Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Tak Ada Jaminan di Selat Sunda

Menteri Keuangan masih belum sepakat dengan draf akhir revisi peraturan presiden untuk proyek Jembatan Selat Sunda. Masih ada peluang membebani anggaran negara.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiratman Wangsadinata berbicara dengan suara keras. Di usianya yang sudah lewat 72 tahun, emosinya masih meluap-luap. Profesor ahli membuat jembatan didikan Institut Teknologi Bandung angkatan 1960 ini bahkan tak peduli jika lawan bicaranya tersinggung oleh ucapannya yang lugas. Sebaliknya, para petinggi PT Graha Banten Lampung Sejahtera, yang diajak bicara, tak kalah sengit mencecar Wiratman.

"Saya terang-terangan bilang sama mereka, saya mau memimpin feasibility study proyek Jembatan Selat Sunda. Saya tak mau dipimpin oleh Cina," katanya menuturkan kembali percakapannya dengan pejabat perusahaan milik pengusaha Tomy Winata itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu. "Pertemuan berakhir tanpa keputusan. Saya tak peduli," Wiratman menambahkan.

Pertemuan itu digelar di kantor PT Graha Banten di gedung Artha Graha, kawa­san SCBD, Jakarta Selatan, pada Senin sore dua pekan lalu. Sesuai dengan undangan, rapat membicarakan kesiapan proposal proyek, studi kelayakan, dan desain dasar jembatan sesuai dengan hasil kerja PT Graha Banten dan Wiratman & Associates. Sejak 2004, pemilik Grup Artha Graha, Tomy Winata, yang menguasai 95 persen saham PT Graha, memang menggandeng Wiratman untuk menggarap proyek ini.

Pembicaraan soal proposal tak memakan banyak waktu. Setelah kelar, dibahaslah pemberitaan media yang memuat pernyataan Wiratman terkait dengan perkembangan proyek. Di situ, Wiratman tegas menyatakan tak setuju jika proyek studi kelayakan digarap oleh pengusaha Cina rekanan PT Graha Banten. Dia pun mengungkap biaya prastudi kelayakan dan desain dasar sekitar Rp 2 miliar yang sudah keluar dari kocek perusahaannya.

Rupanya, konsorsium yang dipimpin Agung R. Prabowo tadi tersinggung oleh penjelasan Wiratman yang dimuat media itu. "Termasuk soal biaya Rp 2 miliar yang tak jelas bagaimana penggantiannya," ujar Wiratman.

Pokok soal yang membuat gerah PT Graha bukan hanya menyangkut urusan duit Rp 2 miliar itu. Mereka juga resah terhadap teriakan Wiratman soal siapa yang harus melaksanakan studi kelayakan dalam proyek prestisius tersebut. Masalah ini pula yang hingga pekan-pekan ini masih belum putus di tangan Tim Tujuh.

Tim ini dibentuk di bawah komando Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa sebagai Ketua Dewan Pengarah Kawasan Strategis Infrastruktur Selat Sunda (KSISS). Anggotanya Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perindustrian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sekretaris Kabinet, serta Sekretaris Negara.

Mereka bertugas merumuskan kembali aturan menyangkut proyek jembatan yang diperkirakan memakan anggaran Rp 200 triliun itu. Terutama setelah muncul keberatan dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo atas Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011.

Agus mempermasalahkan dua pasal di dalamnya, juga pernyataan yang menyebut PT Graha sebagai pelaksana proyek. Dia keberatan terhadap pasal 25 yang menyatakan bahwa pemerintah harus memberikan kompensasi atas biaya persiapan bila proyek batal dilaksanakan. Mantan bankir di Bank Mandiri ini juga tak setuju terhadap isi pasal 30, yang menyebutkan pemerintah harus mendukung dan memberikan jaminan atas proyek, berupa kontribusi fiskal dan nonfiskal, serta kompensasi finansial.

Kementerian Keuangan mengusulkan agar proses awal studi kelayakan tidak diserahkan kepada swasta, tapi dilaksanakan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum. Rupanya, Agus khawatir, jika dipegang swasta sejak awal, hasil studi itu nanti bisa disetir dan diarahkan untuk menguntungkan pihak tertentu dalam proses tender pengerjaannya.

Protes Agus ini awalnya ditanggapi keras oleh Hatta Rajasa, yang sejak mula menga­wal proyek ini. Tapi belakangan ia melunak setelah Presiden Susilo Bambang Yudho­yono memberikan lampu hijau bagi kemungkinan revisi atas keputusan yang sudah ia teken.

Akhir pekan lalu, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengungkapkan Tim Tujuh baru menyepakati satu poin utama, yakni bahwa pembangunan Jembatan Selat Sunda tak akan dipisahkan dari pengembangan KSISS. "Kami sepakat proyek ini terus berlanjut," katanya.

Menurut sumber yang mengikuti pembicaraan di tim tersebut, poin utama yang disebut Hidayat itu berarti jembatan akan terintegrasi dengan proyek kawasan industrial yang hendak dibangun di kedua sisinya, di Banten dan Lampung. Soalnya, investasi untuk membangun jembatan tak akan bisa balik modal jika hanya mengandalkan pemasukan dari ongkos sewa yang ditarik dari setiap kendaraan yang melintasinya.

Poin ini penting, kata si sumber, lantaran akan berimplikasi pada siapa yang nanti akan menjadi pelaksananya. "Kalau terintegrasi, artinya di situ ditekankan bahwa siapa pun yang akan membangun jembatan itu nanti akan diberi hak pula mengembangkan kawasan industrialnya," ujar si sumber. "Kalau tidak begitu, pasti tak akan ada yang mau."

Bagaimana soal pembiayaan dan jaminan pemerintah? "Mengenai pembiayaan dan sebagainya, baru akan dibicarakan dalam satu pertemuan lagi. Sebab, ada usul-usul Pak Agus yang harus dipertimbangkan," kata Hidayat. "Presiden mengatakan, kalau dimungkinkan dan diharuskan ada penyempurnaan, beliau tidak keberatan perpresnya diubah."

Seorang sumber Tempo lainnya mengatakan draf revisi itu sebenarnya sudah hampir matang. Tapi, saat Agus Marto dimintai pendapat, ternyata beberapa poin yang menjadi perhatiannya untuk diperbaiki belum cukup terakomodasi. "Akhirnya mentah lagi," kata sumber tersebut. "Masih berkutat seputar masalah jaminan pemerintah."

Meski belum sepenuhnya diputuskan, angin segar masih berembus kencang ke PT Graha. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, yang ditemui seusai rapat Tim Tujuh di kantornya, 6 Agustus lalu, mengatakan pemerintah akan membuat perjanjian kerja sama tersendiri dengan pemrakarsa proyek.

"Selain itu, akan ada peraturan Menteri Koordinator Perekonomian," katanya. "Perjanjian kerja sama tersebut akan mengakomodasi keinginan pemerintah dan pelaksana proyek." Tapi, ia memberi catatan, bagaimana persisnya perjanjian itu masih akan dirumuskan lagi dari pertemuan berikutnya.

Nah, di sinilah soalnya bagi PT Graha. Dalam situasi yang serba belum pasti ini, pernyataan keras Wiratman bisa saja mengganggu. Apalagi profesor yang sudah terlibat pengkajian mengenai jembatan di Selat Sunda sejak 1965 itu banyak meributkan mengenai kemungkinan dominasi kepentingan Cina dalam proyek ini.

Tak mengherankan bila dua hari setelah pertemuan panas pada Senin sore itu, pemilik Grup Artha Graha, Tomy Winata, kembali mengirim utusannya menemui Wiratman. Sang utusan adalah Babay Chalimi, yang juga hadir dalam pembicaraan sebelumnya. Kali ini ia datang ke kantor Wiratman di Graha Simatupang, Jakarta Selatan. Ia meminta penjelasan sekaligus menyampaikan pesan dari Tomy Winata.

Menurut Wiratman, Babay menjelaskan bahwa Tomy Winata tak hendak menyingkirkan dia dalam pengerjaan studi kelayakan, yang ditaksir senilai Rp 2-3 triliun. Tapi mereka harus menggandeng investor dari Cina untuk bisa mendapatkan akses pembiayaan dari negeri itu. Nanti, sang utusan berjanji, PT Graha Banten dan Wiratman tetap akan menggarap proyek.

Sayang, Babay tak bisa dimintai penjelasan. Berkali-kali dikontak, ia tak merespons. Demikian pula para pejabat PT Graha Banten lainnya. Tapi, dalam kesempatan sebelumnya, kepada majalah ini Tomy Winata pernah menegaskan bahwa pihaknya akan patuh pada apa pun keputusan yang nanti dibuat pemerintah.

"Perlu diketahui, sejak 2004 hingga tahun lalu, sedikit sekali yang memperhatikan proyek ini. Banyak yang sangsi akan berhasil dan menilai yang kami lakukan hanya mimpi," kata sang taipan. "Jika sekarang proyek ini tampak cantik dan menarik perhatian semua pihak, sehingga pemerintah mungkin menilai risikonya tak sebesar dahulu dan kini berpikiran lain, sikap kami tetap sama."

Sejauh belum ada perubahan, Tomy menegaskan posisinya tetap berpegang pada Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011. "Jika pemerintah pusat secara legal dan sah memutuskan lain, kami akan tunduk, patuh, loyal, dan siap menyesuaikan. Ini demi terbangunnya kawasan dan infrastruktur Selat Sunda."

Toh, Wiratman belum percaya 100 persen dengan janji yang dibawa sang utusan itu. Masih ada kekhawatiran bahwa ia akan ditinggalkan di tengah jalan. "Ya, cuma bilang begitu. Tak ada jaminan."

Y. Tomi Aryanto, Jobpie Sugiharto, Eka Utami Aprilia, Syailendra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus