Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWAN Perwakilan Rakyat dan pemerintah sedang membahas rancangan omnibus law kesehatan. Konsepnya mengubah sekaligus Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Praktik Kedokteran. Rencana ini memicu protes pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi di bawahnya yang berdemonstrasi ke Dewan Perwakilan Rakyat pada November 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota IDI khawatir omnibus law itu akan mendorong liberalisasi jasa kesehatan karena membuka pintu masuknya dokter dan manajemen rumah sakit asing. Para dokter meminta pemerintah tak meneruskan pembahasannya. Namun, dalam sidang paripurna pada 15 Desember 2022, DPR menetapkan rancangan itu dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, pemerintah menilai omnibus law bisa menjawab sejumlah masalah dalam sistem kesehatan, antara lain kurangnya jumlah dokter. Menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah ideal dokter 1 per 1.000 penduduk. Dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, idealnya Indonesia memiliki 270 ribu dokter. Faktanya, Indonesia baru memiliki sekitar 120 ribu dokter. Jumlah dokter spesialis juga masih minim.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, minimnya program studi kedokteran di universitas membuat pasokan dokter minim. Ada pula faktor surat izin praktik (SIP) dan surat tanda registrasi (STR) yang bergantung pada organisasi profesi seperti IDI. Kementerian Kesehatan hendak mengambil alih pemberian izin dokter. “Banyak orang Indonesia berobat ke luar negeri karena enggak ada dokter di Indonesia,” kata Budi Gunadi kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Husein Abri, pada Sabtu, 17 Desember 2022.
Ketua Umum IDI Adib Khumaidi mengakui memang ada masalah dalam hal pelayanan, pembiayaan, juga pendidikan kesehatan. Namun, menurut dia, perbaikan bisa dilakukan tanpa mengubah regulasi dan tidak perlu memakai omnibus law. Ia menepis anggapan bahwa IDI punya kekuasaan besar menapis para dokter. “Enggak semua dokter dari keluarga darah biru menjadi dokter spesialis,” katanya kepada Abdul Manan dan Tara Reisya dari Tempo pada Senin, 12 Desember 2022.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin:
Pemerintah Ingin Menyederhanakan Izin
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) menyapa sejumlah perawat di sela "Soft Opening" Rumah Sakit Umum Pusat dr. Ben Mboi Kupang, Kelurahan Manulai II Kota Kupang, NTT, 22 Desember 2022. ANTARA/Kornelis Kaha
Apa isi omnibus law kesehatan ini?
Ada enam pilar. Paling dekat itu reformasi layanan primer. Untuk mencegah orang sakit dan menjaga orang tetap hidup sehat. Itu lebih murah, kualitas hidup lebih baik. Kedua, untuk mendorong rumah sakit melayani masyarakat. Penyebab kematian paling tinggi penyakit jantung. Ongkosnya paling mahal, sekitar Rp 9 triliun. Penderita harus pakai ring. Dari 500-an kabupaten/kota, rumah sakit yang bisa memasang ring jantung di bawah 80. Dari 34 provinsi, hanya 25 yang rumah sakitnya bisa pasang ring. Di Ambon, misalnya, enggak bisa pasang ring.
Kalau orang bilang dokter sudah cukup dan masalahnya pada distribusi, Anda tidak mengidentifikasi masalahnya dulu. Dokter butuhnya 350 orang. Produksinya 25 dokter. Kenapa sih selalu ada yang menentang ide dokter harus ditambah? Kenyataannya, semua pusat kesehatan masyarakat enggak lengkap dokternya. Banyak orang Indonesia ke luar negeri karena enggak dapat dokter Indonesia. Kalau dokter cuma kasih waktu 3-5 menit untuk melayani pasien, apa itu tidak menunjukkan dokternya kurang?
Mengapa jumlah dokter kurang?
Makanya jangan ada moratorium. Wewenang pendirian fakultas kedokteran dan program studinya akan kami tarik kembali ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Jika Universitas Airlangga mau buka program studi kedokteran, mereka mesti minta kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tapi izin enggak keluar. Katanya butuh rekomendasi dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Kata KKI butuh pendapat kolegium profesor-profesor. Dikejar ke sana, enggak dikeluarin juga.
Saya pernah berbicara di depan Pak Jokowi, pasien yang paling banyak meninggal itu sakit paru. Di Universitas Gadjah Mada tidak ada spesialis paru. Fakultas Kedokteran UGM nomor tiga tertua di Indonesia, tapi enggak ada spesialis paru karena tidak diizinkan oleh kolegium. Itu kenapa dokter sangat kurang. Mengapa kolegium bisa melarang (program studi) dibuka? Kenapa dari 92 fakultas kedokteran hanya 20 yang bisa produksi dokter spesialis? Kenapa fakultas kedokteran dimoratorium, padahal dari kebutuhan 270 ribu dokter, baru terpenuhi 120 ribu. Kita masih kurang 150 ribu dokter.
Jadi ini soal wewenang organisasi profesi?
Wewenang membuka program studi dan fakultas kedokteran harus berada di pemerintah sehingga bisa saya instruksikan ke kampus dan meminta mereka membuka program studi penyakit dalam karena enggak ada spesialis penyakit dalam di daerah. Di luar negeri, praktik pendidikan dokter spesialis tidak dilakukan di perguruan tinggi, tapi di rumah sakit. Kenapa? Karena masalah bayar-bayaran. Kan, ada protes, “Ini masuknya susah, bayarnya mahal.” Di semua negara tidak ada satu pun pendidikan dokter spesialis mesti bayar ke fakultas kedokteran karena dokter dianggap bekerja dan digaji oleh rumah sakit. Jadi praktik terbaik pendidikan spesialis itu dilakukan di rumah sakit karena latihan dan belajarnya di rumah sakit.
Kedua, rumah sakit ada 3.000. Fakultas kedokteran 92. Kalau mau produksi dokter spesialis banyak, ya, ke rumah sakit. Ketiga, praktik terbaik. Di seluruh dunia, pendidikan dokter spesialis ada di rumah sakit. Di sini pendidikan dokter spesialis mahal karena masuknya susah. Ada pula soal “darah biru”. Ada yang marah dan mengaku enggak bisa masuk karena bukan “darah biru”.
Apa solusinya menarik kewenangan ke pemerintah?
Itu untuk memperbanyak lulusan. Enggak usah bayar Rp 400 juta atau Rp 500 juta, kalau buka di rumah sakit, yang jumlahnya banyak dan biayanya lebih murah. Kalau di luar negeri, para dokter memperdalam keahlian sambil kerja, dibayar oleh rumah sakit.
Pemerintah akan mengubah kebijakan tentang SIP dan STR. Apa pertimbangannya?
Kami ingin menyederhanakan izin yang lima tahunan itu dari dua menjadi satu supaya tidak merepotkan dokter setiap kali ia mau mengurus perpanjangan izin. Supaya tidak membebani dokter dari sisi finansial karena setiap kali pengurusan ada biaya. Apakah kondisi yang harus dipenuhi untuk pemenuhan STR, seperti pembaruan ilmu, itu harus hilang? Enggak. Tetap ada di ketentuan yang baru ini. Yang kami ubah adalah siapa yang dapat memberikan SKP (sistem kredit profesi) dan tidak dimonopoli oleh satu institusi. Pemerintah bisa mengatur. Organisasi profesi bisa kami kasih SKP. Rumah sakit dan kampus bisa kasih SKP. Jadi enggak ada monopoli siapa yang berhak memberikan SKP sehingga terjadi efisiensi dan transparansi untuk memperoleh SKP untuk perpanjangan izin. Apa pun nanti namanya.
Usulan itu terlihat menghapus peran IDI....
Saya tidak menghapus peran organisasi profesi. Saya membuka peran organisasi lain untuk bisa berpartisipasi.
IDI khawatir omnibus law kesehatan membuka pintu masuk untuk dokter asing?
Yang akan diprioritaskan pemerintah adalah memudahkan diaspora atau orang Indonesia yang berpendidikan kedokteran di luar negeri untuk bisa beradaptasi dan masuk. Terutama diaspora Indonesia yang datang dari institusi-institusi ternama, seperti Harvard Medical School. Mereka sudah lima tahun praktik, kenapa mesti diwajibkan adaptasi dua tahun di Papua?
Soal investasi asing di rumah sakit, apa pertimbangannya?
Setiap tahun ratusan ribu sampai satu juta orang Indonesia ke luar negeri mencari layanan kesehatan. Terutama di Medan, Kalimantan, itu lari ke Penang (Malaysia), Singapura, untuk mendapat layanan yang lebih baik. Supaya itu tak terjadi, kami akan membuka peluang investasi rumah sakit internasional ternama agar buka cabang di Indonesia. Pada 1978, kita membuka diri terhadap institusi keuangan dunia, seperti Citibank, untuk beroperasi di Indonesia. Jadi nama besar seperti Mayo Clinic, Mount Elizabeth, nanti buka saja di Indonesia. Bila mereka membawa dokter asing, itu harus di dalam payung rumah sakit. Tidak boleh dokter asing praktik sendiri. Dokter asing harus didampingi dokter-dokter Indonesia. Sama seperti Citibank datang ke Indonesia dengan membawa 100 bankir asing. Sekarang bankir-bankir itu tinggal sedikit karena bankir-bankir Indonesia sudah bisa bersaing dengan bankir-bankir asing.
Bagaimana pemerintah menanggapi penolakan IDI?
Diskursus itu wajar. Lebih baik kita berdiskusi. Jangan di jalan. Kita terlibat saja di Zoom. Saya bukan orang yang susah diajak ngobrol. Perbedaan itu biasa, enggak usah terlalu dihambat, tapi lakukan dengan cara yang benar. Apa pun yang kami lakukan harus meningkatkan kualitas dan akses layanan kesehatan ke masyarakat. Harus baik buat masyarakat.
Budi Gunadi Sadikin
Tempat dan tanggal lahir: Bogor, Jawa Barat, 6 Mei 1964
Pendidikan:
- Fisika Nuklir Institut Teknologi Bandung, 1988
Pendidikan eksekutif:
- Strategic Thinking and Management for Competitive Advantage Program dari Wharton University of Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, 2008
- Global Strategic Management dari Harvard Business School, Amerika Serikat, 2009
- Venture Capital Executive Program dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, 2010
- Interpersonal Dynamics for High-Performance Executives dari Stanford Graduate School of Business, Amerika Serikat, 2011
- Risk Management in Banking dari INSEAD, 2012
Karier:
- Kantor pusat IBM Asia-Pasifik di Tokyo, Jepang, 1988-1994
- PT Bank Bali Tbk, 1994-1999
- ABN AMRO Bank Indonesia, 1999-2004
- Presiden Direktur Bank Mandiri, 2013-2016
- Penasihat Senior Menteri Badan Usaha Milik Negara, 2016-2017
- CEO PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), 2017-2019
- Wakil Menteri BUMN, 2020
- Menteri Kesehatan, 2020-sekarang
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi:
Liberalisasi Menghilangkan Hak Warga
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi (tengah) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 4 April 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Apa urgensi omnibus law kesehatan?
Pandemi ini membuka problem kesehatan kita. Apa masalahnya? Kemampuan sarana-prasarana, kemandirian obat dan alat kesehatan, sumber daya manusia. SDM yang paling utama. SDM terkait dengan sejumlah spesialis tertentu, seperti paru, ditambah distribusinya yang tidak merata. Ada beberapa hal yang sebenarnya sering kami sampaikan. Misalnya dalam sistem kesehatan nasional, di situ akan meliputi sistem pendidikan, pembiayaan, pelayanan. Itu hal yang tidak terpisahkan. Kalau kita bicara sekarang, salah satu contoh saja, mengenai ketenagaan, kenapa kita selalu hanya bicara produksi? Kita enggak pernah bicara distribusinya. Kementerian Pendidikan pabriknya, Kementerian Kesehatan penggunanya. Tapi kita lupa pada Undang-Undang Pemerintah Daerah, bahwa mengisi tenaga kesehatan adalah kewenangan pemerintah daerah juga. Kalau IDI disebut menguasai hulu dan hilir, tidak ada kewenangan IDI di situ. Kami malah mendorong penilaian kebutuhan, bagaimana daerah memiliki hitungan tentang kebutuhan SDM, baik tenaga kesehatan maupun dokter. Ada rasio 0,1 atau 1 per 100.000 penduduk untuk berapa spesialis. Yang harus dihitung adalah basisnya wilayah. Ini yang sampai sekarang belum ada.
Apa yang dikhawatirkan IDI dari omnibus law kesehatan?
Dua hal. Kita masuk ke era digitalisasi, disrupsi, kemudian ada potensi liberalisasi jasa kesehatan. Liberalisasi jasa kesehatan jangan menghilangkan hak warga negara sendiri. Kepentingan anak bangsa, kepentingan para tenaga kesehatan yang saat ini mungkin masih ada beberapa permasalahan mendasar yang perlu kita perbaiki, kesejahteraan. Jangan sampai nanti dengan adanya liberalisasi membuka peluang itu, kemudian dokter asing masuk, tapi kita lupa memperhatikan anak bangsa sendiri.
Omnibus law ini membuka peluang masuknya dokter asing?
Di semua negara ada yang namanya penghambat yang efektif (selective barrier). Kenapa, kok, kita membuka seluas-luasnya? Negara yang lain saja belum tentu mau menerima kita untuk masuk ke negaranya. Kita harus punya kualifikasi.
Dari prosedur pembahasan, apa yang Anda persoalkan?
Kami tahunya dari laman DPR. Ada usulan Badan Legislasi untuk memasukkannya ke prioritas Prolegnas. Yang krusial, selain masalah tadi, ada yang berkaitan dengan eksistensi organisasi profesi dengan menghilangkan beberapa undang-undang yang selama ini berjalan baik, termasuk Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Dari sembilan undang-undang yang ada, memang mau dihapuskan, dinyatakan tidak berlaku. Di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran dan lain-lain itu ada fungsi organisasi profesi. Fungsi utamanya dua: memberikan perlindungan hukum dan memberikan kepastian hukum, baik kepada masyarakat maupun tenaga kesehatan. Konsepnya melindungi masyarakat, memandu dokter. Kalau itu dilebur dan dinyatakan tidak berlaku, bukan masalah IDI kehilangan eksistensi, tapi fungsi-fungsi itu akan hilang. Ini termasuk Konsil Kedokteran dalam fungsi pengawasan, kendali mutu.
Di rancangan itu tidak ada soal seleksi dokter asing?
Di situ ada pasal bahwa dokter asing sesuai dengan pengguna. Masuknya dokter asing sesuai dengan kepentingan pengguna, yaitu rumah sakit. Kalau kita tidak dilibatkan dalam proses seleksi dan kualifikasi, bukan tidak mungkin mereka akan dengan mudah masuk dan bekerja di rumah sakit. Siapa yang tahu kualifikasi dokter? Ya peer group-nya. Kalau di dokter, IDI. Di perawat ada Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Kita punya jejaring. Sekarang saya ketua ikatan dokter se-ASEAN. Kami cek kualifikasi para dokter. Bener enggak dokter ini? Bagus enggak? Ada masalah enggak di negaranya? Hal-hal seperti itu harus kami lakukan. Bukan soal IDI minta diakui, tapi menjaga masyarakat kita untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya.
Menurut pemerintah, keberadaan rumah sakit dan dokter asing bertujuan mendorong kompetisi dan mengurangi angka orang Indonesia berobat ke luar negeri....
Apakah itu karena masalah kualifikasi dokter, pelayanan, atau harga? Ini semua ternyata benar. Kualifikasi jelas. Misalnya ortopedi. Ada pasien ke Penang atau yang lain. Secara kualifikasi tak jauh berbeda, mungkin sama, karena ada penyetaraan kompetensi di ASEAN. Kemudian pelayanan. Di sana pasien dijemput di bandar udara. Itu servis yang sangat luar biasa bagi masyarakat. Ketiga, harga. Kenapa harga kita bisa lebih mahal? Ada biaya alat kesehatan dan obat. Kita lebih mahal dibanding Malaysia dan negara lain. Karena pajak kita lebih mahal. Pajak alat kesehatan kita masuk pajak barang mewah dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, dan yang lain.
Pemerintah akan menetapkan STR seumur hidup dan SIP dipegang pemerintah. Tak bergantung lagi pada rekomendasi IDI....
STR itu register berdasarkan sertifikasi. SIP itu administrasi. Saya mau praktik di rumah sakit, maka saya perlu surat izin praktik. Siapa yang menerbitkan SIP? Sekarang itu pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Kalau STR, selama ini yang menentukan medical council, lembaga negara dengan surat keputusan presiden. Mereka punya kewenangan, salah satunya, meregistrasi dokter dan dokter gigi. Meregistrasi tenaga kerja yang sudah disertifikasi oleh kolegiumnya. STR karena dasarnya sudah disertifikasi, perlu ada waktu. Waktunya tadi, semua negara rata-rata paling banyak tiga tahun. Eropa tiga tahun. Malaysia satu-tiga tahun. Kita lima tahun. Cukup panjang.
Apa bahayanya STR berlaku seumur hidup?
Dasar terbitnya surat tanda registrasi adalah sertifikasi. Saya dokter ortopedi, saya masih bisa melakukan operasi ortopedi dalam waktu lima tahun. Dengan cara apa? Oh, dia masih operasi, masih praktik, masih ikut seminar, update informasi, pengetahuan. Kalau ini tak dilakukan dan sertifikat dokter ortopedi berlaku seumur hidup, tiba-tiba saya kena stroke dan tak bisa mengoperasi, bagaimana? Anda tidak tahu, kan, saya pernah kena stroke tapi tetap praktik? Ada kasus dokter kena parkinson. Atau dokter terkena masalah etik, disiplin, atau hukum. Evaluasi dari sertifikasi itu. Sertifikasi itu mengevaluasi kompetensi, etiknya, dan apakah pernah kena kasus disiplin atau tidak. Itu alasan kenapa perlu evaluasi tahunan.
Dalam STR ada peran IDI?
STR itu sertifikasi kompetensinya oleh kolegium. Itu bagian dari organisasi profesi. Di IDI ada Majelis Kolegium Kedokteran lndonesia, yang membawahkan semua kolegium. Mereka yang tahu seorang dokter tidak pernah praktik, tak pernah ikut seminar, ada masalah etik, disiplin.
Kolegium itu bagian dari IDI?
Kolegium itu otonom. Badan otonom di organisasi profesi. Di IDI ada. Di perhimpunan juga ada.
Peran IDI dalam SIP seperti apa? Mengapa dianggap menghambat dokter?
Rekomendasi. Kenapa IDI harus ada? Dulu dasar filosofinya di Undang-Undang Praktik Kedokteran, yakni kata-kata “memiliki rekomendasi dari organisasi profesi”. Dokter yang sudah punya STR dan kemudian berpraktik harus punya rekomendasi dari organisasi profesi untuk menyatakan tidak ada kasus. Kalau SIP keluar langsung dari dinas kesehatan tanpa rekomendasi dari organisasi profesi, bisa jadi ada dokter gadungan. Ini ada di beberapa daerah. Siapa yang mengetahui dan bisa melakukan pengawasan? Organisasi profesi.
Kalau kemudian ada yang dianggap menghalangi dalam memberikan rekomendasi, kami secara internal bisa langsung memberikan intervensi. Contoh, kasus di Medan pernah ada salah satu dokter spesialis yang tidak dikasih rekomendasi praktik sampai beberapa lama. Karena belum ada laporan ke kami, ya, kami tidak tahu. Karena ada laporan bahwa ini lama, saya intervensi. Kami turunkan tim, permasalahannya di mana. Oh, ternyata sebenarnya tidak ada masalah. Saya buat surat agar segera memberi rekomendasi praktik. Tiga hari keluar. Artinya ini permasalahan internal. Sekarang sudah kami lakukan dengan membentuk hotline. Kalau ada teman-teman anggota mendapat perlakuan yang dipersulit penerbitan rekomendasi izin praktiknya, bisa melaporkan ke PB IDI. Kedua, kami buat edaran internal kepada IDI cabang seluruh Indonesia untuk membantu mempermudah penerbitan rekomendasi.
Ini yang jadi salah satu alasan pemerintah mengambil kewenangan penerbitan SIP?
Ada beberapa spot kasusnya. Enggak banyak sebenarnya. Yang melaporkan ke kami di Medan dan itu kami selesaikan. Ada beberapa kasus di Surabaya. Tidak banyak. Memang perlu ada informasi juga ke teman-teman di bawah bahwa, kalau mereka ada masalah, lapor saja ke kami. Nanti akan kami bantu.
IDI juga dianggap mempersulit pembentukan lembaga pendidikan kedokteran....
Pendidikan spesialis Indonesia pada 1980-an itu di IDI. Tapi ada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada 2003, kemudian Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebut kami hanya terlibat koordinasi untuk membuat standar pendidikan kedokteran ataupun spesialis. Jadi kami tidak masuk kerangka bagian pendidikan karena peraturan Menteri Pendidikan. Dalam peraturan itu ada yang namanya rasio dosen dan mahasiswa 1 : 3. Jadi satu dosen, tiga mahasiswa. Nah, inilah yang kemudian menjadi kendala juga pada saat membuka program studi pendidikan spesialis. Siapa yang punya kewenangan soal ini? Peraturannya di Kementerian Pendidikan.
Kedua, kewenangan mengakreditasi, membuka lembaga, ada di Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia. Di situ koordinasi kepada siapa? Kementerian Pendidikan, bukan IDI. Kalaupun melibatkan IDI, dalam hal ini kolegium, sifatnya hanya tim penjaminan mutu.
Standar IDI dianggap menyulitkan dokter, terutama dokter spesialis.
Nah, ini yang ada istilah “darah biru”. Saya muggle, darah campuran. Ada kualifikasi dalam pendidikan spesialis. Contoh, ada ujian tertulis. Ujian tulis itu basisnya universitas. Di Universitas Indonesia ada yang namanya Seleksi Masuk Universitas Indonesia. Kemudian ada uji tes potensi akademik. Ujian wawancara. Ini proses seleksi yang dilakukan program studi. Yang melakukan institusi pendidikan, bukan IDI. Kualifikasi ini yang menentukan siapa yang masuk. Kalau kuotanya enam, yang masuk enam. Jadi sangat selektif, bukan karena anaknya konsil. Ada juga anaknya konsil yang tidak masuk. Ini isu yang menurut saya tidak berdasar dan tidak bisa digeneralisasi.
Benarkah omnibus ini banyak memangkas peran IDI?
Ya. Menghilangkan. Yang dianggap menghambat selama ini adalah IDI. Kalau dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, kami hanya merekomendasikan izin praktik dan ikut berkoordinasi sebagai pihak yang dilibatkan dalam koordinasi, bukan pihak sentral dalam pembuatan standar pendidikan dan kompetensi. Hanya itu, yang lain enggak sentral. Salah kalau kami dianggap dari hulu ke hilir menguasai. Yang sangat selektif itu malah Kementerian Pendidikan karena mereka menjaga kualitas.
Kembali ke soal dokter asing, ada tuduhan IDI takut berkompetisi....
Saya kira tidak karena kualifikasi dokter di Indonesia secara kemampuan SDM tidak kalah. Yang jadi masalah di kita dengan dokter asing itu ada tiga. Pertama, kesenjangan teknologi karena mereka difasilitasi teknologi. Kedua, kesenjangan sertifikasi. Di kita belum semua tersertifikasi secara internasional.
Selama ini belum ada?
Belum semua. Saya di ortopedi sudah ada penyesuaian penyetaraan kompetensi, dengan standar ortopedi di ASEAN. Kolegium sudah mendorong kami untuk melangkah ke penyetaraan semua. Ketiga, kesenjangan bahasa. Tiga hal ini menjadi satu hal yang sekarang perlahan-lahan kita mulai. Soal bahasa, sekarang sudah sering dianjurkan pakai bahasa asing.
Ada yang menilai IDI sangat berkuasa jika dibandingkan dengan di negara lain, salah satunya memberi rekomendasi dan ikut menentukan pembentukan program studi?
Kalau dibilang dari rekomendasi, ada juga yang tanpa melalui IDI, langsung muncul ke dinas kesehatan. Maka akhirnya muncul dokter palsu itu. Kalau bicara rekomendasi pun, alurnya, selama pendidikan dia lulus, magang, akan mendapat sertifikat kompetensi dari kolegium. Kolegium bagian dari IDI, bukan IDI. Akhirnya dia dibawa ke council untuk mendapatkan STR. STR keluar dari council. Selesai internship, dia kembali ke council dan mendapatkan STR definitif. Baru setelah itu, “Saya mau praktik.” Dia datang ke IDI minta rekomendasi. Ini masalah administratif. Dari situ kemudian keluar SIP. Yang mengeluarkan SIP adalah PTSP.
Adib Khumaidi
Tempat dan tanggal lahir: Lamongan, Jawa Timur, 28 Juni 1974
Pendidikan:
- Dokter umum Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 1999
- Spesialis ortopedi dan traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
- Pendidikan doktoral di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar
Karier:
- Dokter umum di Klinik 24 Jam Jakarta, 1999-2001
- Dokter Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Sari Asih, Tangerang, Banten 2001-2007
- Dokter umum Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, 2004-2005
- Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran dan Kesehatan (FKK) Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2015-2016
- Anggota Komite Internship Dokter Indonesia Pusat, 2014-2017
- Dosen FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2006-sekarang
- Dokter spesialis ortopedi di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng, Jakarta, 2011-sekarang
- Dokter spesialis ortopedi di RS Sari Asih, Tangerang, 2011-sekarang
Organisasi:
- Ketua Tim Mitigasi Dokter IDI, 2020-sekarang
- Ketua Lembaga Kesehatan Majelis Ulama Indonesia, 2020-2025
- Ketua Umum Pengurus Besar IDI, 2022-2025
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo