Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANUVER politik membangun koalisi besar yang didorong Presiden Joko Widodo tak banyak gunanya bagi masyarakat. Jika jadi terbentuk, gabungan partai itu bakal makin menutup kemungkinan munculnya calon presiden alternatif—yang secara normatif berdasarkan aturan pencalonan memang sudah sangat kecil. Kelak, andai calon presiden koalisi ini memenangi pemilihan, sudah pasti juga akan menghasilkan pemerintahan yang dipenuhi politik dagang sapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lontaran koalisi besar muncul dalam pertemuan lima ketua umum partai politik pendukung Jokowi di kantor Partai Amanat Nasional, Ahad, 2 April lalu. Gabungan PAN, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa memiliki 45 persen suara nasional pada Pemilihan Umum 2019. Tiga partai yang disebut pertama sebelumnya telah mendeklarasikan Koalisi Indonesia Bersatu. Adapun dua partai terakhir mengumumkan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembentukan koalisi ini besar kemungkinan dilakukan demi menghasilkan penguasa baru yang menjamin kelanjutan pemerintahan Jokowi. Konstitusi telah membatasi kekuasaan Jokowi hingga Oktober 2024 dan, karena itu, kini ia sedang menjadikan dirinya "kingmaker". Dua koalisi partai-partai itu yang dibentuk sebelumnya tak lepas dari pengaruh dia. Koalisi Indonesia Bersatu bahkan banyak disebut sebagai sekoci buat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, calon utama Jokowi yang belum mendapat tiket pencalonan dari partainya, PDI Perjuangan. Jalan buat Sang Gubernur tampaknya sudah makin dekat. Jika koalisi besar terbentuk, Jokowi setidaknya telah memiliki dua kandidat yang secara politik bisa mengamankannya setelah tak lagi berkuasa.
Pembentukan koalisi besar seperti diidamkan Jokowi itu sah-sah saja. Meski demikian, kenyataannya, setelah calon yang diusung memenangi pemilihan, pemerintahan akan selalu dipenuhi politik dagang sapi. Politik bagi-bagi ini membuat pemerintahan tidak berjalan ideal. Selain diisi figur-figur tak berkompeten, pemerintahan terus dipenuhi praktik korupsi. Sejak berdiri pada Desember 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi telah mencokok 12 menteri yang terbukti terlibat korupsi. Pada era pemerintahan Jokowi, empat menteri ditangkap, termasuk melalui operasi tangkap tangan. Pidato bahwa koalisi besar bertujuan membentuk "pemerintahan yang kuat dan pro-rakyat", tentu saja, bual-bual semata.
Contoh nyata pun bisa dilihat pada saat ini, yang hanya menyisakan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera di luar pemerintahan. Keberpihakan kepada masyarakat hanya tecermin pada pidato-pidato. Sementara itu, peraturan justru dibuat makin menjauhkan diri dari kepentingan orang banyak. Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, disusun dengan menerobos aturan baku pembentukan perundangan yang ternyata mengurangi hak-hak pekerja dan membahayakan kelestarian lingkungan. Koalisi pendukung Jokowi yang menguasai lebih dari 80 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat pun selalu menjadi kelompok paduan suara, tak pernah benar-benar menjalankan fungsi pengawasan mereka.
Pemilihan umum lima tahunan semestinya memberikan kesempatan kepada rakyat mendapatkan pemimpin terbaik. Syarat ambang batas presidensial 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional telah memperkecil peluang itu. Kini manuver pembentukan koalisi besar praktis telah menihilkan kesempatan tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Opini ini terbit di edisi cetak dengan judul "Koalisi Besar Kecil Faedah"