhadap sesuatu yang nyata, bisa dihitung potensinya, seperti aset, pendapatan, serta keuntungan yang akan didapatkan. “Kalau beli Freeport, kelihatan sisa tambangnya sekian. Ada rumusnya,” tutur seorang jaksa yang mengikuti proses pembahasan di Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) pada 2018.

Singkat kata, Kejaksaan berkesimpulan model bisnis Gojek beserta prospeknya belum pasti. “Kalau bisnis tujuannya mencari investor, itu tidak punya bisnis yang pasti,” ucap jaksa tersebut. “Valuasinya juga jadi pertanyaan. Angkanya enggak pas.”

Telkom lintang pukang meyakinkan soal metode valuasi dan penilaian bisnis Gojek yang memang masih asing. Prinsip investasi pemerintah belum mengenal cara menghitung nilai perusahaan di masa yang akan datang (future value) menggunakan gross merchandise value atau faktor lain. Ini metode yang paling umum dan diterima untuk menilai sebuah perusahaan teknologi semacam Gojek. Tim Telkom juga berupaya meyakinkan bahwa keuntungan atau kerugian dari investasi di Gojek bukan hanya soal capital gain atau capital loss, melainkan potensi keuntungan lain dari kongsi bisnis yang diklaim bakal jauh lebih besar nilainya.

Pada akhirnya, pendapat hukum itu tetap terbit. Walau demikian, pendapat tersebut bukanlah surat izin kelanjutan transaksi.

Rini Soemarno/TEMPO/Tony Hartawan

Rupanya, opini legal itu menjadi bumerang. Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno, justru mengetahui informasi tentang rencana transaksi tersebut dari Kejaksaan. Kesal tak diberi informasi, Rini mengutus deputi Kementerian BUMN saat itu, Gatot Trihargo, untuk menyampaikan pesannya kepada Telkom: transaksi harus dihentikan.

Rini tak menyahut ketika dihubungi Tempo pada Jumat, 2 Oktober lalu. Begitu pula Gatot, yang tidak menjawab upaya konfirmasi sejak Selasa, 29 September lalu.

Mantan Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo, menyatakan tak mengetahui persoalan ini. “Mungkin pembahasannya hanya sebatas dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara,” katanya, Rabu, 30 September lalu. Adapun Jamdatun ketika itu, Loeke Larasati, menolak berkomentar. “Seyogianya, tanyakan kepada Puspenkum (Pusat Penerangan Hukum) Kejaksaan Agung,” ujar Loeke, yang sekarang menjadi Komisaris PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Jumat, 2 Oktober lalu.

•••

KINI rencana transaksi Telkom-Gojek yang masuk peti selama dua tahun itu muncul lagi dengan perubahan aktor. Bukan Telkom yang akan maju, melainkan Telkomsel. Tapi eksekutornya sama: Setyanto Hantoro.

Dua pejabat di Telkom dan Telkomsel mengungkapkan, pembicaraan yang dimulai awal tahun ini mulai mengerucut. Nilai transaksinya tak jauh berbeda dengan yang direncanakan pada 2018, yakni sekitar US$ 450 juta atau senilai Rp 6,6 triliun dengan kurs saat ini Rp 14.800 per dolar Amerika Serikat. Hanya, skemanya sedikit berubah.

Setyanto Hantoro/Dok. Telkomsel

Sementara dua tahun lalu Telkom masuk sekaligus dengan uang segunung, kali ini Telkomsel berencana masuk dalam dua gelombang. Untuk transaksi pertama, disiapkan sekitar US$ 150 juta atau senilai Rp 2,2 triliun buat ditukar dengan 1,5 persen saham Gojek. Dana ini tidak tunai, tapi dalam bentuk surat utang konversi saham (mandatory convertible bond) yang dicairkan bertahap selama setahun setelah transaksi ditutup. Selanjutnya, Telkomsel punya opsi menambah US$ 350 juta atau sekitar Rp 4,4 triliun lagi dengan harga yang sudah dikunci di awal transaksi. 

Berbeda dengan rencana transaksi dua tahun lalu, kata seorang pejabat Kementerian BUMN yang juga mengetahui pembahasan tersebut, Telkomsel pun sudah mengunci bentuk kerja sama operasi dengan Gojek dalam kesepakatan kali ini. Gojek akan berupaya mengalihkan mitra-mitranya menjadi pengguna data Telkomsel. Dua platform kedua perusahaan, Gojek dan MyTelkomsel, juga bisa saling berjualan. 

Selain itu, Telkomsel akan mendapatkan insight big data dari Gojek sebagai modal pengembangan bisnis periklanan digital mereka. Dari kongsi itu, Telkomsel menghitung akan mendapat potensi tambahan pendapatan sampai US$ 500 juta. “Jauh lebih besar dari nilai investasinya sendiri,” tutur pejabat BUMN ini. “Potensi capital gain dari investasi itu hanya bonus.” 

Kuncian lain: Telkomsel mendapat komitmen dari Gojek soal pertumbuhan pendapatan. Gojek, menurut dia, menjanjikan pendapatan bisa naik hingga 40 persen setiap tahun. Jika target itu tidak tercapai, Telkomsel berhak memperoleh harga diskon ketika kelak mengambil opsi tambahan saham.

Sebaliknya, bersekutu dengan Telkomsel, yang memiliki 111,2 juta pelanggan data, dianggap akan membuka peluang Gojek masuk ke pasar yang lebih luas. Ini keuntungan lain di samping tambahan modal sebanyak US$ 150 juta dari transaksi tersebut. Keyakinan sama-sama untung ini akan bertambah bila kelak wacana merger Grab dan Gojek terealisasi.

Namun, di luar itu, Gojek memang dikabarkan tengah tertekan. Pandemi Covid-19, seorang pejabat Telkom yang terlibat dalam rencana transaksi ini mengungkapkan, merusak sejumlah rencana Gojek. Soal target titik impas antara pengeluaran dan pendapatan dalam setahun, misalnya, kemungkinan bergeser ke 2022 dari rencana semula pada 2021.

Di sisi lain, sejumlah investor lama Gojek agaknya mulai tak sabar. Seorang pengusaha nasional yang berkongsi dengan pemegang saham besar Gojek dari luar negeri menyebutkan mitra bisnisnya itu ingin segera hengkang. Mereka, ucap pengusaha ini, ingin menyelamatkan investasi yang sudah ditanamkan. Sementara itu, rencana penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) Gojek yang dianggap sebagai satu-satunya jalan justru kian kabur.

Patrick Sugito Walujo, cofounder Northstar Group—salah satu investor Gojek—membenarkan kabar bahwa para pemegang saham menginginkan Gojek segera menggelar IPO. Namun dia menegaskan, pemegang saham utama Gojek hingga kini masih sangat percaya diri terhadap kelangsungan investasi mereka. “Apalagi ada Facebook dan PayPal yang baru saja bergabung,” ujar Patrick, Kamis, 1 Oktober lalu. “Northstar sendiri sangat yakin dan percaya diri dengan Gojek.”

Masuknya Facebook dan PayPal memang menjadi anomali di tengah pandemi. Juni lalu, ketika para investor sedang menahan diri buat masuk mendanai startup dan perusahaan digital, mereka justru menanamkan modal ke Gojek. Tidak diungkapkan berapa duit yang mereka tanamkan, tapi sejumlah pemberitaan menyebutkan nilainya tidak kurang dari US$ 1,2 miliar. Salah satu perjanjian kerja samanya adalah sistem pembayaran PayPal akan terintegrasi dengan layanan Gojek. GoPay, dompet digital Gojek, juga mendapat akses ke jaringan PayPal, yang mencakup 25 juta pedagang di seluruh dunia.

Pengunjung mencoba layanan self service Telkomsel di Jakarta, Kamis, 24 Agustus 2017./ TEMPO/Tony Hartawan

Senior Vice President Corporate Communication and Investor Relation Telkom Ahmad Reza menyatakan belum bisa menjelaskan detail rencana aksi korporasi ini karena adanya perjanjian kerahasiaan dengan sejumlah pihak. “Sepanjang belum ada kesepakatan dari pihak yang terlibat, Telkom Group tidak dapat memberikan informasi apa pun ke publik,” tutur Reza, Jumat, 2 Oktober lalu.

Adapun Chief of Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengatakan perusahaannya selalu terbuka terhadap berbagai peluang yang dapat mendukung pertumbuhan bisnis sekaligus memperkuat kontribusi pada akselerasi digital di Indonesia. Namun, soal rencana masuknya Grup Telkom ke Gojek, ia menolak menjawab. “Mohon maaf, kami tidak dapat memberikan komentar terhadap rumor yang beredar di pasar.”

Nila mengklaim terdapat tren peningkatan permintaan terhadap sejumlah layanan Gojek beberapa bulan terakhir, seperti GoFood, GoMart, GoPay, GoSend, dan platform gaming GoGames. “Kami bersyukur investor kami memiliki kepercayaan dan komitmen penuh terhadap bisnis dan kemampuan Gojek dalam mendorong pertumbuhan berkelanjutan secara jangka panjang,” kata Nila lewat jawaban tertulis, Jumat, 2 Oktober lalu.

•••

JAWABAN dari Gojek memperjelas arah transaksi ini jika kelak terlaksana. Meski tak membenarkan atau membantah rencana masuknya Telkomsel, Nila Marita menegaskan bahwa dalam setiap seri pendanaan Gojek selalu menerbitkan saham anyar bagi investor yang baru bergabung. “Di mana seluruh dananya diinvestasikan ke Gojek,” ucapnya.

Seorang petinggi Grup Telkom mengungkapkan, jenis saham yang akan dibeli Telkomsel juga menjadi catatan khusus bagi induk perusahaan. Telkom, kata dia, menyetujui rencana ini jika duit yang ditanamkan masuk ke saham baru. “Agar optimal, modal barunya untuk memperkuat Gojek, bukan memperkaya orang,” ujar pejabat yang mengawasi penuh rencana transaksi tersebut.

Catatan dari induk itu bukan datang tanpa sebab. Bersamaan dengan negosiasi Grup Telkom dan Gojek, seorang investor existing PT Aplikasi Karya Anak Bangsa dikabarkan mendatangi manajemen Telkomsel dan meminta transaksi turut melibatkan pembelian saham lama.

Kabar itu menyulut desas-desus di kalangan internal Grup Telkom yang beberapa waktu terakhir mulai membicarakan betapa cepatnya rencana lama induk ini sampai ke ujung negosiasi ketika baru dicetuskan pada awal tahun. Sejumlah pejabat Telkom, termasuk di Telkomsel, yang berbicara kepada Tempo membenarkan adanya kekhawatiran akan munculnya penumpang gelap, investor lama Gojek yang ingin hengkang menebeng pembelian saham oleh Telkomsel.

Di tubuh Grup Telkom, kekhawatiran itu meningkat lantaran Komisaris Utama Gojek adalah kakak Menteri Erick Thohir, Garibaldi Thohir. Boy, begitu pengusaha ini biasa dipanggil, sudah lama dipercaya sejumlah pelaku pasar modal ikut memiliki saham Gojek kendati tak secara langsung.

Kepada Tempo, Boy menampik kabar bahwa ia ikut menggenggam saham Gojek. “Saya tidak punya saham di Gojek. Silakan cek ke manajemen Gojek,” tutur Garibaldi lewat pesan WhatsApp, Kamis, 1 Oktober lalu. 

Akta perusahaan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa sama sekali tak mencatat nama Garibaldi di daftar pemegang saham. Namanya hanya pernah tercatat di Offshore Leaks, bocoran data perusahaan di negara-negara suaka pajak yang dihimpun Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ), sebagai direktur dan pemegang saham Power Bridge Holdings Ltd di British Virgin Islands setidaknya hingga 2010. Power Bridge terkoneksi dengan Northstar Pacific Partners Pte Ltd.

Patrick Sugito Walujo, salah satu pendiri Northstar, juga menegaskan bantahan koleganya. “Northstar tidak mengelola dana Pak Boy di Gojek atau di tempat lain,” kata Patrick. “Saya tidak mengenal nama Power Bridge Holdings.”

Menjawab rumor ini, Menteri Erick memastikan tak ada intervensi dari siapa pun dalam setiap rencana investasi BUMN, termasuk Telkomsel, yang akan membeli Gojek. “Sebagai bagian dari BUMN, tentunya harus tunduk pada aturan yang berlaku dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik,” ujarnya.

KHAIRUL ANAM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus