Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Koordinasi Kementerian Kesehatan dengan RS Khusus Covid-19 di Wisma Atlet memburuk dan berujung pada penarikan fasilitas ventilator di sana.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dituding kerap absen dalam berbagai rapat sehingga menghambat proses pengambilan keputusan.
Penunjukan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan sebagai komandan penanganan pandemi menimbulkan polemik baru.
SURAT itu datang tanpa penjelasan. Diteken pada Kamis, 24 September lalu, oleh pelaksana tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Abdul Kadir, isinya singkat saja: Koordinator Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet harus segera memindahkan 37 alat kesehatan intensive care unit (ICU) mereka ke empat rumah sakit militer yang ada di Jakarta.
Paragraf pertama surat itu menyatakan pemindahan tersebut adalah keputusan rapat percepatan penanganan Covid-19 pada hari yang sama, yang dipimpin Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. “Mengingat makin meningkatnya jumlah pasien positif di Jakarta,” demikian alasan yang dikutip dalam surat mendadak itu.
Kebingungan langsung melanda Wisma Atlet. Selama ini, rumah sakit darurat itu sudah menjadi rujukan utama penanganan wabah Covid-19 di Ibu Kota. Sampai Sabtu, 26 September, pukul 06.00, jumlah keterisian tempat tidur di Wisma Atlet mencapai 4.912 pasien di tower 4, 5, 6, dan 7. Meski hanya dirancang untuk pasien dengan kondisi ringan dan sedang, keberadaan ICU di sana sudah dipersiapkan sejak awal untuk merawat pasien yang mendadak butuh penanganan intensif.
“Adanya ICU di Wisma Atlet bisa menjadi fasilitas transit untuk pasien yang tiba-tiba memburuk kondisinya,” kata Koordinator Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Mayor Jenderal TNI Tugas Ratmono. Selama ini, pasien dari Wisma Atlet yang butuh rujukan bisa menunggu berhari-hari karena ICU di rumah sakit lain rata-rata sudah penuh.
Karena itulah pengelola Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet berusaha menawar keputusan Kementerian Kesehatan itu. Tarik-ulur terus terjadi sampai Luhut mengutus anak buahnya, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto, menengok sendiri ruang perawatan intensif di tower 6 Wisma Atlet pada Jumat, 25 September pagi.
Menggunakan alat pelindung diri lengkap, Septian berkeliling ruang ICU ditemani sejumlah pengurus Wisma Atlet, termasuk Kepala Kesehatan Komando Daerah Militer Jayakarta Kolonel Ckm Stefanus Donny Guntur. Septian membenarkan ihwal kunjungan tersebut. “Fasilitasnya cukup bagus,” katanya. Dia melihat sendiri bagaimana puluhan alat medis, seperti monitor dan ventilator, telah terpasang di setiap ruangan.
Setelah kunjungan Septian, Wisma Atlet akhirnya bisa mempertahankan lima ventilator, dari semula hanya dua alat yang disisakan. “Pak Luhut minta tak semua ventilator dipindahkan untuk jaga-jaga jika ada pasien yang membutuhkan,” ujar Septian kepada Tempo, 25 September lalu. Malamnya, dipimpin Direktur Fasilitas Kesehatan Kementerian Kesehatan Andi Saguniruang, sejumlah pekerja memindahkan ventilator Wisma Atlet. Puluhan alat kesehatan itu dibongkar dan diangkut dengan truk. Protes sejumlah tenaga kesehatan yang menyayangkan keputusan itu tak digubris.
Persis seperti kasus pemindahan ventilator dari Wisma Atlet, penanganan pandemi Covid-19 selama enam bulan terakhir banyak diwarnai kebijakan mendadak tanpa perencanaan dan pertimbangan yang matang. Kendali penanganan wabah terus berpindah: dari semula di bawah komando Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang dipimpin Doni Monardo, beralih ke tangan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, yang dipimpin Erick Thohir. Dua pekan lalu, Presiden Joko Widodo menunjuk Luhut Pandjaitan untuk menangani wabah Covid-19 di sembilan provinsi prioritas.
Walhasil, para aparat pemerintah pun terus beradaptasi dengan pola kebijakan dan arahan baru. Mereka yang tak kuat mengikuti irama ini memilih mundur. Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Akmal Taher, misalnya, pekan lalu menyatakan mundur dari jabatannya.
Mantan Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini sebelumnya tengah mempersiapkan program baru di Satuan Tugas Penanganan Covid-19 untuk memperkuat 1.500 pusat kesehatan masyarakat di berbagai daerah. Penguatan puskesmas itu penting sebagai ujung tombak program Satuan Tugas menambah kapasitas tes, pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment). Setelah Luhut memimpin program penanganan Covid-19, rencana Akmal tak lagi menjadi prioritas. Dalam sebuah rapat, Luhut disebut menegur Akmal karena melangkahi komando. Ketika dimintai konfirmasi soal ini, Akmal hanya tertawa. “Saya diminta Pak Doni untuk tidak meramaikan pengunduran diri saya,” katanya.
Kekisruhan koordinasi juga sempat terjadi antara Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pada Juli lalu, Menteri Terawan Agus Putranto dilaporkan enggan menggunakan data jumlah korban Covid-19 yang dibuat Gugus Tugas. Kementerian berkukuh menggunakan sistemnya sendiri, All Record, yang menggunakan parameter data berbeda. Sempat terjadi kesimpangsiuran karena data penularan dan angka kematian versi Gugus Tugas berbeda dengan versi Kementerian Kesehatan.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengakui dinamika penanganan Covid-19 antar-pemangku kepentingan amat tinggi. “Itu menyebabkan respons terhadap Covid tidak seragam sehingga muncul persepsi publik seolah-olah ada ketidakkompakan,” ujar Ridwan. Namun, menurut Emil–begitu dia biasa disapa—perbedaan itu relatif mereda setelah Luhut tiba. “Pak Luhut tegas dan keras. Koordinasi dengan institusi selain TNI dan Polri juga baik. Kapasitas ini yang mungkin enggak dimiliki pihak lain,” katanya.
Sejak ditunjuk Presiden, Luhut memang langsung tancap gas menggelar rapat koordinasi. Dia mengundang semua kepala daerah, panglima kodam, kepala polda, Kementerian Kesehatan, dan sejumlah kementerian terkait untuk membahas percepatan penanganan Covid-19. Beberapa kebijakan yang sebelumnya tertunda karena ketidakhadiran Menteri Kesehatan bisa langsung diambil.
Kamis pekan lalu, misalnya, Luhut mengadakan rapat untuk membahas protokol standar perawatan pasien Covid-19. Ketua Kelompok Kerja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Erlina Burhan mengaku sudah lama mengusulkan prosedur standar itu. Menurut Erlina, karena ketiadaan standar obat-obat untuk pasien Covid-19, ada yang hanya diberi vitamin. Ini diduga menyebabkan angka kematian sulit ditekan. “Usul kami tak pernah dibahas Kementerian Kesehatan,” katanya.
Pemeriksaan alat-alat medis di ruangan ICU Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Maret 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tangan Luhut, persoalan lama itu selesai. Meski Terawan tak hadir dalam rapat, dua anggota stafnya, Alexander Kaliaga Ginting dan Daniel Tjen, diperintahkan menindaklanjuti usul Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. “Di situ Pak Luhut minta agar Kemenkes menyediakan obat yang dibutuhkan,” ujar Erlina.
Meski biasa bertindak cepat, tampaknya Luhut tetap perlu waktu untuk membenahi koordinasi penanganan Covid-19 yang kadung amburadul. Kembali ke Wisma Atlet, pada Sabtu, 26 September, Koordinator Rumah Sakit Darurat Covid-19 Mayjen TNI Tugas Ratmono menggelar jumpa pers virtual untuk mengklarifikasi berbagai informasi tentang penarikan alat kesehatan ICU dari rumah sakit itu. Menurut dia, Kementerian Kesehatan menarik ventilator Wisma Atlet untuk dipergunakan di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, rumah sakit itu bukan rujukan utama untuk korban Covid-19 di Jakarta. Perubahan peruntukan dalam dua hari tentu menimbulkan banyak tanda tanya. Pasalnya, surat Kementerian Kesehatan sebelumnya menyebutkan ventilator Wisma Atlet akan digunakan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (15 unit), RS Bhayangkara Said Sukanto (15 unit), RS Angkatan Laut Dr Mintohardjo (3 set), dan RS Angkatan Udara Halim Perdanakusuma (4 unit). Abdul Kadir membenarkan. “Ini perintah Pak Luhut,” ucapnya.
Tugas Ratmono tak mau mempersoalkan keputusan Kementerian Kesehatan yang terus berubah. “Kami sebagai pelaksana tugas menjalankan tugas dari atasan dan melakukan yang terbaik untuk masyarakat,” katanya.
DEVY ERNIS, ROBBY IRFANI, JAMAL A. NASHR, NURHADI, AHMAD FIKRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo