Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Di Djiwa Djuwita Menutup Mata

Douwes Dekker pasien bandel. Disuruh diet, malah makan sate. Di Bandung, hari-hari terakhirnya dihabiskan.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya ditangkap oleh Belanda di Kaliurang, dan terus diangkut kemari. Akibat sikap Belanda, selama saya ditahan hingga kini, saya terus-menerus menderita sakit." Begitu pengakuan singkat Ernest Douwes Dekker, yang belakangan mengganti namanya menjadi Danudirja Setiabudi, yang dimuat dalam otobiografinya, 70 Jaar Konsekwent (70 Tahun dalam Konsistensi).

Douwes Dekker kembali ke Bandung pada Juni 1949 setelah dikeluarkan dari tahanan Belanda. Bersama Harumi Wanasita, istrinya, ia tinggal di rumahnya di Jalan Lembang Nomor 410, yang dinamai Djiwa Djuwita.

Tak mudah menemukan sang juwita. Wartawan senior yang dianggap sebagai kuncen Bandung saat ini, Her Suganda, mengaku belum berhasil menemukan rumah itu. Padahal ia sudah mencarinya lumayan lama.

Titik terang muncul dari penggiat Bandung Heri­tage, Dibyo Hartono. Dari informasi beberapa anggota komunitas pencinta sejarah ini disebutkan bahwa bekas rumah Danudirja Setiabudi itu berada di sekitar mulut Jalan Setiabudi.

Berdasarkan petunjuk itu, plus bertanya lagi kepada beberapa orang, kami akhirnya menemukan rumah tersebut, yakni di Jalan Setiabudi Nomor 156. Letaknya di sebelah kanan jalan jika kita bertolak dari arah Bandung menuju Lembang. Bangunannya diapit kampus Institut Manajemen Telkom dan Bank Ekonomi.

Erna, anak si empunya rumah, membenarkan bahwa bangunan yang ditempatinya bekas kediaman Danudirja Setiabudi. Namun sejarah dan kisah seputar rumah itu, apalagi soal Danudirja Setiabudi, ia kurang tahu. Kenangan itu tidak hanya terhapus dari benak banyak orang, tapi juga dari fisik bangunannya. Dari luar pagar, rumah itu telah berubah wujud menjadi bangunan baru. Fasadnya meninggalkan ciri bangunan lama. Apalagi melihat atapnya yang sudah bergenting beton.

Kata Erna, rumah ini berdiri di atas lahan seluas sekitar seribu meter persegi. Rumah mulai ditempati pada 1977-1978, yang dibeli keluarganya dari seseorang di Jalan Cipaku, Bandung. Informasi dari sumber lain memang menyatakan keluarga Douwes Dekker sudah melepas kepemilikan rumah itu sejak 1970-an. Saat dibeli, kondisi rumah masih baik, tapi sepertinya sudah beberapa kali direnovasi. "Sepertinya bentuk rumah saat dibeli keluarga kami bukan bentuk bangunan zaman Belanda seperti yang ada di Jalan Dago," kata Erna.

Di rumah inilah hari-hari terakhir Douwes Dekker dihabiskan. Di sini, pada 8 Oktober 1949, dia sempat merayakan ulang tahun ke-70, beberapa bulan sebelum meninggal. Sejumlah tokoh hadir dalam hajatan ulang tahun pria keturunan Belanda yang pernah menjadi menteri negara dalam Kabinet Syahrir ketiga dan anggota Dewan Pertimbangan Agung ini. Mereka antara lain Menteri Keuangan Negara Pasundan Dr Saroso dan Menteri Kehakiman Republik Loekman Hakim. Adapun Presiden Sukarno secara khusus mengirim telegram.

Saat ulang tahun ke-70, Douwes Dekker masih menjalani perawatan oleh dokter Suwardi. Namun ia sudah bisa berjalan-jalan. "Hanya jantung saya yang masih lemah," katanya. Douwes Dekker mengibaratkan sakit yang diderita seperti oto (mobil) Republik, yang kala itu menghadapi banyak masalah. "Jalan 100 meter, berhenti, didorong-dorong," katanya.

Gangguan kesehatan itu tak bisa lepas dari sejarah hidupnya yang selama 17 tahun dipenjara atau dibuang, baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain. Kondisi kesehatannya terus merosot, terutama setelah Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, yang berbuntut penangkapan terhadap dirinya.

Pria kelahiran Pasuruan, Jawa Timur, ini antara lain terkena serangan bronkitis dan jantung. "Sebenarnya suami saya sedang sakit dan telah lama sakitnya. Boleh dikata sejak ditangkap Belanda dari Kaliurang (Yogyakarta) dulu," begitu keterangan Harumi, dalam otobiografi itu juga.

Saat Douwes Dekker berulang tahun, dalam kondisi kesehatan yang memburuk, kehadiran teman atau pertemuan dengan beberapa pejabat menjadi hiburan tersendiri. Pada akhir pekan, di antara temannya yang kerap mengunjungi adalah Darnokoesoemo—teman sekolah dan mantan anggota Indische Partij.

Douwes Dekker juga pernah bertemu dengan Presiden Sukarno pada 10 Juni 1950 di Gedung Gubernur Jawa Barat. Pada 7 Juli, giliran Menteri Informasi Wiwoho Poerbohadiwidjojo menemui dia untuk menyerahkan salinan buku Lukisan Revolusi Rakjat Indonesia.

Pada awal Agustus, Douwes Dekker dirawat di Rumah Sakit Rancabadak, Bandung, akibat bronkitis serius. Selama perawatan, ia harus menjalani diet ketat, makan makanan bebas garam, dan harus mengurangi rokok. Namun ia tak mematuhi anjuran itu.

Seperti diingat Harumi, suaminya pernah memesan sate dan, repotnya, pelanggaran itu ketahuan. Ia tak membuang dengan rapi tusuk sate hingga ketahuan petugas rumah sakit. Ketahuan begitu, Douwes Dekker malah marah. Hanya mengenakan piyama, ia meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah dengan naik becak. Harumi, yang berada di rumah, pun terkaget-kaget.

Di bulan yang sama, Douwes Dekker kembali menjalani perawatan di rumah sakit yang sama akibat penyakit jantung. Saat kesehatan Douwes Dekker membaik, dokter memperbolehkannya pulang. Tubuhnya sangat kurus. Sepekan dalam bekapan Djiwa Djuwita, pada 28 Agustus 1950 pukul 15.30, ia mengembuskan napas terakhir. Sebelum meninggal, pria kelahiran 8 Oktober 1879 itu berwasiat agar dimakamkan secara Islam.

Pemakaman dilakukan sehari kemudian di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Peti jenazah Douwes Dekker yang diselubungi bendera Merah Putih diangkut dengan kereta jenazah dan berangkat dari rumah pukul 14.00. Di belakangnya, berderet lebih-kurang 150 mobil, antara lain mobil yang dikendarai Gubernur Jawa Barat Sewaka. Perjalanan menuju makam butuh tiga jam. Pada hari pemakaman itu pula Pemerintah Kota Praja Bandung mengganti nama jalan ke rumah Douwes Dekker dari semula Jalan Lembang menjadi Jalan Dr Setiabudi.

Di Cikutra, makam Douwes Dekker berada di tengah Blok B, di sebelah kanan setelah gerbang makam. Makamnya dikelilingi makam tentara pejuang yang meninggal pada 1952, yakni Abdul Soleh, Karja, Mustam, dan Damin.

Menurut Koordinator Pemakaman dan Ziarah TMP Cikutra, Ugan, makam Douwes Dekker masih rutin diziarahi tentara yang menggelar upacara, seperti Hari Pahlawan. Menjelang peringatan Proklamasi 17 Agustus, semua nisan, semen kubur, dan batas jalan dengan kompleks makam dicat ulang dengan warna putih.

Dalam tiga tahun terakhir, Ugan mengaku masih melihat anak lelaki Douwes Dekker datang ke makam ayahnya. Dia tak tahu namanya, tapi hafal ciri-cirinya. Rambutnya pirang, berparas Indo, dan bertubuh jangkung. "Bahasa Sundanya bagus," kata Ugan.

Anak Douwes Dekker itu tak lain Kesworo Setiabudi, yang dibawa Harumi Wanasita dari pernikahan pertamanya sebelum menikah dengan Douwes Dekker. Pada awal Januari 2011, Kesworo meninggal akibat kanker usus buntu. Kebiasaan mengunjungi makam Douwes Dekker selama Kesworo hidup diakui oleh anaknya, Mohammad Rizky Setiabudi, cucu Douwes Dekker, yang kini tinggal di Amerika Serikat.

Pada 17 Agustus ini, menjelang Lebaran, entah siapa yang akan berziarah ke makam itu dan melantunkan doa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus