Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang brigadir jenderal polisi dituduh mengintimidasi majelis hakim pembunuhan Brigadir Yosua.
Ada hakim agung yang dituduh mengintervensi pengadilan.
Ferdy Sambo mengancam akan membuka rahasia pejabat polisi.
ADA yang berbeda dari rutinitas para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sejak dibentuk awal Oktober lalu, tiga tim majelis hakim yang menangani para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat kian sering menggelar rapat. Kebijakan spesial ini juga diambil lantaran menyeret mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, Ferdy Sambo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain mengadili Sambo, salah satu majelis hakim yang diketuai Wahyu Iman Santoso dan beranggota Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sujono juga menggawangi persidangan Putri Candrawathi, istri Sambo; Ricky Rizal dan Richard Eliezer Pudihang Lumiu, ajudan Sambo; serta Kuat Ma’ruf, sopir Sambo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Suhel dan Afrizal Hadi memimpin dua majelis hakim lain. Mereka menakhodai persidangan perintangan penyidikan (obstruction of justice) kasus pembunuhan Yosua. Sebanyak enam bekas perwira polisi duduk di kursi terdakwa dalam perkara ini.
Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djuyamto, beralasan rapat tersebut penting untuk menyamakan pemahaman di antara para hakim. Peran para terdakwa juga saling terkait karena dituduh turut serta membunuh dan merintangi penyidikan kematian Yosua. “Dalam perkara biasa tak perlu seperti itu. Tapi, dalam konteks perkara yang ini, harus kami lakukan,” ucapnya kepada Tempo pada Kamis, 16 Februari lalu.
Bersama pemimpin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lain, ketiga majelis hakim setidaknya sudah tiga kali menggelar rapat resmi. Dalam pertemuan tersebut, setiap panel menyampaikan proses perkara yang sedang ditangani ke hadapan para pemimpin.
Putri Candrawathi meninggalkan ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai mendapat vonis 20 tahun penjara, 13 Februari 2023./ANTARA/Rivan Awal Lingga
Djuyamto menjelaskan, meski berujung satu kasus pidana yang sama, yakni pembunuhan Yosua, kasus ini melibatkan banyak terdakwa dan dilakukan secara bersama-sama. Artinya, saat memutus hukuman, fakta hukumnya harus seiring dan sejalan. “Pemahaman hakim satu dan yang lain tidak boleh berbeda,” ujarnya.
Rapat tak melulu berjalan mulus. Mereka kerap beradu debat karena berbeda pandangan. Namun Djuyamto memastikan para hakim sudah memegang benang merah perkara tersebut. “Biasanya perbedaan mengenai fakta,” katanya. “Tapi tidak ada yang berbeda pendapat (dissenting opinion).”
Puncaknya, hakim Wahyu Iman Santoso membacakan hukuman mati kepada Ferdy Sambo pada Senin, 13 Februari lalu. Sambo terbukti menjadi otak rencana pembunuhan Yosua. Vonis ini lebih berat daripada tuntutan jaksa yang meminta Sambo dihukum bui seumur hidup. “Tidak ada alasan pembenar dan pemaaf yang bisa membuat hukuman Ferdy Sambo diturunkan,” ucap Wahyu saat membacakan amar putusan.
Pada hari yang sama, Wahyu juga membacakan hukuman 20 tahun penjara untuk Putri. Esoknya, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf dihukum masing-masing 13 dan 15 tahun penjara. Vonis ketiganya lagi-lagi lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum. Namun sikap hakim melunak saat menjatuhkan hukuman kepada Bhayangkara Dua Richard Eliezer. Ia hanya divonis satu tahun enam bulan penjara karena perannya sebagai justice collaborator kasus pembunuhan Yosua.
Majelis hakim meyakini Sambo dengan pikiran jernih dan sadar merencanakan pembunuhan Yosua. Ia juga menyusun skenario agar lolos dari jerat hukum. Indikasinya, Sambo sudah menyiapkan sarung tangan hitam sebelum menembak Yosua di rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Ia membangun cerita seolah-olah Yosua melecehkan Putri.
Pelecehan tersebut belakangan tak terbukti. Putri tidak menunjukkan tanda-tanda mengalami kekerasan seksual. “Tindakan pelecehan tidak mempunyai bukti fisik yang nyata seperti rekam medis,” tutur hakim Wahyu. Jika menilik teori relasi kuasa, majelis hakim melihat tak mungkin Yosua bertindak tak lazim kepada atasannya.
Selepas mendengar pembacaan vonis, Sambo meninggalkan ruangan sidang tanpa berucap sepatah kata pun. Ia ditengarai mengalami syok karena dihukum mati. Dua orang yang mengikuti perkara ini bercerita kubu Sambo sempat percaya diri hakim hanya akan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara.
Mereka punya alasan. Tim Sambo sempat membuat kajian dan perbandingan beberapa putusan perkara rencana pembunuhan. Salah satu rujukan mereka adalah hukuman 15 tahun penjara untuk putra mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Saat itu hakim meyakini Tommy mendalangi pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita.
Dua sumber yang ditemui secara terpisah itu juga menyebutkan ada utusan pejabat Polri yang menemui pemimpin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat persidangan masih berlangsung. Mereka meminta Sambo divonis 15 tahun bui saja dengan merujuk pada hukuman terhadap Tommy Soeharto.
Sambo juga disebut pernah melontarkan ancaman. Seorang perwira tinggi mengatakan Sambo pernah menggertak para pejabat utama Polri. Ia mengancam akan membuka sejumlah rahasia yang dipegang jika dihukum maksimal dalam kasus pembunuhan Yosua.
Ada pula yang bergerilya mengurangi hukuman Sambo. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. mengatakan gerakan bawah tanah itu dilakukan seorang brigadir jenderal polisi sebelum jaksa membacakan tuntutan Sambo. “Ada yang bilang seorang brigjen mendekati A dan B,” kata Mahfud.
Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, menyatakan lembaganya juga menerima informasi serupa. “Kami mengkonfirmasi bahwa apa yang disampaikan oleh Pak Mahfud itu benar,” ujar Miko.
Tapi gerakan itu kempis di tengah jalan. Miko meyakini ancaman itu tak mempengaruhi hakim karena Sambo dan terdakwa lain justru dihukum lebih berat daripada tuntutan jaksa. Sebelumnya, untuk mengantisipasi ancaman itu, Komisi Yudisial berkomunikasi secara informal dengan pemimpin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan hakim. “Ada kemungkinan gerakan itu melandai setelah Pak Mahfud menyampaikannya secara terbuka,” ucapnya.
Tiga orang yang mengetahui proses hukum Sambo menyebutkan jenderal bintang satu yang dimaksud Mahfud saat ini berdinas di satuan elite Polri. Sang polisi yang pernah bertugas bersama Sambo itu juga mengirimkan ancaman lewat orang dekat hakim Wahyu Iman Santoso. Mendengar adanya ancaman, Wahyu sempat ketar-ketir. Namun ia tak terpengaruh. Ia tetap mengetuk palu vonis mati.
Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan vonis terhadap Sambo berjalan tanpa ada tekanan. “Faktanya hasil vonis yang ada seperti itu,” ujar Sigit.
Ihwal identitas sang brigadir jenderal dan gerakan bawah tanahnya, Sigit menyarankan agar menanyakan langsung kabar ini kepada pihak yang membuat isu. Ia mengklaim kepolisian tengah bekerja keras memperbaiki organisasi selepas mencuatnya kasus Yosua. “Kami tengah melakukan langkah punishment dan reward secara berkelanjutan,” katanya.
Intervensi Hakim Agung
Kesibukan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama menangani perkara Sambo bukan hanya soal menyamakan persepsi. Mereka harus berkutat dengan berbagai kasak-kusuk dan menghadapi serangan balik kubu Ferdy Sambo.
Ketegangan mulai meningkat ketika kuasa hukum Kuat Ma’ruf melaporkan ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso ke Komisi Yudisial dengan tuduhan pelanggaran kode etik. Kuat tak terima atas pernyataan Wahyu yang menyebutnya bohong, tuli, dan buta di persidangan.
Berselang beberapa hari dari laporan Kuat, potongan video Wahyu beredar luas di media sosial. Video itu menunjukkan Wahyu berada di sebuah ruangan dan mengobrol dengan seorang perempuan yang belakangan diketahui bernama Dewinta Pringgodani, 57 tahun.
Di dalam video tersebut, Wahyu menyatakan tak butuh pengakuan Ferdy Sambo di persidangan karena sudah ada bukti kuat. Potongan rekaman lain menampilkan Wahyu sedang mengobrol di telepon. Dalam takarir video tertulis Wahyu sedang membahas vonis Sambo dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto. Belakangan, Agus membantah percakapan itu.
Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djuyamto, mengatakan Wahyu sudah lama mengenal Dewinta. Percakapan itu direkam saat keduanya mengobrol di ruang tunggu dokter Terawan Agus Putranto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta Pusat. “Isinya normatif saja, tak ada membahas pengaturan vonis,” ucapnya.
Dewinta dikenal sebagai orang dekat para petinggi kepolisian. Kepada beberapa orang, Wahyu bercerita ia merasa dikhianati oleh Dewinta karena telah merekam dan menyebarkan video itu. Kepada Tempo, Dewinta pernah menjelaskan soal video itu. Tapi ia menolak penjelasannya dikutip.
Berbagai rentetan peristiwa ini kian membuat Wahyu waswas. Sejak menangani kasus Sambo, hakim 47 tahun ini merasa makin banyak orang lalu-lalang di rumah dinasnya. Ia pernah tak sengaja menemukan alat pemandu posisi (global positioning system/GPS) di salah satu mobil sewaannya.
Tak ada yang mengetahui pemilik perangkat GPS itu. Selama beberapa bulan belakangan Wahyu kerap menggonta-ganti mobilnya untuk menghindari teror atau hal buruk lain.
Serangan juga masuk lewat dunia maya. Kali ini anggota keluarganya yang mengalami teror. Suatu saat ada kerabatnya yang berkali-kali menerima panggilan telepon dari Wahyu. Padahal Wahyu sama sekali tak menggunakan telepon selulernya saat itu.
Djuyamto juga menjumpai keanehan. Pada akhir Desember lalu, ia menerima kiriman 100 eksemplar majalah Tempo yang menurunkan laporan utama “Perang Tambang Para Jenderal”. Artikel itu menceritakan peran Ferdy Sambo di balik kasus suap tambang batu bara ilegal di Kalimantan Selatan. “Saya yakin bukan Tempo yang mengirim,” tuturnya.
Ia menilai pengiriman majalah tersebut bertujuan memberikan framing ada perang bintang di balik proses hukum Sambo. Kasus tambang ilegal itu turut menyeret nama Komisaris Jenderal Agus Andrianto.
Tak cukup sampai di situ, beberapa hakim agung dikabarkan berupaya mengintervensi Wahyu dan pemimpin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Salah seorang hakim agung senior, misalnya, menyarankan majelis hakim menjatuhkan hukuman maksimal kepada Sambo. Ia menyampaikan saran itu sebelum putusan dibacakan.
Seorang petugas yang mengetahui proses sidang mengatakan ada juga hakim agung yang memprotes hukuman mati untuk Sambo. Tapi majelis hakim tak goyah karena mendapat dukungan berlimpah dari berbagai kelompok hakim pengadilan hingga hakim agung lain.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suharto, membantah kabar ihwal adanya intervensi hakim agung dalam kasus Sambo. Ia mengklaim semua hakim bersikap independen dan bebas dari pengaruh luar. “Dapat dipastikan tidak mungkin ada intervensi dari siapa pun dan dari mana pun,” katanya.
Komisi Yudisial sudah berupaya mengantisipasi intimidasi dan intervensi yang akan dialami anggota majelis hakim kasus pembunuhan Yosua. Mereka menawari para hakim untuk mendapat pengawalan khusus hingga menyiapkan rumah aman.
Tapi pemimpin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan para hakim menolak bantuan tersebut. “Kami menghormati keputusan pengadilan untuk tidak memakai fasilitas itu,” ujar Miko Ginting.
Melalui Djuyamto, Wahyu menyampaikan tak berkenan diwawancarai Tempo. Ia beralasan tak ingin dianggap mencari popularitas. Ihwal intimidasi dan teror yang dialami Wahyu, Djuyamto menyampaikan para hakim meyakini Sambo adalah mantan pejabat yang berpendidikan tinggi sehingga tak akan berbuat buruk kepada para juru adil. “Dia akan berpikir matang-matang ketika mengambil tindakan,” ucapnya.
Hakim Wahyu Iman Santoso (tengah) saat melihat rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, 4 Januari 2023/Tempo/Subekti
Pengacara Putri Candrawathi, Febri Diansyah, mengaku sedang berada di luar kota sehingga tak bisa diwawancarai. Pengacara Sambo, Rasamala Aritonang, juga beralasan sama. Koordinator penasihat hukum Sambo dan Putri, Arman Hanis, tak membalas permintaan konfirmasi ihwal adanya intimidasi yang diduga berasal dari pendukung kliennya.
Namun Arman pernah menyampaikan bahwa pihaknya menghormati putusan hakim. Tapi ia menilai vonis terhadap Sambo dan Putri tidak sesuai dengan fakta persidangan. Ia menganggap tak ada bukti kuat Ferdy Sambo merencanakan pembunuhan Yosua. “Tidak berdasarkan fakta persidangan, hanya asumsi,” tuturnya.
Sidang perkara Ferdy Sambo di tingkat pertama ini memang telah rampung. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikabarkan masih sibuk mengadakan rapat-rapat guna menyiapkan antisipasi perlawanan dari kubu para terdakwa lantaran vonisnya jauh di atas ekspektasi. Tapi para hakim, termasuk mereka yang menangani kematian Yosua, tetap berkantor dan menjalani rutinitas. "Kami beraktivitas seperti biasa," kata Djuyamto.
EGI ADYATAMA, EKA YUDHA SAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo