Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan Sirkuit Mandalika terhalang sengketa kepemilikan tanah.
ITDC dituding membeli tanah dari orang yang sudah meninggal.
Sejumlah warga desa menerima intimidasi dari aparat gabungan.
BERLANGSUNG di ruang rapat utama kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat di Kota Mataram, pertemuan itu hanya berlangsung setengah jam. Tamu dari Jakarta, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Beka Ulung Hapsara, tanpa berbasa-basi menyampaikan maksud kedatangannya bersama tim selama tiga hari di Mataram dan Lombok Tengah.
Rabu, 30 September itu, adalah hari terakhir Beka di Pulau Lombok. “Kami meminta pengembang proyek Sirkuit Mandalika menghentikan sementara aktivitasnya di atas lahan yang masih bermasalah karena belum dibayar,” kata Beka saat dihubungi Tempo, Jumat, 2 Oktober 2020.
Komnas HAM turun ke NTB untuk menindaklanjuti laporan sejumlah penduduk yang mengklaim memiliki lahan di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Lombok Tengah. Di kawasan tersebut, PT Pembangunan Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) sedang membangun sirkuit balap sepeda motor MotoGP dan World Superbike. Nilainya mencapai Rp 800 miliar.
Pembangunan Sirkuit Mandalika akan rampung pada pertengahan tahun depan. Di sana, pembalap papan atas, seperti kakak-adik Marc dan Alex Marquez, Alex Rins, ataupun Valentino Rossi, akan memacu sepeda motornya demi meraih poin dalam seri grand prix. Tapi proyek Sirkuit Mandalika yang dimulai sejak setahun lalu itu terbelit masalah pembebasan lahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur NTB Zulkieflimansyah (kanan) bersama Kapolda NTB Irjen Muhammad Iqbal (kiri) dan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara usai rapat terkait persoalan lahan sirkuit Mandalika di kantor gubernur, Kota Mataram, Rabu, 30 September 2020./Istimewa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beka mengatakan proyek Sirkuit Mandalika bisa tetap berjalan. Ia meminta penundaan pembangunan di lahan yang diadukan masyarakat ke Komnas HAM. Ia berharap penyetopan ini akan memudahkan ITDC mengidentifikasi bukti yang diklaim para pihak.
Berdasarkan aduan dari warga sekitar proyek, Beka menyebutkan ada kasus salah bayar ganti rugi. Ada pula yang merasa belum dibayar tapi tanah miliknya sudah rata dengan tanah. Beberapa di antaranya bahkan sudah memenangi gugatan di pengadilan tingkat banding. “Sampai saat ini ada 16 bidang lahan yang diadukan ke Komnas HAM,” ucapnya.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, pemilik dan ahli waris tanah di proyek Sirkuit Mandalika itu di antaranya bernama Gema Lazuardi, Amaq Masrup, dan Sibawaih. Untuk memastikan proses negosiasi, tim Komnas HAM akan mengunjungi proyek Sirkuit Mandalika dua pekan mendatang.
Kehadiran Komnas HAM dinantikan oleh keluarga Amaq Masrup. Pria ini kehilangan lahan seluas 1,6 hektare di Dusun Ujung, Desa Kuta, Kecamatan Pujut. Tanah Masrup masuk ke dalam rancangan Sirkuit Mandalika.
Seratusan polisi bersama sejumlah aparat lain menggeruduk tanah mereka pada Sabtu, 12 September lalu. Masrup bersama anaknya berupaya melawan, tapi kalah jumlah. Mesin buldoser langsung meratakan kebun Masrup. “Serupiah pun kami ndak pernah terima uang, kami ndak pernah menjualnya,” ujar istri Masrup, Sibah, sehari setelah penggusuran.
Penduduk lain yang mengklaim sebagai ahli waris tanah juga tengah bersiaga menghadapi penggusuran. Ini membuat Gubernur Zulkieflimansyah waswas. Ia khawatir ada lagi kegaduhan. Karena itu, ia menyambut kehadiran Komnas HAM di Lombok sebagai penengah konflik. “Hal ini sesuai pesan dari Presiden agar masalah selesai tapi tidak ada kegaduhan,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Kepala Kepolisian Daerah NTB Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal juga menyatakan senang atas kedatangan Komnas. Polda telah membentuk Tim Verifikasi Satuan Tugas Percepatan Pembangunan KUK Mandalika. “Saya perintahkan tim gabungan untuk menyiapkan semua data. Sampai pagi pun kami siap menjelaskan. Bahkan dipanggil ke Jakarta kami juga siap,” katanya.
Corporate Secretary ITDC Miranti Nasti Rendranti mempersilakan pihak-pihak yang merasa memiliki bukti klaim lahan agar memprosesnya di pengadilan. “Klaim-klaim yang dimaksud harus diselesaikan atau dibuktikan dalam proses persidangan di pengadilan,” ucap Miranti dalam keterangan tertulisnya, 2 Oktober lalu.
• • •
SEMBARI kedua tangan memegangi kepala, Sibah alias Inaq Siti, 60 tahun, menyandarkan tubuh ke sudut rumah. Sesekali ia menoleh ke sejumlah buldoser yang sedang meratakan lahan seluas 1,6 hektare kebun milik keluarganya. Lahan itu berada di sisi utara rumah berdinding bambu miliknya di Dusun Ujung, Desa Kuta, Lombok Tengah.
Sibah sudah berpuluh-puluh tahun tinggal dan bercocok tanam di sana bersama suaminya, Amaq Masrup. Dari hasil ladang itu, ia dan Masrup bisa menghidupi kelima anak mereka. “Terakhir kami menanam tembakau, tapi kini semua sudah rusak tergusur,” katanya, Ahad, 13 September lalu.
ITDC tengah gencar “membersihkan” lahan di Kecamatan Pujut. Kawasan itu sedang disiapkan untuk pembangunan Sirkuit Mandalika dengan sebutan Jalanan Kawasan Khusus (JKK). Luasnya mencapai 130 hektare dan merupakan bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika yang tercatat sebagai program strategis nasional.
Pembangunan sudah berlangsung sejak Oktober tahun lalu. ITDC mengklaim mengantongi hak pengelolaan (HPL) di kawasan itu. Lahan milik pasangan Masrup-Sibah termasuk area “super-prioritas” atau lahan pembangunan trek sirkuit.
Putra Sibah, Sudirman, 29 tahun, menjelaskan asal-usul tanah 1,6 hektare itu. Lahan tersebut dulu milik Gowoh, kerabat mereka yang tak punya keturunan. Gowoh kemudian mewariskan tanah kepada keponakannya, Seratip alias Amaq Kanip.
Masrup membeli lahan itu dari Kanip pada 1973. Kemudian terbitlah ”pipil garuda”—surat tanda pembayaran tanah masa itu—pada 1973 atas nama Amaq Masrup. “Pipil, bukti jual-beli, surat-surat itu asli dan sering kali kami perlihatkan, tapi tak ada tanggapan,” kata Sudirman.
ITDC ditengarai mengabaikan surat-surat itu. Menurut Sudirman, ITDC mengklaim menguasai lahan itu karena membelinya dari Gowoh pada 1993. Namun, kata dia, Gowoh telah meninggal pada 1943. “Bagaimana saktinya Gowoh yang mati tahun 1943, lalu hidup lagi dan menjual tanahnya ke ITDC pada 1993?” ucap dia.
Masrup pernah berurusan dengan Pengadilan Negeri Praya pada awal 2020. Ia sempat divonis bersalah dengan hukuman 2 bulan penjara lantaran didakwa menyerobot lahan ITDC. Namun ia menang di tingkat banding. Sejak saat itu, hidupnya tak tenang karena dusunnya kerap didatangi polisi.
Sibah yang tengah pingsan dikelilingi oleh anak-anaknya, setelah lahan pertaniannya seluas 1,6 hektare digusur, Minggu (13/9/2020)./Abdul Latif Apriaman
Ketua Tim Verifikasi Satuan Tugas Percepatan Pembangunan KEK Mandalika bentukan Polda NTB, Ajun Komisaris Besar Awan Hariono, mengatakan tanah yang diklaim keluarga Masrup masuk zona hijau. Artinya, alat bukti yang diklaim keluarga tersebut sangat lemah. Selain hijau, tim mengkategorikan beberapa wilayah lain dengan zona kuning dan merah, sesuai dengan level kepemilikan surat tanah.
Awan, yang juga Wakil Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB, mengakui Masrup membeli tanah seluas 1,6 hektare itu dari Kanip pada 1973. Tapi, menurut dia, Gowoh sang pemilik tanah pulang merantau dari Malaysia ke Desa Kuta pada 1990-an. Gowoh, katanya, merasa heran tanahnya dijual sang keponakan kepada Masrup.
Walhasil, Gowoh menggugat Kanip dan Masrup. Gowoh disebut selalu memenangi gugatan. “Saat itu sudah diuji di pengadilan bahwa Gowoh masih hidup. Untuk mendapatkan warisan itu, Kanip memalsukan surat kematian Gowoh,” kata Awan.
Gowoh kemudian menjual tanah ke ITDC pada 1993. “Pembayaran semua lengkap. Obyek tersebut haknya Gowoh. Masrup ketipu Kanip,” ujar Awan.
Menurut Awan, selain lahan 1,6 hektare itu, Masrup mempunyai lahan warisan dari Reni, saudaranya, seluas 68 are atau 6.800 meter persegi. Dari luas tersebut, 39,5 are masuk ke dalam status tanah enklave ITDC. “Lahan Masrup yang masuk enklave sama sekali tidak kami sentuh,” ucapnya.
Karena aktif dalam penggusuran, satgas bentukan Polda NTB ini kerap dituduh mengintimidasi penduduk. Selain polisi, satgas beranggotakan personel Badan Pertanahan Nasional, kejaksaan, pengadilan, Tentara Nasional Indonesia, perwakilan pemerintah daerah, serta instansi lain.
Kepala Polda NTB Muhammad Iqbal beralasan membentuk satgas karena proyek strategis nasional tak kunjung kelar. Menurut dia, satgas selalu menghargai hak masyarakat. “Saya melarang tim memanggil warga ke kantor. Kami menyapa warga secara baik-baik, tidak ada intimidasi,” ujar Iqbal.
Selama tiga bulan bertugas, satgas mengklaim menemukan kejanggalan kepemilikan lahan lain. Di antaranya lahan milik Sibawaih seluas 4,6 hektare dan Gema Lazuardi seluas 60 are di Desa Kuta. Lahan mereka juga termasuk ke dalam rencana pembangunan sirkuit.
Kepada Tempo, Gema mengatakan membeli tanah dari Amaq Anun pada 2014. Anun mengesahkan kepemilikan tanah itu lewat putusan Mahkamah Agung Nomor 2983 Tahun 1995. Gema mengantongi kuitansi pembelian tanah dari Anun dan surat pengakuan dari kantor desa.
Gema senasib dengan Masrup. Ia pernah dipenjara karena dituduh menyerobot tanah ITDC. Ia juga menang di tingkat banding. Hakim menganggap persoalan tanah itu adalah ranah perdata.
Anehnya, Gema pernah menerima surat penawaran pembelian dari ITDC. Tanahnya dihargai Rp 2,7 miliar. “ITDC pernah memberikan surat penawaran harga. Artinya, mereka mengakui itu lahan saya,” ujar Gema.
Ajun Komisaris Besar Awan Hariono mengakui Gema membeli tanah tersebut dari Amaq Anun pada 2014. Tapi, kata dia, Anun sudah menjual lahan itu ke ITDC seharga Rp 33 juta pada 1996. Amaq Anun diduga menjual kembali lahannya kepada Gema pada 2014. “Artinya, Amaq Anun menjual dua kali. Amaq Anun meninggal awal tahun ini,” ucapnya.
Corporate Secretary ITDC Miranti Nasti Rendranti menyatakan lahan yang diklaim Amaq Masrup cs telah masuk dalam HPL ITDC. Ia menyerahkan sengketa itu ke tangan hakim. “Pembuktian mengenai proses pembelian atau pelepasan hak yang sudah pernah dilakukan oleh LTDC/ITDC hanya akan kami sampaikan dalam proses persidangan,” kata Miranti.
Linda Trianita, Abdul Latief Apriaman (Mataram)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo