Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Warga Tanah Merah, yang bermukim dekat dengan Depo Pertamina Plumpang kerap dianggap sebagai orang-orang yang menempati lahan ilegal, bukan milik mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah tentang kepemilikan lahan tempat sekarang mereka hidup turun-menurun kembali muncul ke publik setelah kebekaran Depo Pertamina Plumpang pada Jumat, 3 maret 2023 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andaikan saja mereka, para warga itu tidak tinggal di dekat Depo Pertamina yang punya risoko tinggi itu, tentu saja tidak akan ada berjatuhan korban jiwa.
Persoalan ini dengan cepat merembet ke masalah politik. Semula menyeret Gubernur DKI Anies Baswedan yang memberikan IMB kawasan, namun belakangan juga menarik Jokowi ke pusaran masalah karena di saat ia menjadi Gubernur DKI memberikan KTP kepada warga Tanah Merah, yang selama ini dianggap ilegal.
Kendati dianggap sebagai pemukim ilegal yang menempati lahan bukan miliknya yang sah, mereka, warga Tanah Merah telah menulis sejarah mereka sendiri, sejarah tanah yang mereka tinggali, hingga asal-usul mereka kemudian bertempat tinggal di sana.
Arsip sejarah tentang asal-usul Tanah Merah dari sebelum kemerdekaan RI
Tempo memperoleh sejarah Kampung Tanah Merah yang didokumentasikan oleh Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB). Dokumentasi ini Tempo terima pada, Ahad, 12 Maret 2023.
Sejarah Kampung Tanah Merah, Jakarta Utara dimulai sebelum kemerdekaan. Di dokumen itu tertulis, lahan tersebut dahulunya sudah terdapat beberapa pemukiman. Kebanyakan dihuni dan ditempati orang-orang Belanda dan etnis Tionghoa.
Kala itu, kawasan Tanah Merah dikenal dengan dengan sebutan Kobak Sengon, Rawa Gelam, Rawa Pesak, Kali Batik dan Bendungan Melayu.
Adapun soal nama Bendungan Melayu, punya sejaranya sendiri. Nama ini berasal dari adanya bendungan yang dibangun pemerintahan kolonial Belanda Pada saat musim hujan sungai sering meluap dan terjadi banjir maka penjaga bendungan atau orang Jawa menyebut “bendungane mlayu (hanyut)”, dari situlah muncul nama jalan Bendungan Melayu di Rawa Badak.
Pada 13 Januari 1958, disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Termasuk pada tanah hak Eigendom milik Etnis Tionghoa seluas 10 bouw atau tanah Eigendom Verpondinh No 4941 seluas 14.0065 meter persegi atau 14 hektar di wilayah kelurahan Tugu Kecamatan Koja atas nama SIM Kim Hoei.
Jejak penggarap di Tanah Merah
Dalam daftar tabah Eigendem kemudian menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara terdaftar pada 13 Maret 1976 SK. 46/ DJA/76 atau buku daftar tanah Partikelir yang terkena Undang-Undang No 1/ 1958 ditanda tangani oleh Direktur Landrefrom Drs Soerjadi Hadisoewarno pada akhir Desember 1958.
Dua tahun berikutnya pada 24 September 1960 diberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Pada 24 September 1964 ada jejak penggarap di atas Tanah Merah. Hal ini dibuktikan dari pengakuan orang yang bernama Samin dalam surat pernyataan tanggal 5 Januari 1981 yang menjelaskan bahwa ia telah menggarap tanah seluas 25.000 meter persegi atau 2,5 hektar milik Moh Bustk uang dibeli dari Rusman pada 1960 seharga Rp 850.000.
Surat itu tertera melalui kuasa hukum atas nama Moch. Busro yakni advokat yang berkantor di Jalan Pisang Lama I No 20 Jatinegara. Busro memberikan kuasa tersebut pada tanggal 25 Januari 1981.
Orang Tionghoa tinggalkan Tanah Merah pasca G30S
Saat peristiwa gerakan 30 September 1965 penduduk etnis Tionghoa yang bermukim di kawasan itu banyak yang meninggalkan lahan dan tempat bermukimnya. Data itu diperoleh dari kesaksian Almarhum Boran atau Co’en dan Sanen.
Maka warga menggali tanah di kawasan itu menemukan puing-puing bekas bangunan permanen. Warga mulai membangun saat kondisi wilayah berbentuk hutan semak berduri.
Kemudian, pada 27 Juli 1968 Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Izin Penggunaan Tanah kepada Pertamina No. AD. 7/4/29/68 yang memberitahu bahwa Pertamina diberi izin untuk membangun Depo Pertamina hanya seluas 400 x 350 meter persegi = 140.000 meter persegi atau 14 hektare.
Pilihan Editor: Cerita Ketua RT saat Warga Kampung Tanah Merah Bayar PBB 1980-an