Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Terasing Tabib di Kampung Sendiri

Dokter diaspora diduga mengalami diskriminasi saat pulang. Di negara lain, organisasi dokter hanya menjadi serikat pekerja.

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULANG ke Indonesia pada Januari 2021, Silvia—bukan nama sebenarnya—berharap bisa segera mengobati pasien. Ia langsung mengikuti program penyetaraan yang wajib diikuti dokter lulusan luar negeri agar bisa segera berpraktik di Indonesia. Namun mimpi dokter diaspora itu tertunda. Silvia baru mengikuti tes penempatan setelah menunggu sekitar satu tahun.

Tes penempatan diadakan oleh Kolegium Dokter Indonesia. Ini lembaga di bawah Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia—salah satu unsur pimpinan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengurus pendidikan kedokteran. Merampungkan penyetaraan ijazah dan verifikasi berkas di Konsil Kedokteran Indonesia pada Juni tahun itu, dia tak bisa segera mengikuti tes penempatan.

“Saya dan beberapa teman tak pernah mendapat kepastian kapan kami dites,” katanya kepada Tempo, Jumat, 13 Januari lalu. Mengikuti tes penempatan pada Januari 2022, Silvia harus menunggu sekitar empat bulan sebelum menjalani proses adaptasi. Kini ia tengah menjalani adaptasi—berlangsung enam bulan hingga dua tahun—di luar Pulau Jawa.

Jauh-jauh mencari ilmu ke negeri seberang, seorang dokter diaspora Indonesia juga mengalami keribetan seperti Silvia. Sertifikat dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) dari satu kampus di Eropa tak lantas membuat Arya—bukan nama sebenarnya—bisa segera berpraktik. Ia dipusingkan oleh berbagai proses administrasi dan adaptasi. “Saya dapat surat izin praktik setelah tiga tahun kembali,” ujarnya.

Baca: Bagaimana Kepala BRIN Berburu Diaspora Indonesia

Dokter diaspora yang kembali ke Tanah Air juga mengalami diskriminasi. Menunjukkan bukti transfer kepada Tempo, Silvia membayar biaya tes penempatan Rp 2 juta dan Rp 500 ribu ke rekening Ikatan Dokter Indonesia dan Kolegium Dokter Indonesia. Jumlah yang sama wajib disetor jika ia mengikuti tes uji kompetensi dokter Indonesia.

Padahal dokter lulusan dalam negeri cukup membayar tes kompetensi Rp 2 juta. “Sebagai warga Indonesia, saya merasa didiskriminasi,” tuturnya.

Berbagai kalangan menilai IDI sentimen terhadap dokter lulusan luar negeri ataupun dokter asing. Erfen Gustiawan, Sekretaris Umum Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia—organisasi yang mencoba meruntuhkan dominasi IDI—menuding IDI mempersulit masuknya dokter diaspora Indonesia. “Seharusnya mereka mendapat perlakuan setara,” kata Erfen.

Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam menganggap IDI dan organisasi sayapnya cenderung mengurus persoalan administratif alih-alih mengembangkan profesionalitas anggotanya. Judil pun menilai pengurus IDI berpotensi menyalahgunakan kewenangan, seperti dalam rekomendasi penerbitan surat izin praktik.

Ia mencontohkan, ada dokter yang harus membayar Rp 7 juta guna mendapatkan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia. Rekomendasi itu diperlukan untuk mengurus surat izin praktik (SIP) di dinas kesehatan daerah. “Tanpa surat rekomendasi IDI, dokter bakal sulit mendapat SIP,” ujar Judil.

Selain itu, IDI berwenang memperpanjang batas waktu surat tanda registrasi (STR). Para dokter harus memenuhi 250 satuan kredit profesi (SKP) setiap lima tahun untuk memperpanjang batas waktu STR. Salah satu cara mengumpulkan SKP adalah lewat ranah pembelajaran seperti seminar, yang juga kerap diadakan IDI. Biayanya mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Masalahnya, kata Judilherry, duit yang masuk ke IDI tak jelas muaranya. IDI pun tak mempunyai lembaga pengawas internal. “Di sini IDI tidak akuntabel,” ucap Judil, yang menjabat Wakil Ketua Dewan Penasihat Pengurus Besar IDI pada 2012-2015.

Juru bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Mahesa Pranadipa Maikel, membantah adanya diskriminasi terhadap dokter diaspora dan dokter asing. Menurut dia, proses adaptasi dibutuhkan lantaran kurikulum di luar negeri sangat berbeda dengan Indonesia. Ihwal lamanya penempatan, Mahesa menyatakan tak semua pusat pendidikan siap menampung dokter dari luar negeri. “Dokter dari luar negeri juga mendapat STR sementara dari Konsil Kedokteran Indonesia,” kata Mahesa.

Baca: Manuver Dokter Terawan Melawan Pemecatan oleh IDI

Sedangkan Wakil Ketua PB IDI Slamet Budiarto mengklaim IDI selalu melakukan audit internal terhadap keuangan organisasi setiap tahun. Namun ia mengakui audit belum berjalan di semua cabang. Baru IDI pusat dan cabang tertentu yang menjalankan audit.

Ia mengklaim duit yang masuk ke IDI digunakan untuk biaya operasional dan gaji pengurus di semua cabang. Sumber pemasukan paling jelas adalah iuran anggota Rp 30 ribu per bulan, dari anggota mereka yang jumlahnya lebih dari 191 ribu dokter. Jumlah itu pun dianggap minim. “Baru 30 persen cabang IDI yang punya gedung,” ujarnya.

Dokter Diaspora Enggan Pulang

Ribetnya birokrasi kedokteran di Indonesia membuat sejumlah dokter diaspora ogah pulang. Tony Setiobudi, dokter di Mount Elizabeth Hospital, Singapura, mengaku enggan menghadapi sistem kedokteran, termasuk organisasi profesi, yang birokratis dan diskriminatif. “Di Singapura tak perlu rekomendasi untuk memperpanjang izin praktik,” katanya.

PB IDI memberikan keterangan mengenai prosesn pendidikan dan distribusi kedokteran spesialis di gedung PB.IDI, Menteng, Jakarta, 13 Desember 2022. TEMPO/Muhammad Ilham Balindra/Magang

Menurut Tony, Singapore Medical Association, organisasi profesi dokter di sana, hanya menjadi organisasi sosial. Lembaga itu tak berwenang membuat regulasi apa pun. Para medikus pun tak wajib bergabung dengan lembaga yang berperan sebagai serikat pekerja itu.

Begitu pula di Britania Raya, British Medical Association (BMA) hanya berperan sebagai organisasi yang mengadvokasi profesi kedokteran. Dokter asal Indonesia yang bekerja di Kings College Hospital, London, Arief Gunawan, mengatakan BMA bertujuan meningkatkan kesejahteraan dokter.

“Mereka terlibat dalam negosiasi gaji dengan rumah sakit atau mengurus lembur yang tak dibayar,” tutur Arief. Adapun untuk urusan sertifikasi dokter dan pendidikan, terdapat lembaga-lembaga tersendiri seperti General Medical Council, Royal Colleagues, dan Higher Education England. Tiap lembaga independen dan tak terikat satu sama lain.

Arief belum berencana kembali ke Indonesia. Ia tak ingin membuang waktu terlalu lama untuk mempraktikkan pendidikan spesialis hematologi. Seandainya tak ada lagi syarat adaptasi bagi dokter diaspora, Arief mungkin berminat pulang.

Laporan Khusus: Dokter Legendaris di Balik Kemerdekaan dan Penanganan Wabah

Persoalan dokter diaspora menjadi salah satu substansi dalam rancangan omnibus law kesehatan yang sedang dibahas di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Tempo, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan omnibus law kesehatan akan memudahkan dokter diaspora bekerja di Indonesia. “Terutama diaspora yang datang dari institusi ternama,” ujar Budi.

Mantan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara ini mempertanyakan lama adaptasi bagi dokter diaspora. “Apakah dokter dari Harvard Medical School atau lulusan Oxford harus adaptasi dua tahun di Papua? Mending mereka langsung praktik,” katanya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus