Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya oleh Kejaksaan Agung pada Rabu, 23 Oktober 2024, menjadi pembicaraan hangat antarpegawai hingga pimpinan di Mahkamah Agung. Apalagi esoknya Kejaksaan Agung menangkap mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Zarof Ricar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka terkaget-kaget karena saat penggeledahan rumah Zarof, tim jaksa menemukan beragam mata uang asing senilai Rp 920 miliar dan emas batangan seberat 51 kilogram di rumah Zarof di Jalan Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jaksa bahkan mendatangkan mesin uang untuk menghitung semua duit tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, jumlah fulus itu hampir 20 kali lipat dari total nilai dalam Laporan Harta Kekayaan Penyenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan Zarof pada 2021, atau setahun sebelum laki-laki 62 tahun tersebut pensiun. Zarof mencantumkan total kekayaan sebesar Rp 51,4 miliar dalam LHKPN. Hampir semuanya berbentuk tanah. Adapun uang kas atau setara kas yang saat itu dia laporkan senilai Rp 4,4 miliar. Belakangan, duit yang ditemukan di rumah Zarof ditengarai berasal dari suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung.
Pemberi suap adalah Lisa Rachmat, pengacara terdakwa pembunuhan Gregorius Ronald Tannur. Mereka diduga menyuap majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas pembunuh Dini Sera Afrianti itu. Tiga hakim pemutus bebas itu adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sudah menetapkan ketiganya, beserta Zarof dan Lisa, sebagai tersangka dan langsung menahan mereka.
Mahkamah Agung baru merespons secara resmi penangkapan itu lima hari kemudian. Pada hari itu, Sunarto, Ketua Mahkamah Agung yang baru terpilih pada 16 Oktober 2024, memimpin rapat pembentukan tim pemeriksa guna mengungkap skandal penyuapan hakim.
Peserta rapat setuju hakim agung Dwiarso Budi Santiarto memimpin tim tersebut. Ia dibantu hakim agung Jupriyadi dan Sekretaris Kepala Badan Pengawasan MA Noor Ediyono. “Tim ini hanya berfokus memeriksa dugaan pelanggaran etik,” ujar Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Suharto.
Tim jaksa menciduk para tersangka di lima lokasi. Tuduhannya antara penyuap dan disuap. Tapi nilai suapnya belum pasti. Saat menggeledah rumah Lisa, Erintuah, Mangapul, dan Heru, tim jaksa menemukan uang senilai total Rp 20 miliar. Uang paling banyak ditemukan di rumah Lisa di Jakarta dan Surabaya, Jawa Timur, sebesar Rp 18,7 miliar. Uang itu diperkirakan akan digunakan untuk “mengawal” putusan Ronald hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Vonis kasasi Ronald dibacakan hakim agung pada Selasa, 22 Oktober 2024. Putusannya membatalkan vonis bebas Ronald. Ia dinyatakan terbukti membunuh Dini dan divonis lima tahun penjara. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menghukum Ronald 12 tahun penjara dan dibebani restitusi Rp 263,6 juta subsider enam bulan bui. Vonis ini dibacakan sehari sebelum penangkapan ketiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya itu. Meski menyatakan Ronald bersalah, putusan kasasi turut menjadi sorotan Kejaksaan Agung.
Putusan kasasi untuk Ronald Tannur tak bulat. Dalam amar putusan, ketua majelis kasasi, Soesilo, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan dua hakim agung lain. Ia setuju dengan vonis bebas hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Hakim agung Ainal Mardhiah dan Sutardjo menyatakan Ronald bersalah berdasarkan pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pertimbangan ini dianggap sesuai dengan barang bukti berupa rekaman kamera pengawas dan hasil pemeriksaan forensik di persidangan.
Nama Zarof Ricar muncul menjelang pembacaan putusan kasasi Ronald. Seorang pejabat Mahkamah Agung menuturkan, Zarof menelepon seorang pegawai kepaniteraan pidana sebelum putusan itu terbit. Komunikasi mereka terjadi pada pertengahan Oktober 2024.
Zarof awalnya menanyakan komposisi majelis kasasi perkara bernomor 1466 K/Pid/2024 yang terdaftar pada Jumat, 6 September 2024. Rupanya, itu adalah nomor perkara Ronald Tannur. Staf itu menjawab bahwa berkas perkara sudah didistribusikan kepada ketiga hakim agung pada Kamis, 12 September 2024.
Beberapa hari kemudian, Zarof kembali menelepon staf tersebut. Dia menanyakan keberadaan hakim agung Soesilo. Staf itu lalu meminta waktu untuk mengecek keberadaan Soesilo di ruang kerjanya. Tak seberapa lama, Zarof kembali menelepon. Staf itu menjelaskan bahwa Soesilo tidak berada di ruangannya lantaran sedang cuti. Zarof batal menemui Soesilo.
Tempo coba meminta konfirmasi kabar ini lewat pesan WhatsApp dan panggilan telepon. Zarof tak menjawab hingga Sabtu, 2 November 2024.
Wakil Ketua Bidang Non-Yudisial Suharto mengaku belum tahu komunikasi antara Zarof dan staf kepaniteraan Mahkamah Agung. Menurut dia, indikasi permainan perkara dalam putusan Ronald terlihat jika kasasi jaksa ditolak. Putusan itu justru mengabulkan permohonan jaksa dengan menyatakan Ronald bersalah. “Namun kepastiannya kami serahkan ke hasil penyidikan Kejaksaan Agung,” ucapnya.
Peran Zarof sebenarnya terungkap dari “nyanyian” Lisa kepada jaksa penyidik. Zarof ditangkap sehari setelah Lisa dan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya ditangkap. Kepada penyidik, Lisa mengaku akan memberikan uang Rp 6 miliar kepada Zarof. Lisa meminta Zarof “mengawal” vonis bebas Ronald di tingkat kasasi.
Sekitar Rp 5 miliar jatah hakim agung yang belum terungkap identitasnya. Sisa Rp 1 miliar merupakan uang jasa untuk Zarof. “Dia berperan sebagai perantara antara pengacara dan hakim kasasi,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar.
Seorang jaksa yang mengetahui kasus Zarof mengatakan uang Rp 5 miliar hanya panjar dari komitmen suap Rp 20 miliar. Sang pemberi suap, yang identitasnya juga belum terungkap, akan menyerahkan sisa fulus setelah putusan kasasi yang tetap memvonis bebas Ronald sudah terbit. Rencana itu ambyar lantaran Ronald divonis bersalah. Jaksa kembali menahan Ronald di Surabaya pada 27 Oktober 2024.
Meski uang sudah ada di tangan Lisa, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar memastikan besel itu belum berpindah ke tangan Zarof. Keduanya baru bersepakat mengenai jumlah dan persoalan teknis rencana penyerahan. Zarof diketahui meminta Lisa agar uang itu diserahkan dalam mata uang asing. “Rencananya mau ditukar lewat gerai money changer di sekitar Blok M, Jakarta Selatan,” katanya.
Penyidik Kejaksaan Agung kembali mendatangi rumah eks pejabat tinggi Mahkamah Agung, tersangka makelar kasus Zarof Ricar, di Jalan Senayan Nomor 8, Kebayoran Baru, Jakarta , 29 Oktober 2024/Tempo/Dinda Shabrina
Temuan gunungan uang di rumah Zarof mengungkap adanya praktik makelar kasus di Mahkamah Agung. Kepada penyidik, Zarof mengaku “memainkan” banyak perkara sejak 2012. Praktik itu berlanjut meski ia sudah pensiun pada 2022. Uang hampir Rp 1 triliun itu diduga berasal dari hasil aktivitasnya sebagai makelar perkara. “Dia lupa berapa kasus yang diurus karena banyak,” tutur Abdul Qohar.
Pengacara Zarof, Handika Honggowongso, enggan mengomentari tuduhan kepada kliennya. “Maaf, saya belum bisa berkomentar,” ujarnya. Dalam keterangan pers yang ia buat sebelumnya, Handika mengatakan tim pengacara bakal menjalankan sejumlah upaya pembelaan. “Kami sedang menyiapkan langkah pembelaan yang dimungkinkan oleh hukum untuk menangani perkara tersebut,” tulisnya.
Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo—para hakim Pengadilan Negeri Surabaya—juga tengah merancang pembelaan melalui kuasa hukum mereka, Juniver Girsang. Juniver menerangkan, tim pengacara menolak menandatangani dokumen penahanan. Sebab, ketiganya bukan pelaku yang terjerat operasi tangkap tangan. Ia menyebutkan kliennya tengah beristirahat saat ditangkap, bukan sedang menerima suap. “Ada pengabaian prosedur,” katanya.
Lisa belum bisa dimintai konfirmasi. Saat didatangi, pintu pagar rumahnya di Surabaya tertutup. Tempo lalu mendatangi kantor hukumnya, Lisa Associates Legal Consultant, yang masih satu kawasan dengan rumahnya. Seorang perempuan bernama Wanda keluar menerima Tempo. Ia mengatakan saat ini tidak ada pegawai yang berjaga. Ia juga mengaku hanya pegawai restoran milik Lisa yang sedang beristirahat siang.
•••
ZAROF Ricar punya pergaulan luas di Mahkamah Agung dan kantor pengadilan daerah. Dalam catatan kariernya, Zarof pernah menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum pada 2014. Jabatan ini strategis lantaran memiliki kewenangan menentukan mutasi dan promosi para hakim, baik pengadilan negeri, agama, militer, maupun pengadilan tinggi. Pada 2017, sebelum pensiun, ia diangkat menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, pejabat setingkat eselon I.
Zarof juga bergaul di banyak komunitas di luar dunia peradilan. Ia pernah menjadi Wakil Ketua Komite Etik Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Ia bahkan merambah dunia sinematografi dengan menjadi produser film Sang Pengadil. Film ini tayang perdana sehari sebelum penahanannya, tapi penayangannya hanya bertahan sepekan. Setelah itu, film ini tak lagi ditemukan di bioskop Jakarta dan sekitarnya.
Film yang disutradarai Girry Pratama dan Jose Poernomo ini bercerita tentang karut-marut dunia peradilan karena tercoreng kasus korupsi. Dua tokoh utama, Atmojo Emilius yang diperankan Arifin Putra dan Abigail yang dilakoni Prisia Nasution, menggambarkan figur hakim yang putusannya "tajam ke bawah tumpul ke atas" atau hanya menjerat mereka yang tidak mengerti hukum.
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Joko Sasmito mengaku kaget saat terungkap bahwa Zarof ternyata makelar kasus. Saat masih menjadi hakim militer, ia sudah mengenal Zarof. “Enggak ada potongan makelar,” katanya. Zarof juga tak pernah terlihat memamerkan harta.
Zarof mulai bergaul di kalangan atas Mahkamah Agung saat menjabat Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan. Ia kerap mendampingi pimpinan Mahkamah Agung dalam kunjungan di dalam maupun ke luar negeri. Salah satunya kunjungan kerja pimpinan Mahkamah Agung ke Maroko pada 3-6 Desember 2019.
Selembar foto yang mengabadikan kegiatan tersebut beredar luas. Ketika itu Ketua Mahkamah Agung dijabat Muhammad Hatta Ali. Sementara itu, Muhammad Syarifuddin, yang belakangan menggantikan Hatta Ali, masih menjabat Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial.
Ada sembilan hakim yang ikut dalam kunjungan kerja itu. Di antaranya Prim Haryadi yang kini menjabat Ketua Kamar Pidana MA; hakim agung Amran Suadi; seorang hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta; dan hakim tinggi Badan Pengawasan, Susilowati, yang kala itu asisten Hatta Ali.
Ada juga Sekretaris Mahkamah Agung kala itu, Hasbi Hasan. Hasbi kini meringkuk di bui setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dan divonis bersalah dalam kasus suap penanganan perkara kasasi Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Semarang.
Duta Besar Indonesia untuk Maroko, Hasrul Azwar, mengaku tahu kunjungan itu. Ia mengatakan kehadiran para pejabat Mahkamah Agung itu merupakan kunjungan balasan untuk menyambut tawaran Mahkamah Agung Maroko menjalin kerja sama pertukaran informasi, berbagi pengetahuan, pengembangan keahlian dalam bidang teknologi informasi, dan digitalisasi pengadilan. “Kami juga berdialog dengan para mahasiswa mengenai peradilan dan sistem hukum di Indonesia,” tuturnya.
Panitia juga menyisipkan acara bermain golf bareng di sela-sela kunjungan pejabat Mahkamah Agung di Kota Marakesh yang berjarak tempuh sekitar tiga jam perjalanan dari kediaman Hasrul di Kota Souissi. “Saya tidak ikut, cuma nunggu di hotel. Soalnya hobi saya sepak bola,” ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan itu. Saat itu Hasrul mengaku tak terlalu mengenal Zarof. Hasrul baru mengetahui sepak terjang Zarof setelah pria itu ditangkap Kejaksaan Agung.
Belakangan, nama Zarof dikaitkan dengan Ketua Mahkamah Agung Sunarto yang baru terpilih pada 16 Oktober 2024. Pada Selasa, 17 September 2024, Sunarto melayangkan selembar surat bernomor 14/WKMA.Y/SB/HM2.1.1/IX/2024 kepada Bupati Sumenep, Jawa Timur.
Waktu itu Sunarto menjabat Wakil Ketua Bidang Yudisial. Pria yang lahir di Sumenep itu meminta Bupati Sumenep menyediakan tempat pertemuan di Keraton Sumenep untuk kunjungan kerja sejumlah hakim agung. Zarof sebenarnya sudah pensiun, tapi dia hadir di sana. Sama seperti Sunarto, Zarof yang berdarah Minang juga lahir di Sumenep.
Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Suharto mengatakan Sunarto menghadiri kunjungan ke Sumenep karena diminta menjadi pembicara dalam sebuah forum. Di sela kunjungan itu, para hakim menghadiri acara peresmian masjid yang dibangun oleh hakim agung Nurul Elmiyah. Kunjungan itu diklaim dilakukan dengan biaya pribadi. “Pak Sunarto tidak mengetahui dalam lampiran surat itu tertera nama Zarof,” ucap Suharto.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar (kiri) bersama Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menunjukkan barang bukti uang Rp 920.912.303.714 dan 51 kilogram emas terkait dengan penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, di Kejaksaan Agung, Jakarta, 25 Oktober 2024./AntaraAsprilla Dwi Adha
Zarof mengenal banyak hakim agung karena pernah menjadi pelaksana tugas panitera muda perkara pidana Mahkamah Agung pada 2003-2007. Ia turut menangani sejumlah perkara, dari pemalsuan surat sampai pidana yang menyeret anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepaniteraan kerap menjadi celah para makelar perkara karena tempat administrasi penanganan perkara berlangsung.
Tim kepaniteraan bertugas menelaah dan mengkaji berkas kasasi atau peninjauan kembali sebelum didistribusikan kepada para hakim agung. Mereka jugalah yang pertama kali mengakses putusan dan menuangkannya dalam berkas sebelum diunggah ke situs direktori putusan MA.
Tapi Suharto menyangsikan modus itu. Dia memaparkan, saat ini Mahkamah Agung sudah mendesain aturan yang menutup celah itu. Contohnya, keharusan menayangkan putusan pada hari yang sama dengan keputusan rapat permusyawaratan hakim. Dengan cara itu, seseorang yang berniat jahat tak bisa lagi memperdagangkan putusan untuk pihak yang dimenangkan. “Boleh jadi ada pihak yang berniat jahat membantu satu pihak, padahal pihak itu memang menang,” ujarnya.
Nama Zarof juga pernah muncul di Komisi Pemberantasan Korupsi. Seorang mantan penyelidik mengatakan Zarof pernah terdeteksi saat KPK tengah menguntit proses suap di sekitar suksesi pimpinan Mahkamah Agung. Ketika itu salah seorang mantan pejabat Mahkamah yang tengah menjalani proses hukum meminta Zarof mendorong kandidat tertentu. Mantan pejabat itu berharap hukumannya diringankan dengan mendukung kandidat tersebut.
Pejabat tersebut terpantau sudah menyiapkan uang logistik Rp 2 miliar untuk setiap pemilik suara agar sang kandidat terpilih. Uang dalam pecahan dolar Singapura itu diserahkan lewat Zarof dan seorang hakim perempuan berinisial DSD yang kini berdinas di salah satu pengadilan tinggi. Mereka dibantu hakim-hakim lain. Operasi tangkap tangan KPK urung terjadi karena penyelidik terlambat mengendus penyerahan duit.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengaku belum mengetahui nama Zarof pernah masuk radar KPK. KPK juga belum menelusuri asal-usul uang Zarof yang dianggap tak sesuai dengan nilai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Pimpinan KPK juga belum mendapat laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. “Nanti kami update jika ada informasi itu,” katanya.
Pengacara Zarof, Handika Honggowongso, lagi-lagi irit bicara. “Maaf, saya belum mendapat izin berbicara,” tuturnya. Dalam keterangan pers, ia meminta semua pihak mengedepankan asas praduga tak bersalah dan tak berspekulasi sehingga bisa merusak kredibilitas para hakim. “Jangan membangun opini yang mengarah pada trial by the press yang merugikan kepentingan klien kami,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riky Ferdianto, Lani Diana, Muhammad Khory Alfarizi, Sultan Abdurrahman, Nur Hadi dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suap Ambyar Makelar Kasasi"
Artikel ini hasil kolaborasi dengan situs Hukumonline.com.