Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jalan raya di jalur selatan dan utara Jawa mulai sepi dari lalu lintas pemudik.
Di Jawa Barat, ada jalur yang menunggu mati setelah beroperasinya jalan tol Cisumdawu.
Pemerintah mengklaim sudah memberi bantuan dengan memasukkan pedagang ke rest area.
SEJUMLAH pekerja sibuk mendirikan bangunan berbahan tripleks tebal di tepi Jalan Panglima Sudirman, persis di depan Taman Kota Caruban Asti, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Pada Selasa, 11 April lalu, para pekerja menyekat bangunan itu menjadi beberapa ruangan. Di dinding bangunan yang belum rampung, ada sejumlah foto pejabat sipil dan militer wilayah itu. “Ini akan menjadi pos pelayanan arus mudik Lebaran,” kata salah seorang pekerja kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Panglima Sudirman adalah jalur utama yang menghubungkan Madiun dengan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Jalan ini adalah lokasi keramaian warga dan titik kepadatan lalu lintas, termasuk jalur bagi para pemudik. Tapi, dalam tiga tahun terakhir, jalur Madiun-Nganjuk tak seramai dulu. Tak ada lagi pos pelayanan pemudik yang dibangun perusahaan swasta, yang biasanya berisi penyedia jasa servis sepeda motor hingga pijat cuma-cuma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2019, sebelum jalan tol Trans Jawa ruas Ngawi-Kertosono beroperasi, Madiun-Nganjuk adalah jalur gemuk. Beberapa perlintasan kereta api membelah jalan arteri itu, yang memicu kemacetan. “Dulu selalu terjadi kemacetan panjang,” ujar Prihadi, warga Desa Mejayan, Kabupaten Madiun. Kemacetan bisa berlangsung hingga tiga hari tiga malam. Banyak pemudik yang saat itu beristirahat di beberapa lokasi, termasuk di stasiun pengisian bahan bakar umum. Karena itu, Prihadi biasanya menggelar dagangan di sana, berharap ada rezeki dari para pemudik. Karena kini lokasi tersebut sepi, dia tak lagi membuka lapak.
Suasana warung makan di Jalan Raya Salatiga-Semarang, Kabupaten Semarang, yang sepi pengunjung, pada 11 April 2023. Tempo/Sephtia Ryanthie
Jiatno, perajin ukiran kayu jati di tepi jalur utama Madiun-Nganjuk, mengalami hal yang sama. Bahkan, kata dia, pada masa mudik 2019, jalur arteri di depan kiosnya itu tak seramai dulu. “Yang mampir untuk beristirahat di sini (kawasan Pasar Burung Saradan) sedikit,” tuturnya. Pasar Burung Saradan dulu adalah kawasan istirahat bagi pemudik. Sepinya pemudik berdampak pada usaha Jiatno. Suvenir ukiran kayu yang ia pajang kurang laku. Karena itu, dia menanam umbi porang sebagai usaha sampingan.
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Madiun Supriyadi mengakui banyak jalan arteri yang tak sepadat dulu karena pemudik memilih jalan tol. Tingkat penurunan arus lalu lintas, dia menjelaskan, mencapai 50 persen. "Yang melintas kebanyakan yang menempuh jarak dekat, seperti ke Nganjuk,” ucapnya. Toh, pemerintah daerah dan polisi tetap mendirikan pos di sana untuk memantau arus lalu lintas dan menangani kecelakaan. Kini titik rawan macet bergeser ke sekitar gerbang jalan tol Madiun.
•••
SEBELUM jalan tol dibuka, jalan raya yang membelah Surakarta, Boyolali, Salatiga, hingga Semarang adalah jalur utama pemudik rute Solo-Semarang di Jawa Tengah. Di sebuah tempat istirahat di tepi jalan perbatasan Kota Salatiga dengan Kabupaten Semarang, Kusmurwati membuka sebuah warung makan. Perempuan 58 tahun ini menangguk banyak rezeki dari pemudik yang mampir ke warungnya. "Di sini ada masjid dan tempat istirahat. Mereka mampir untuk salat, istirahat, dan ke warung saya," kata Wati—sapaannya—pada Selasa, 11 April lalu.
Wati membuka warungnya sejak pukul 6 pagi. Ketika masa mudik tiba, ia biasa membuka warung sampai tengah malam. "Baru bisa tutup jam 12-1," ujarnya. Tapi nasib Wati berubah perlahan sejak 2018, setelah jalan tol Solo-Semarang beroperasi. Kendaraan pribadi hingga bus antarkota antarprovinsi pindah ke jalur tersebut. "Sekarang jalan ini sepi," tutur Wati, mengeluh. Meski di tengah masa mudik, pernah dalam sehari Wati tak mengantongi penghasilan. "Padahal biaya saya tetap harus bayar sewa kios." Toh, Wati tetap berjualan di sana meski pedagang lain sudah menutup warung.
Bukan hanya pedagang di area istirahat, warga yang membuka usaha di sepanjang jalan Solo-Semarang, Salatiga, hingga Boyolali tergilas jalan tol Trans Jawa. Bagi pemudik, jalan tol menawarkan kemudahan karena bisa mengurai kemacetan. Tapi lain bagi pedagang, yang justru mengalap berkah saat arus mudik tiba. Pemilik bengkel di Jalan Raya Ampel, Kabupaten Boyolali, Surono, bersambat. Dulu, kata dia, saat masa mudik tiba, ia panen rezeki dari pelaju yang menambah angin ban atau mengganti oli. "Sekarang sepi. Tak jauh beda dengan hari biasa."
Toko oleh-oleh khas Sumedang, di Jalan Arteri Bandung-Cirebon, tepatnya di Pamulihan, Sumedang, Rabu, 12 April 2023. Tempo/Aminuddin
Bukan cuma di Jawa Tengah, para pedagang "korban" jalan tol Trans Jawa pun bergelimpangan di jalur pantai utara atau jalur pantura Jawa Barat. Dulu pantura adalah jalur legendaris karena selalu macet. Kini warung, toko, juga stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) sepi pengunjung. Wawan, pengelola SPBU Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Cirebon, mengeluh hanya bisa menjual satu tangki Pertalite dalam sepekan. "Untungnya masih terbantu oleh penjualan solar,” ujarnya. Jalur ini memang masih dilewati truk dan bus yang menyedot solar.
Wawan pun berusaha bertahan, enggan bernasib sama seperti rumah makan di samping SPBU yang ia kelola. Rumah Makan Surya Indah itu dulu ramai, tapi kini bangkrut gara-gara sepi pengunjung. Bangunannya terbengkalai. Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Cirebon Dadang Raiman mengakui jalan tol Trans Jawa membuat pedagang di jalur pantura boyak. Pemerintah Cirebon, dia mengungkapkan, berupaya membantu pedagang. Salah satu caranya adalah meminta pengelola tempat istirahat alias rest area jalan tol menampung mereka. Sejumlah pedagang pun membuka warung di rest area jalan tol Palimanan-Kanci dan Kanci-Pejagan serta Rest Area Heritage Kilometer 260B.
Di Jawa Barat, ada calon jalur "mati", yaitu Jalan Raya Cirebon-Bandung. Jalan penghubung Kota Bandung dengan kawasan pantura itu mulai sepi seiring dengan beroperasinya jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu). Gejala ini mulai terasa saat pemerintah menguji jalan tol Cisumdawu beberapa waktu lalu. Imas, pedagang oleh-oleh di Cianjunan, Simpang, Sumedang, mengatakan dagangannya tidak selaris pada saat Lebaran tahun lalu. Omzetnya turun dari Rp 1 juta menjadi Rp 300 ribu per hari. "Apalagi pas tol Cisumdawu gratis, pendapatan sehari cuma Rp 200 ribu."
Saat PT Citra Karya Jabar Tol yang mengoperasikan Cisumdawu menerapkan tarif normal, warung Imas agak ramai. "Orang-orang pada lewat sini lagi karena mahal kalau lewat Cisumdawu," ucapnya. Tarif jalan tol Cisumdawu dari Cileunyi, Kabupaten Bandung, menuju Cimalaka, Sumedang, sebesar Rp 41.500 untuk mobil pribadi. Itu sebabnya masih banyak yang enggan masuk jalan bebas hambatan itu. Tapi kondisi ini perlahan berubah karena lebih banyak yang masuk jalan tol demi memangkas waktu tempuh. Nasib Imas pun di ujung tanduk.
Sejumlah kendaraan melintas di Jalan Raya Solo-Semarang, Jawa Tengah, 11 April 2023. Tempo/Sephtia Ryanthie
Kendati tak seramai dulu lagi, pemerintah mengatakan, jalur arteri seperti pantura Jawa tak terlalu sepi. Sebab, kata Direktur Lalu Lintas Jalan Kementerian Perhubungan Cucu Mulyana, ada ribuan pemudik bersepeda motor yang saban tahun melewatinya. Itu sebabnya Kementerian Perhubungan menyulap sejumlah jembatan timbang kendaraan menjadi area istirahat buat pemudik. "Ada tujuh jembatan timbang, lima di pantai utara, yang kami ubah menjadi rest area," tuturnya pada Kamis, 30 Maret lalu.
Tapi tetap saja, jalan raya ini tak seramai dulu, ketika masih dilalui arus mudik. Bisa jadi jalan ini senasib dengan Route 66, jalan sepanjang 3.900 kilometer yang menghubungkan Chicago dengan Los Angeles di Amerika Serikat. Jalan yang menyambungkan kota dengan tiga zona waktu ini ditutup sejak 1985. Kawasan di sekitarnya pun mati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Tergusur Jalur Bebas Hambatan"