Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tumbang di Tumpukan Baju Hazmat

Pengadaan alat pelindung diri selama pandemi diduga bermasalah. Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan sebagai pejabat pembuat komitmen menunjuk perusahaan yang tak memiliki rekam jejak membuat APD. Kekisruhan itu berujung pada kelangkaan alat pelindung diri, yang ditengarai membuat sejumlah tenaga kesehatan terpapar corona. Liputan ini terselenggara berkat kolaborasi Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masih ada 2 juta alat pelindung diri milik konsorsium Korea Selatan yang menumpuk dan tak disalurkan.

  • Pemerintah menolak membeli APD itu dengan alasan terlalu mahal.

  • Perseteruan itu diduga ikut mempengaruhi hubungan Indonesia dan Korea Selatan.

TIMBUNAN kardus terlihat di berbagai penjuru kantor PT GA Indonesia di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, pada Jumat, 4 September lalu. Lobi, kantin, klinik, hingga loker karyawan dipenuhi karton cokelat berisi alat pelindung diri (APD) merek Kaltech. Direktur Utama PT GA Indonesia Song Sung Wook mengatakan kantornya menampung sekitar 37 ribu boks, masing-masing seberat 20 kilogram. “Isinya 2 juta APD,” ujarnya.

PT GA adalah bagian dari konsorsium produsen APD Korea Selatan yang terdiri atas 20 pabrik di Indonesia. Melalui PT Permana Putra Mandiri, perusahaan alat kesehatan di Jakarta Timur, konsorsium itu mendapat pesanan 5 juta alat dari Kementerian Kesehatan pada 28 Maret lalu. Hingga Mei lalu, konsorsium tersebut telah mendistribusikan sekitar 3,1 juta set APD kepada pemerintah dengan rincian 2,1 juta set merek Boho dan selebihnya Kaltech.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lobi kantor PT GA Indonesia yang penuh dengan kardus berisi APD di Cibinong, Bogor, 4 September 2020. Tempo/Ade Ridwan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Song tak tahu alasan pemerintah tak kunjung membeli 2 juta helai APD yang tersisa. Kementerian Kesehatan tak pernah mengirimkan surat pembatalan kontrak kepada konsorsium. “Kami menunggu kepastian dari Kementerian Kesehatan,” kata Song. Menurut Song, pengiriman APD dari pabriknya terakhir kali terjadi pada 18 Mei lalu.

Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Budi Sylvana menjelaskan, pemerintah memesan APD ke konsorsium Korea Selatan karena mereka siap memproduksi dalam waktu cepat. Budi menyebutkan angka 5 juta itu hanya estimasi kebutuhan pada awal pandemi. Setelah pengiriman berjalan, Budi kecewa karena konsorsium mengirim dua merek, yakni Boho dan Kaltech. “Saya enggak pernah pesan merek selain Boho,” ujar Budi, yang meneken surat pemesanan 5 juta baju pelindung.

Sri Lucy Novita, perwakilan konsorsium APD Korea Selatan, mengklaim kualitas baju pelindung merek Boho dan Kaltech setara dan sama-sama lolos uji laboratorium. Hanya, bahan baju Kaltech lebih tebal. Konsorsium mengirim merek Kaltech karena ongkos produksinya lebih murah ketimbang Boho, yang harus menambah biaya pembelian merek. “Kami mengejar harga yang efisien,” ujar Lucy.

Pada Mei itu, tatkala polemik pengadaan baju pelindung bergulir, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengumumkan 55 tenaga medis, yang terdiri atas 38 dokter dan 17 perawat, meninggal karena terpapar virus corona. Juru bicara Ikatan Dokter Indonesia, Halik Malik, menyebutkan penyebab tenaga kesehatan berguguran pada awal pandemi antara lain keterbatasan APD. Banyak dokter terpaksa mengenakan alat pelindung seadanya, seperti jas hujan dan kantong plastik, serta mendaur ulang masker.

Kardus berisi APD dengan merek Kaltech milik PT GA Indonesia di Cibinong, Bogor, 4 September 2020. Tempo/Ade Ridwan

IDI pun bersurat ke Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 26 Maret lalu dan meminta pemerintah menyediakan alat pelindung secara kontinu. Tak hanya di rumah sakit rujukan, tapi juga di fasilitas kesehatan dan klinik. Dalam layang itu, IDI menyatakan ketersediaan APD sangat menentukan keselamatan petugas medis. “Umumnya tenaga kesehatan tak cukup terlindungi sepanjang pandemi ini,” kata Malik. IDI mencatat 104 dokter wafat akibat terpapar corona hingga Rabu, 2 September lalu.

Sejumlah daerah pun sempat mengalami kelangkaan APD pada April-Mei. Wali Kota Jambi Syarif Fasha menyebutkan tenaga medis di daerahnya kesulitan memperoleh baju pelindung level 3—yang dikenakan saat merawat pasien Covid-19. APD yang diimpor Syarif dari Cina tak bisa langsung digunakan karena harus dikarantinakan selama dua pekan. Wali Kota Sibolga Syarfi Hutauruk juga kesulitan membeli APD.

Ketua IDI Jambi Deri Mulyadi membenarkan kabar tentang kelangkaan baju pelindung pada awal pandemi. Begitu pula Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhillah. Harif menyatakan kelangkaan baju hazmat menjadi salah satu faktor para perawat terpapar corona. Hingga Jumat, 4 September lalu, lebih dari seribu perawat positif Covid-19 dan 71 di antaranya meninggal.

•••

KISRUH pengadaan alat pelindung diri pada masa pandemi bermula ketika pemerintah melalui Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan memesan 5 juta set APD kepada PT Permana Putra Mandiri. Dalam dokumen kontrak tertanggal 28 Maret yang salinannya diperoleh Tempo, harga satu set baju pelindung lengkap disepakati US$ 48,4 atau sekitar Rp 784 ribu dengan kurs Rp 16.200. Dokumen itu diteken Kepala Pusat Krisis Kesehatan Budi Sylvana, Direktur PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik, dan Direktur PT Energi Kita Indonesia Satrio Wibowo, yang ditunjuk menjadi penjual resmi baju pelindung merek Boho di Indonesia.

Pada 7 Mei lalu, Kepala Pusat Krisis Kesehatan membuat perubahan kontrak dengan PT Permana dan PT Energi. Isinya, para pihak bersepakat menyesuaikan harga APD menjadi US$ 44 untuk barang yang dikirim sampai 27 April. Barang yang didistribusikan pada 28 April-7 Mei akan dibanderol Rp 366.850. Terakhir, PT Permana dan PT Energi mendapat kuota 1 juta set APD untuk bulan Mei dengan harga Rp 294 ribu per helai. Konsorsium Korea Selatan lalu mengirimkan 3,1 juta APD secara bertahap ke Gelanggang Olahraga Merpati di kompleks Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, hingga akhir Mei lalu.

Sebelum bernegosiasi ulang dengan PT Permana dan PT Energi, Budi Sylvana mengundang sejumlah perusahaan garmen dan tekstil untuk menjadi penyedia APD ke kantornya. Sejumlah penyalur datang sepanjang pekan terakhir April untuk mempresentasikan produknya. “Saya melibatkan tim ahli, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” ujar Budi.

Budi mengklaim proses pengadaan APD itu transparan. Menurut dia, semua calon penyedia APD membawa sampel baju pelindung dan bukti tes laboratorium. Tim ahli pun menguji kualitas setiap produk. Enam perusahaan baru akhirnya terpilih menjadi penyedia APD dengan total pesanan sedikitnya 2 juta unit. Pada 7 Mei—hari yang sama dengan saat Permana dan Energi menegosiasikan ulang kontrak—enam perusahaan itu menerima surat order resmi dari Budi.

Salah satu perusahaan yang mendapat kuota APD adalah PT Brilian Cipta Nusantara, dengan 1 juta set. Penelusuran Tempo menunjukkan PT Brilian tak punya izin edar ketika menerima surat pemesanan dari Budi. Dalam dokumen yang diperoleh Tempo, izin edar dalam surat pesanan kepada PT Brilian tertera “KEMENKES RI AKD 2160302XXXX”. Ini berbeda dengan surat pesanan kepada PT Kasih Karunia Sejati—satu dari enam perusahaan baru yang mendapat kuota 200 ribu APD. Izin edar perusahaan asal Malang itu tercantum lengkap.

Suasana pabrik pembuat alat pelindung diri, PT GA Indonesia, di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat, 4 September 2020. Tempo/Ade Ridwan

Andre Gracia—tertulis sebagai Direktur PT Kasih Karunia Sejati di dokumen kontrak—bercerita perusahaannya ikut seleksi setelah mendapat informasi bahwa Kementerian mencari penyedia baju pelindung. Tiga kali presentasi di Jakarta, ia ditanyai soal profil perusahaan dan kemampuan produksi. Ia juga sempat bernegosiasi tentang harga sehelai baju pelindung. Dibuka pada harga Rp 320 ribu, Andre dan Kementerian sepakat di angka Rp 250 ribu per set. “Dokumen uji kualitas di laboratorium tekstil lengkap,” ujarnya.

Ketidakjelasan nomor izin edar PT Brilian juga dikonfirmasi Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Elis Masitoh. Menurut dia, tak ada nama PT Brilian dalam daftar perusahaan tekstil dan garmen yang dimiliki lembaganya. “Ada 92 perusahaan yang memiliki izin edar APD, namun saya tak menemukan nama itu,” tutur Elis.

Budi beralasan pemberian kuota kepada PT Brilian berdasarkan informasi dari timnya bahwa perusahaan itu telah memenuhi syarat administratif. Ia mengaku tak sempat mengecek kebenarannya. Menurut dia, tim PT Brilian sampai mendatangkan pemilik pabrik asal Korea Selatan untuk menjelaskan alur produksi APD. “Saya tak merasa ditipu karena pada waktu itu barang mereka bagus,” kata Budi. “Saya hanya terkesima.”

Dalam akta perusahaan, PT Brilian dibentuk pada April 2016 dan berkantor di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan. Empat tahun tak ada perubahan, perusahaan itu mengajukan beberapa kali revisi formasi pemegang saham, direksi, dan alamat kantor sekitar sebelas hari sebelum mendapat order APD. Akta itu menyebutkan PT Brilian bermarkas di Graha Cempaka Mas, Jakarta Pusat, sejak 25 April 2020.

Pada Kamis pagi, 3 September lalu, kantor PT Brilian terlihat tutup. Dua petugas kebersihan di kompleks perkantoran itu menyebutkan perusahaan tersebut berkantor di sana sekitar Maret lalu. Kantor PT Brilian berada satu kompleks dengan tempat tinggal Troy Astri Pratama, yang menjabat direktur utama perusahaan itu per 25 April 2020. Menduduki kursi direktur utama selama tiga pekan, Troy digantikan Ebdung Tripriharto—seorang motivator bisnis. Ebdung enggan menjelaskan keterlibatan Brilian dalam pengadaan APD. “Saya tak bisa berkomentar apa-apa karena kejadian itu sudah lama,” ujarnya ketika dihubungi pada 2 September lalu.

Belakangan, PT Brilian mengundurkan diri. Perusahaan itu tak sempat memproduksi dan mengirim satu helai pun baju pelindung ke gudang Kementerian Kesehatan di Halim Perdanakusuma. Kepada Budi, Ebdung mengatakan ada masalah internal di perusahaannya sehingga tak mampu menggarap pesanan APD.

Meski pada Mei lalu terjadi kelangkaan APD, Kementerian Kesehatan memilih tak menyerap sisa 2 juta APD dari PT Permana. Budi mengaku mendapat salinan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada 22 Mei tentang pesanan 3,1 juta helai APD yang sudah dikirim PT Permana. Dokumen audit yang dilihat Tempo menerangkan terjadi kemahalan Rp 625 miliar dari harga 2,1 juta paket APD merek Boho. Sedangkan untuk 1 juta set APD merek Kaltech, BPKP menilai harganya kemahalan Rp 48 miliar.

Direktur PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik mempertanyakan status harga tak wajar yang ditetapkan BPKP. Menurut dia, BPKP menghitung biaya produksi berdasarkan kondisi normal. Sedangkan perusahaannya membuat baju pelindung ketika bahan baku langka dan sejumlah negara memperebutkan APD. Menurut dia, pemerintah pun baru membayar Rp 711 miliar dari Rp 1,3 triliun untuk paket APD merek Boho. “Kami juga telah bersedia melakukan adendum penurunan harga pada dua kali termin pengiriman barang selama April-Mei,” kata Taufik.

•••

KISRUH Pengadaan alat pelindung diri tak hanya berdampak pada keselamatan tenaga kesehatan. Pada 4 dan 19 Agustus lalu, Kedutaan Besar Korea Selatan mengirimkan surat yang isinya meminta pemerintah memberikan perhatian terhadap stok 2 juta APD produksi konsorsium Korea Selatan. Surat itu ditujukan kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan BPKP. Kedutaan Besar Korea Selatan belum menjawab permintaan konfirmasi yang dilayangkan melalui surat elektronik pada 3 September lalu.

Pada 14 Agustus lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang juga Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, menggelar rapat membahas nasib 2 juta stok APD. Dalam risalah rapat yang diperoleh Tempo, Doni menekankan bahwa polemik pengadaan baju pelindung itu jangan sampai membuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan memburuk.

Suasana kantor PT Brilian Cipta Nusantara di Kemayoran, Jakarta Pusat, 4 September 2020. Tempo/Raymundus Rikang

Dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Jumat, 4 September lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi enggan menjelaskan langkah pemerintah menyikapi surat dari Kedutaan Besar Korea Selatan itu. Menurut dia, Kementerian Kesehatan merupakan pihak yang paling berwenang untuk menjawab. Kepala Pusat Krisis Kesehatan Budi Sylvana, yang hadir dalam rapat itu, membenarkan soal pembahasan surat diplomatik dari Kedutaan Besar Korea Selatan. “Itu dikirim oleh konselor perdagangan,” kata Budi.

Penyelesaian kontrak pembelian baju pelindung dari konsorsium Korea Selatan masih berkabut. Begitu pula dengan stok APD di sejumlah daerah. Ketua Ikatan Dokter Indonesia Jambi Deri Mulyadi mendengar dari koleganya, khususnya di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), bahwa stok APD menipis. Deri sendiri mengaku menggunakan pakaian bedah daur ulang ketika mengoperasi pasien dalam sepekan terakhir. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhillah juga mendapat laporan bahwa para perawat kekurangan baju pelindung. Perawat-perawat itu berasal dari rumah sakit swasta dan puskesmas di zona merah, seperti di Jawa Timur serta DKI Jakarta dan sekitarnya.

RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEVY ERNIS, FAJAR PEBRIANTO, ADE RIDWAN (BOGOR)

Catatan redaksi: Artikel ini mengalami perubahan pada Ahad, 6 September 2020 pukul 14.20. Direktur PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik menyampaikan bahwa pemerintah baru membayar Rp 711 miliar dari Rp 1,3 triliun paket APD merek Boho.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus