Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu karya A.S. Laksana adalah sehimpunan cerita pendek yang membetot perhatian pembaca sejak baris pertama dan terus membuat penasaran hingga baris terakhir. Murjangkung tak hanya menyuguhkan cerita yang beres secara bahasa, tapi juga memorak-porandakan ingatan tentang segala yang baik, tertib, dan terjaga.
Sebutlah itu sejarah. Sang pengarang, dengan kepiawaian menyusun kalimat dan menyampaikan cerita, mengajak meragukan apa yang sudah diresmikan sebagai "sejarah nasional atau lokal" atau "kebenaran Kitab Suci". Laksana menyodorkan alternatif dalam memahami sejarah, yakni menggunakan ironi. Fakta sejarah bukanlah sesuatu yang suci dan benar sepenuhnya, melainkan berpeluang keliru dan menjadi bahan ejekan yang tak berkesudahan.
Bersikap skeptis terhadap sejarah adalah salah satu cara menemukan sudut pandang baru terhadap peristiwa yang selama ini diakui sebagai yang benar satu-satunya—misalnya oleh penguasa. Sikap ini penting untuk memberi kesegaran dalam menilik ulang masa lalu. Kita bisa bolak-balik melongok kehidupan sekarang dengan masa lalu seraya menemukan siapa saja tokohnya yang bisa membuat kita tertawa atau meringis karena cara bicaranya yang menohok ulu hati.
Sementara Pramoedya Ananta Toer adalah pengarang yang dengan kesungguhan dan keteguhan menulis kembali satu fase kebangkitan nasional Indonesia dalam tetralogi Pulau Buru, Laksana justru sangsi akan klaim-klaim kebenaran sejarah itu. Ia ingin menghindari keresmian seraya bermain-main dengan sejumlah fakta sejarah, yang selama ini telah telanjur diagung-agungkan dalam buku sejarah dan pidato. Inilah kontribusi Laksana pada khazanah sastra Indonesia.
Dalam satu cerpen, pembaca bisa menemukan tokoh yang sangat kurang ajar—misalnya gemar menghina atau mengejek kecacatan tokoh lain—tapi kita tahu kemudian tokoh itu dilahirkan sebagai semacam suara sumbang yang juga mewakili alam bawah sadar kita. Dalam cerpen lain, Laksana menghadirkan tokoh yang serba tertata dalam berbicara dengan watak yang mengesankan, tapi tokoh ini ternyata si jahanam yang tak bisa dimaafkan kejahatannya.
Tokoh seperti itu, juga tokoh-tokoh lain, tak hanya menunjukkan keperajinan (craftsmanship) si pengarang yang jarang dimiliki oleh banyak pengarang kita hari ini, tapi juga menunjukkan sebuah paradoks yang tak pernah selesai dalam cerita-cerita Laksana. Dalam Murjangkung, kita juga menyaksikan bangunan kalimat yang kokoh, sudut pandang yang beragam, dan dialog yang bernas. Cerita-cerita Laksana tertib dalam pelukisan, tapi menampilkan dunia yang telah rusak dengan tokoh-tokoh yang ringsek, penuh dendam, dan kebencian terhadap sesama.
Kegilaan tokoh-tokoh itu tak dibiarkan ngelantur sendirian. Ia mesti ditempatkan dalam tata tertentu sehingga kita kelak menerimanya sebagai "kegilaan dalam karangan". Dunia boleh hancur lebur dalam cerita, tokoh-tokoh bisa sangat memualkan, tapi semua ini mesti ditulis dengan beres, dengan logika cerita yang pas, dengan bahasa yang terjaga. Ini kekuatan Laksana yang hampir tak kita dapatkan dalam cerpen bahkan prosa kita hari ini. Ceritanya senantiasa bersinar sebagaimana pulau-pulau kecil pada malam yang gulita. Kita selalu ingin datang ke sana sebagai pemburu cahaya dan menyelami setiap sudutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo