Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah masalah keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang sudah lama berdarah-darah, gagasan muncul untuk mengatasi soal tekornya penerbangan rute Jakarta-London-Denpasar selama ini. Salah satunya mencari pesawat yang biaya sewanya murah, yakni di bawah US$ 500 ribu atau sekitar Rp 7 miliar per bulan. “Pesawatnya sudah dapat. Mungkin Juni nanti bisa dioperasikan,” kata Direktur Keuangan Garuda Indonesia Fuad Rizal, Kamis, 2 Mei lalu.
Fuad mengatakan unit pesawat jenis Boeing 777 itu akan dipakai untuk mengangkut penumpang dari Bandar Udara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, menuju Bandara Heathrow di London. Dari Heathrow, pesawat ke Bandara Ngurah Rai di Bali. Pesawat ini akan menggantikan unit sebelumnya, juga Boeing 777, yang disewa seharga US$ 1,5-1,7 juta. Bila rencana itu terealisasi, perseroan akan menghemat US$ 1-1,2 juta.
Bisnis penerbangan Garuda menuju Eropa masih tekor. Seorang mantan pejabat di maskapai itu bercerita, perusahaan bisa menomboki hingga Rp 1 miliar untuk sekali terbang. “Ke Eropa kami memang masih rugi,” tutur Fuad. Ia tak bersedia menyebutkan nilai kerugian. “Tergantung peak season atau low season, jumlah penumpang, dan harga bahan bakar pada saat itu.”
Sejarah penerbangan Garuda Indonesia ke Eropa telah terentang panjang. Pada 1960-an, perusahaan merintis layanan terbang ke Amsterdam dengan rute Jakarta-Bangkok-Mumbai-Karachi-Kairo-Roma-Frankfurt-Amsterdam. Sempat dilarang ke Eropa setelah berbagai peristiwa kecelakaan, Garuda kembali mengangkasa ke Amsterdam pada 2010.
Empat tahun kemudian, maskapai ini membuka rute menuju London dengan destinasi Bandara Gatwick dan transit di Amsterdam. Rute ini dilayani lima kali dalam sepekan. Tapi, baru beberapa bulan rute berjalan, jumlah penerbangan dipangkas menjadi tiga kali per pekan.
Oktober 2018, Garuda menutup rute penerbangan langsung Jakarta-London (pulang-pergi). Direktur utama saat itu, Pahala Mansury, mengungkap alasan penutupan adalah sepinya penumpang. Kebijakan itu diambil setelah Kementerian Badan Usaha Milik Negara meminta perseroan meninjau ulang rute tersebut. Maskapai ini hanya bisa mengangkut penumpang sampai 75 persen.
Kebijakan itu dipersoalkan Kementerian Pariwisata. Menteri Pariwisata Arief Yahya berharap Garuda Indonesia mempertahankan rute penerbangan langsung Jakarta-London. Alasannya, Inggris termasuk negara dengan kontribusi wisatawan mancanegara terbesar, sekitar 350 ribu orang per tahun. Tingkat pertumbuhannya pun tinggi. Akhirnya, Garuda kembali ke rute tersebut, Desember 2018.
Bongkar-pasang rute penerbangan itu merupakan bagian dari upaya Garuda menekan kerugian. Fuad Rizal bahkan telah membuat pemetaan rute yang membikin keuangan minus, misalnya jalur domestik yang dilayani menggunakan pesawat Bombardier CRJ (Canadair Regional Jet) serta ATR (Avions de Transport Régional). “Kami optimalisasi. Rute yang rugi dipotong,” ujarnya. Garuda menyerahkan lini bisnis ini kepada anak perusahaannya, Citilink, dan maskapai yang operasinya tergabung dalam Grup Garuda, yakni Sriwijaya.
Manajemen Garuda juga sedang bernegosiasi dengan perusahaan yang menyewakan pesawat (lessor) untuk membatalkan order ATR baru. Perusahaan terikat kontrak lama pembelian ATR. Sebagian unit armada sudah tiba. Masih ada tujuh unit yang akan dikirim dalam lima tahun ke depan. Sejauh ini, seorang petinggi perusahaan pelat merah bercerita, lessor bersedia membatalkan pemesanan tujuh unit tersisa. Syaratnya: Garuda bersedia menyewa tujuh pesawat ATR bekas milik lessor seharga separuh pesawat baru. Ketujuh unit itu berumur sama dengan pesawat propeler yang saat ini dioperasikan perusahaan.
Fuad tidak bersedia memaparkan, tapi ia tak menampik ada proses negosiasi tersebut. “Saya sedang mengoptimalkan rute dan pesawat kami untuk membersihkan ‘lemak’ di tubuh perusahaan,” ucapnya. ”Tapi tidak bisa potong dalam kondisi rugi semua.”
PERSOALAN keuangan yang membelit Garuda adalah warisan masa lalu. Pemerintah telah berkali-kali menyuntikkan dana segar untuk menyehatkan perusahaan. Salah satunya pada Agustus 2006 senilai Rp 1 triliun. Saat itu pemerintah juga menggelontorkan dana kepada maskapai pelat merah lain, PT Merpati Nusantara Airlines, sebesar Rp 450 miliar. Tapi langkah tersebut tak memperbaiki kondisi.
Garuda berupaya mendapat pasokan dana dari pasar modal dengan melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO), awal 2011. Pemerintah melepas 6,3 miliar saham yang dimiliki, setara dengan 27,98 persen dari total modal ditempatkan dan disetor. Harga yang ditawarkan Rp 750 sehingga ditargetkan perseroan bisa meraup Rp 4,3 triliun.
Tapi, dalam proses IPO, hanya separuh yang terserap publik, yakni sekitar 3,32 miliar saham atau 52,5 persen. Sisanya, kira-kira 3,008 miliar saham (47,5 persen), harus diambil tiga penjamin pelaksana emisi yang telah menyatakan kesanggupan penuh membeli sisa saham yang tidak habis terjual. Ketiganya adalah PT Danareksa Sekuritas, PT Mandiri Sekuritas, dan PT Bahana Securities. Sekitar setahun mereka memegang Garuda, hingga akhirnya pemilik CT Corp, Chairul Tanjung, mengambil alih saham dari ketiganya.
Awalnya, Chairul membeli 2,47 miliar saham (10,88 persen) pada harga Rp 620 per saham. Pembelian dilakukan PT Trans Airways. Total dana yang dikeluarkan sekitar Rp 1,5 triliun. Sisanya diselesaikan pada tahap kedua. Seorang petinggi CT Corp bercerita, aksi korporasi itu dilakukan atas permintaan Dahlan Iskan, yang saat itu menjabat Menteri BUMN. Dahlan belum merespons permintaan konfirmasi mengenai hal itu. Tapi, dalam blog “Catatan Harian Dahlan Iskan”, pendiri kelompok media Jawa Pos itu mengunggah tulisan berjudul “Mbah Surip Lokal untuk Garuda” pada 30 April 2012.
Dalam tulisan tersebut, Dahlan bercerita tentang Danareksa, Bahana, dan Mandiri Sekuritas yang megap-megap karena harus menyerap saham Garuda yang tak laku seharga Rp 750. Celakanya, sesaat setelah IPO, harga nyungsep menjadi Rp 570 per saham, bahkan pernah Rp 395. Akibatnya, tiga perusahaan sekuritas milik negara itu merugi hingga ratusan miliar rupiah. Parahnya, uang yang dipakai membeli adalah pinjaman. “Sudah rugi, harus membayar bunga pula,” tulis Dahlan. Itu sebabnya Dahlan mengizinkan keinginan tiga perusahaan tersebut segera melepas saham Garuda untuk memangkas kerugian.
Pemerintah ingin saham dijual kepada partner strategis, yakni perusahaan penerbangan internasional yang bereputasi baik. Ketiga perusahaan sekuritas menawari berbagai investor internasional. Hasilnya nihil. Ada yang menawar tapi meminta bermacam syarat, seperti harga harus murah dan tidak mau hanya 10 persen.
Dahlan berinisiatif menghubungi lima perusahaan besar nasional. “Mohon pertolongan, berminatkah grup perusahaan Anda membeli saham Garuda yang dikuasai tiga sekuritas BUMN dengan harga pasar saat ini?” Pesan dikirim melalui layanan pesan pendek kepada Nirwan Bakrie, Chairul Tanjung, Sandiaga Uno, Rahmat Gobel, dan Anthony Salim. Tiga pengusaha menyatakan minat membantu. Dahlan mempersilakan para pebisnis berbicara langsung dengan korporasi, hingga akhirnya Chairul menjadi pemegang saham Garuda.
Tapi kondisi keuangan Garuda yang telanjur parah tak kunjung membaik. Direksi putar otak, merenegosiasi pemesanan pesawat, mengejar efisiensi. Kini manajemen berharap pada bisnis perjalanan umrah dan musim haji yang akan segera tiba.
Rencananya, pesawat yang sebelumnya terbang ke London dialihkan ke bisnis ini. Fuad Rizal bermimpi membalik kondisi. Januari lalu, Saudi Airlines terbang ke Jakarta enam kali sehari, sementara Garuda cuma tiga kali ke Jeddah. Ia berharap penerbangan Garuda ke Jeddah menjadi enam kali, sementara dari Saudi ke Jakarta hanya tiga kali. “Pesawat rute Jakarta-Jeddah ditambah,” ujarnya. Targetnya, kinerja keuangan menjadi biru. “Kalau bisa untung US$ 20 juta di kuartal I, bisa untung 30 juta pada kuartal II.”
RETNO SULISTYOWATI, PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo