Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tak Lagi di Kandang Sempit

Nahdlatul Ulama sudah lama berperan aktif dalam politik. Kadernya tak pernah absen sebagai peserta pemilihan presiden setelah reformasi.

2 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SPANDUK bergambar wajah Joko Widodo-Ma’ruf Amin menyebar di berbagai penjuru Kecamatan Langensari di Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu pekan lalu. Di Jalan Pesantren, Dusun Citangkolo, Desa Kujangsari, deretan spanduk pasangan calon presiden-wakil presiden itu berselang-seling dengan spanduk acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama. Barulah di tikungan terakhir menuju Pondok Pesantren Miftahul Huda al-Azhar, tempat perhelatan, spanduk Jokowi-Ma’ruf tak tampak lagi.

Hari itu, Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siroj bersama Jokowi membuka acara. Dalam sambutannya, Said turut mendoakan kemenangan Jokowi. “Yang hadir lebih dari 20 ribu, mendoakan mudah-mudahan Pak Jokowi mendapat kepercayaan dari Allah dan rakyat,” kata Said. “Mendoakan, bukan kampanye,” ujarnya lagi.

Dalam wawancara khusus dengan Tempo sehari sesudah pembukaan, Said membantah anggapan bahwa lembaganya mendukung Jokowi-Ma’ruf. Ihwal deretan spanduk pasangan nomor urut satu di sepanjang jalan menuju pesantren, Said menyatakan tak tahu apa-apa. Menurut dia, spanduk Jokowi-Ma’ruf sudah terpasang sebelum musyawarah nasional. Panitia pun hanya memasang bendera NU.

Para pengurus NU yang ditemui Tempo pun mengatakan bertebarannya spanduk itu bukan berarti lembaganya mendukung Jokowi. “Kami tak masuk politik praktis,” ucap Ketua PBNU Hanief Saha Ghofur. Menurut dia, NU sudah bersepakat untuk kembali ke khitah 1926—tahun pendirian organisasi itu di Surabaya—yaitu mengembalikan NU sebagai organisasi yang bergiat di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi, serta tak berpolitik praktis.

Gerakan kembali ke khitah 1926 disepakati dalam Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Bersamaan dengan itu, NU menyatakan melepaskan diri dari Partai Persatuan Pembangunan. Hasil Pemilihan Umum 1982 menjadi salah satu pendorongnya. Ketua Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU Rumadi Ahmad mengatakan kala itu banyak kader dan pengurus NU kecewa karena jatah kursi Dewan Perwakilan Rakyat untuk nahdliyin dalam Pemilu 1982 hanya 45 kursi. Lima tahun sebelumnya, NU mendapat jatah 56 kursi. “Banyak pengurus juga menilai kader NU terlalu asyik berpolitik sehingga NU tertinggal dari Muhammadiyah untuk pengembangan pendidikan dan kesehatan,” ujar Rumadi.

Kiprah NU di bidang politik, kata Rumadi Ahmad, sebenarnya sudah dimulai saat organisasi itu didirikan, yaitu sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan Wahabi yang bermaksud memurnikan ajaran Islam, yang menyebar dari Arab Saudi. Majalah ini juga mencatat, NU lahir sebagai reaksi dari kelompok tradisional terhadap gerakan modernisasi Islam oleh Muhammadiyah.

Pada masa persiapan kemerdekaan, NU berpartisipasi dalam menyusun Undang-Undang Dasar. Putra pendiri NU Hasyim Asy’ari, Abdul Wahid Hasyim, menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Wahid pun menjadi Menteri Agama pertama di Indonesia, meski tak sampai dua bulan. Dia menjabat posisi yang sama sejak akhir 1949 hingga 1952.

Keikutsertaan NU dalam pemilihan umum dimulai pada 1955. Tiga tahun sebelumnya, NU keluar dari Partai Masyumi, yang didirikan pada 1945, dan menjadi partai sendiri. Pada Pemilu 1955, NU menempati posisi ketiga, di bawah Partai Nasional Indonesia dan Masyumi. Mendulang hampir 7 juta suara, NU mendapat 45 kursi DPR. Pada 1971, NU kembali menjadi peserta pemilu dan menempati posisi kedua, di bawah Golkar, dengan menempatkan 58 kadernya di parlemen.

Keberadaan NU sebagai partai politik lenyap setelah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Bersama tiga partai keagamaan, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, serta Persaudaraan Muslimin Indonesia, NU melebur ke PPP. Hingga akhirnya NU berpisah dari PPP pada 1984. Efeknya sangat terasa. “Suara PPP jeblok pada Pemilu 1987,” ujar Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy.

Setidaknya PPP kehilangan 7 juta suara karena banyak kader NU mencoblos Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia. Ihwal penggembosan PPP, Ketua PBNU saat itu, Abdurrahman Wahid, dalam wawancara khusus dengan Tempo mengatakan kader NU bebas memilih partai apa pun. “Umat Islam bebas diletakkan di mana saja, tidak lagi di kandang sempit,” ujar Gus Dur—panggilan Abdurrahman.

Setelah reformasi 1998, NU kembali tampil ke pentas politik. Menurut Rumadi Ahmad, ada dorongan supaya NU kembali menjadi partai politik. Ada pula yang meminta PBNU membidani partai baru. Juli tahun itu, setelah melewati sejumlah kajian, lima petinggi NU, yaitu Gus Dur, Mustofa Bisri, Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, dan Muchith Muzadi, mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa. “Ibaratnya, PKB itu anak sah NU,” ujar Rumadi.

Rapat pleno dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, 27 Februari 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Setahun kemudian, PKB berlaga dalam pemilu dan perolehan suaranya di bawah PDI dan Golkar. Dua partai lain yang beraroma nahdliyin juga mengikuti Pemilu 1999, yaitu Partai Nahdlatul Ummat, yang mendapat lima kursi DPR, dan Partai Kebangkitan Ummat, dengan satu kursi Dewan. Tahun itu pula Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat memilih Gus Dur sebagai presiden. Tapi cucu pendiri NU, Hasyim Asy’ari, itu dimakzulkan pada 2001.

Sejak reformasi, kader NU tak pernah absen berlaga dalam pemilihan presiden. Pada 2004, yang menggunakan sistem pemilihan langsung, tercatat lima kader NU mendaftar sebagai kandidat. Gus Dur berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim, tapi Komisi Pemilihan Umum tidak meloloskan keduanya dalam tahap verifikasi. Calon lain adalah Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, yang mendampingi Megawati Soekarnoputri, serta Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, yang dirangkul bekas Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Wiranto. Ada pula Ketua Umum PPP Hamzah Haz, yang berpasangan dengan Agum Gumelar. Mereka kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, juga kader NU.

Lima tahun kemudian, Kalla bertarung melawan Megawati dan Yudhoyono. Yudhoyono menang satu putaran. Pada 2014, Kalla kembali menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi. Keduanya unggul atas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pada pemilihan presiden tahun ini, mantan Rais Am PBNU, Ma’ruf Amin, terpilih mendampingi Jokowi. Ma’ruf menyingkirkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mohammad Mahfud Mahmodin, yang juga kader NU.

Salahuddin Wahid dan Rumadi Ahmad mengatakan tokoh NU diincar banyak partai karena basis massa nahdliyin sangat besar. Tidak jelas benar jumlah anggota NU. Tapi Alvara Research Center pada 2016 memperkirakan ada 79,04 juta penduduk negeri ini yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Survei yang sama menyebutkan 57,33 juta orang menjadi anggota NU meski tak memiliki kartu tanda anggota. “Karena NU sifatnya tradisional, keanggotaannya pun tidak saklek,” ujar Rumadi.

PRAMONO, DEVY ERNIS (JAKARTA), AHMAD FAIZ, RAYMUNDUS RIKANG (BANJAR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus