Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perburuan burung langka kian masif.
Nilai ekonomi tinggi tak bisa jadi dalih mengeksploitasinya.
Tegakkan hukum melindungi burung.
DUIT negara memang lagi cekak, tapi lingkungan hidup hendaknya tidak ikut-ikutan dijual untuk pengganjal pundi-pundi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mencoret lima jenis burung yang terancam punah dari daftar dilindungi dua tahun lalu sudah lama dikecam. Disebut untuk menghapuskan praktik perburuan ilegal, pencoretan itu kini membuat pengejaran makin menjadi-jadi. Saat ini sasaran para pemburu bukan lagi semata lima jenis burung itu, tapi juga unggas lain yang terancam punah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika itu, pertimbangan Menteri Siti adalah karena kelima burung—cucak rawa, jalak suren, kucica hutan, anis-bentet kecil, dan anis-bentet Sangihe—sudah banyak ditangkarkan untuk pelbagai kontes. Menyimpan nilai ekonomi tinggi, pemerintah berdalih populasi burung kicau langka itu melimpah. Masalahnya, hingga saat ini tak ada bukti populasi burung bertahan, apalagi naik.
Sejumlah laporan penelitian justru membuktikan sebaliknya. Data BirdLife International 2020, misalnya, menyebutkan hanya 1-49 jalak suren hidup di hutan-hutan Jawa. Sementara itu, cucak rawa di dunia tinggal 600-1.700 ekor. Di Jawa ada kemungkinan sudah punah.
Penelusuran Tempo dan Balai Besar Karantina Pertanian di sejumlah daerah menemukan maraknya penyelundupan burung langka dan burung tak dilindungi. Dalih Kementerian Lingkungan tentang banyaknya penangkaran tak terbukti. Permintaan yang besar membuat nilai pasar burung kicau ini kian tinggi. Apalagi ada kepercayaan di kalangan pehobi bahwa suara burung yang diambil dari alam jauh lebih merdu dibanding burung tangkar.
Membiarkan pemeliharaan burung dengan dalih hobi atau untuk meningkatkan nilai ekonominya merupakan cara primitif melindungi satwa liar. Habitat satwa adalah di alam, bukan di kandang. Fungsi mereka jauh lebih penting daripada sekadar dekorasi rumah.
Satwa liar berperan menyeimbangkan ekosistem. Jika jumlah burung berkurang, restorasi alami lewat penyebaran biji tumbuhan dan pohon oleh burung akan berkurang pula. Kemudian, keanekaragaman hayati terancam.
Keanekaragaman itu diperlukan manusia dan planet bumi. Ketiadaan satwa liar, dengan perilakunya yang liar, akan membuat hutan jadi rusak. Hutan yang meranggas membuat produksi oksigen dan penyerap karbon berkurang. Nilai perdagangan burung sebesar Rp 4 triliun setahun tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan biaya yang harus kita tanggung karena bencana dan rusaknya ekosistem bumi.
Selain menegakkan hukum terhadap penyelundup satwa liar yang dilindungi, pemerintah hendaknya tak tunduk pada lobi para pehobi dengan dalih ekonomi. Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun lalu telah mengingatkan: dalam 40 tahun terakhir, 1 juta spesies, termasuk burung, telah raib dari bumi.
Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan berbasis data di tengah ancaman pemanasan global. Hari ini kita berutang kepada generasi mendatang: mempertahankan satwa liar agar kelak mereka tak hanya mengetahuinya dari museum dan buku-buku.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo