Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tiga Bulan Mencetak Laba

Garuda Indonesia ditengarai mencatat pendapatan yang tidak seharusnya. Dua komisaris menolak menandatangani laporan keuangan. Surat keberatan komisaris berbuntut panjang.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk akhirnya bertemu dengan suasana yang lebih hangat, Senin, 29 April lalu. Ditemani nasi kotak masakan Manado, mereka bersantap sambil menggelar rapat perdana di kantor Garuda, Jalan Kebon Sirih, Jakarta. “Masakannya pedas sekali. Aku sampai sakit perut,” kata Sahala Lumban Gaol, Komisaris Utama Garuda Indonesia.

Sahala, Staf Khusus I Menteri Badan Usaha Milik Negara, baru satu pekan menjabat komisaris utama dan sudah menghadapi situasi tidak enak. Dalam rapat umum pemegang saham tahunan Garuda, Rabu, 24 April lalu, dua komisaris dari PT Trans Airways dan Finegold Resources- Ltd, perusahaan milik taipan Chairul Tanjung, menolak laporan keuangan perusahaan tahun buku 2018. Lima komisaris lain menerima. Keduanya mewakili perusahaan Chairul, yang menguasai 28,08 persen saham Garuda

Rapat umum pemegang saham kemudian memangkas jumlah komisaris. Dua komisaris perwakilan pemerintah dan satu jatah Chairul, Dony Oskaria, terpental. Jatah komisaris Trans dan Finegold menyisakan Chairal Tanjung, adik kandung Chairul. Ketika Senin pekan lalu formasi baru komisaris itu berkumpul untuk pertama kalinya, Sahala tidak mau menyinggung hasil RUPS. “Apa yang terjadi di RUPS cukup selesai di sana,” tuturnya.

RUPS tahunan Garuda pada 24 April berlangsung kisruh. Chairal dan Dony menolak laporan keuangan perusahaan tahun buku 2018. Pada 1 April 2019, dua pekan sebelum pemilihan umum presiden dan legislatif, Garuda sebetulnya sudah melaporkan laba konsolidasi US$ 5,02 juta atau setara dengan Rp 72,69 miliar menggunakan kurs Rp 14.481. Angka ini sebenarnya memberikan harapan setelah kinerja Garuda babak-belur pada tahun sebelumnya. Ketika itu, kerugian Garuda mencapai US$ 213 juta atau Rp 2,88 triliun dengan kurs saat itu. Hingga tiga bulan menjelang tutup tahun 2018, Garuda masih membukukan kerugian Rp 1,6 miliar.

Garuda untung berkat pendapatan lain-lain di luar bisnis inti yang mencapai US$ 278,8 juta pada 2018. Semua berjalan normal sampai Chairal dan Dony menolak laporan keuangan. “Surat keberatan kami tadi tidak dibacakan karena pimpinan rapat menyatakan cukup dengan dilampirkan di laporan tahunan 2018,” ucap Chairal di Hotel Pullman, Jakarta, tempat RUPS berlangsung, pada Selasa, 24 April lalu.

Chairul Tanjung (kiri) dan Rini Soemarno di Jakarta, September 2014./ANTARA/Wahyu Putro A

Chairal, yang pernah merintis karier sebagai auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, menilai kinerja bisnis Garuda sebetulnya sudah membaik. Terbukti pada kuartal pertama 2019 Si Burung Biru secara konsolidasi untung US$ 19,7 juta. Tapi Chairal mempermasalahkan satu transaksi pada tahun buku 2018 yang mampu menyulap perusahaan dari rugi menjadi untung. “Kami hanya keberatan terhadap satu transaksi itu,” ujarnya. “Kami tidak sependapat dengan perlakuan akuntansinya.” 

Satu transaksi itu adalah pendapatan kompensasi kerja sama antara Grup Garuda Indonesia dan PT Mahata Aero Teknologi, perusahaan rintisan yang didirikan Muhamad Fitriansyah alias Temi. Oleh para pengusaha timah Bangka, Temi disebut pernah bekerja di PT Mitra Stania Prima, perusahaan tambang dan smelter timah milik Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto. 

Dalam kolaborasi itu, Mahata akan memasang jaringan Internet di pesawat Garuda Indonesia, Citilink—anak usaha Garuda di segmen penerbangan murah—dan Sriwijaya Air, yang menjalin kerja sama operasi dengan Garuda. Mahata juga akan mengelola perangkat hiburan di pesawat Garuda, seperti layar sentuh di kursi pesawat. Grup Garuda mengakui mendapat kompensasi sebesar US$ 239,9 juta atau Rp 3,47 triliun dengan kurs Rp 14.481 dalam kerja sama selama 10 dan 15 tahun tersebut.

Garuda menarik pendapatan itu ke depan dan membukukannya dalam pendapatan tahun 2018. Selain masuk ke neraca pendapatan, kompensasi dicatat dalam piutang usaha kepada Mahata. Berkat pencatatan itu, Garuda terselamatkan dari kerugian 2018 yang mencapai US$ 244,958 juta. Perseroan pun membukukan laba sebesar US$ 5,018 juta.

Pesawat Citilink dan Sriwijaya Air di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar, 21 Desember 2014./TEMPO/STR/Fahmi Ali

Sebelum dalam rapat umum, Chairal dan Dony sebetulnya sudah mengajukan keberatan serupa. Pada 18 Februari lalu, keduanya menyurati direksi. Dalam surat, pengakuan pendapatan di muka tersebut dianggap tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan Indonesia. Chairal- dan Dony kembali mengirim surat pada 2 April, tiga pekan sebelum rapat umum. Kali ini layang ditujukan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, wakil negara yang menguasai 60 persen saham Garuda.

Menurut Chairal dan Dony, pendapatan yang ditarik ke muka bisa diakui hanya jika terdapat kemungkinan besar bahwa imbalan atau royalti akan diterima. Adapun perjanjian antara Mahata dan Garuda tidak mencantumkan jangka waktu pembayaran. Tidak ada pula jaminan pembayaran, yang menunjukan kapasitas Mahata sebagai perusahaan bonafide. Jaminan itu diganti dengan surat pernyataan komitmen pembayaran biaya kompensasi. Inilah yang menjadi dasar Chairal dan Dony menyatakan kebenaran pendapatan yang ditarik ke depan tidak dapat diandalkan.

Tapi Kementerian BUMN jalan terus. Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Jasa Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo menyatakan laporan keuangan Garuda tahun buku 2018 sudah diaudit dengan opini wajar tanpa pengecualian, termasuk transaksi dengan Mahata. “Semua sudah diaudit,” katanya, Rabu, 24 April lalu. Auditor yang mengesahkan laporan keuangan Garuda adalah Kasner Sirumapea dari Kantor Akuntan Publik Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan, yang merupakan partner BDO di Indonesia. BDO adalah jaringan firma akuntansi yang berbasis di Brussels, Belgia. 

SURAT Chairal Tanjung dan Dony Oskaria berbuntut panjang. Seorang pejabat pemerintah yang mengetahui proses ini mengatakan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno sempat kesal terhadap surat yang disampaikan dua komisaris tersebut. Salah satu direktur perusahaan pelat merah membenarkan hal ini. Gara-gara surat itu, Kementerian BUMN akhirnya memutuskan memangkas jatah komisaris buat Chairul Tanjung, pemilik Trans Airways dan Finegold, dalam rapat umum pemegang saham tahunan.

Komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung, di Jakarta Pusat, Rabu, 24 April 2019./ TEMPO/Francisca Christy Rosana

Namun Sahala Lumban Gaol membantah kabar bahwa Rini kesal sehingga memangkas jatah komisaris buat Chairul. Menurut Sahala, pemangkasan itu bersifat proporsional. Rini, Sahala menambahkan, juga memangkas dua komisaris wakil pemerintah sehingga jumlah komisaris saat ini tinggal lima. Komposisi dewan komisaris terdiri atas satu wakil pemerintah, yaitu Sahala; tiga independen, yakni Herbert Timbo Parluhutan Siahaan, Eddy Purwanto, dan Insmerda Lembang; serta satu dari Chairul, yakni Chairal Tanjung. “Dengan demikian, yang membawa inspirasi publik lebih besar,” kata Sahala, -Jumat, 3 Mei lalu.

Dua sumber di CT Corp—kerajaan bisnis milik Chairul Tanjung—mengatakan langkah Kementerian BUMN memangkas jumlah komisaris juga membuat Chairul kesal. Apalagi Chairul menilai laporan keuangan Garuda tidak menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Chairul sempat curhat agak panjang perihal Garuda pada Selasa, 30 April lalu, dalam rapat rutin Trans Media—unit usaha CT Corp di bidang media, gaya hidup, dan hiburan.

Chairul belum merespons upaya konfirmasi Tempo lewat sambungan telepon pekan lalu. Salah satu orang kepercayaan Chairul yang juga komisaris Trans Media, Ishadi S.K., mengatakan bosnya sedang berada di Bali pada Jumat, 3 Mei lalu. Esok harinya, Chairul akan pergi ke Singapura dan baru kembali ke Jakarta pada Ahad, 5 Mei. Saat ditanyai mengenai isi pertemuan Selasa pekan lalu, Ishadi mengaku tidak ikut hadir. “Itu panggilan internal, khusus membahas Garuda,” ujarnya.

Namun, dalam rapat Selasa, 30 April lalu, Chairul juga sempat menyinggung satu nama dalam pusaran geger Garuda, yakni Muhammad Hadi Bil’id. Menurut sumber internal CT Corp, Chairul mengatakan sempat dikontak Hadi Bil’id, yang mengaku sebagai salah satu pemodal Mahata Aero Teknologi. Bil’id, yang dikenal sebagai pendiri Valco Corp, perusahaan investasi di sektor energi, menolak berkomentar banyak. “Mohon maaf, kami sudah sepakat yang mewakili direksi dan komisaris adalah Pak Temi,” kata Bil’id, yang duduk sebagai komisaris Mahata, Jumat, 3 Mei lalu. Temi adalah panggilan Muhamad Fitriansyah, Presiden Direktur Mahata.

SEJAK ribut-ribut laporan keuangan Garuda Indonesia mencuat ke publik, maskapai penerbangan ini sibuk memberikan klarifikasi. Garuda menilai tidak ada yang salah dengan pendapatan ditarik seluruhnya ke muka dalam tahun buku 2018 meski kontrak kerja sama berlangsung hingga 15 tahun ke depan. Direktur Keuangan Garuda Fuad Rizal menyebutkan pencatatan ini mengacu pada pernyataan standar akuntansi keuangan 23.

Menurut dia, pendapatan bisa dibukukan sekaligus di depan bila manfaatnya terukur, pembayaran diyakini ada, dan kontrak benar. Setelah tanda kontrak, kata Fuad, Garuda yakin kompensasi US$ 239,9 juta itu akan dibayar kendati Mahata tidak memberikan jaminan. “Saya sudah melihat bisnis modelnya,” ucapnya, Kamis, 2 Mei lalu.

Fuad mengatakan saat ini biaya kompensasi atas hak yang diberikan kepada Mahata Aero Teknologi untuk memasang layanan Internet dan mengelola konten sudah masuk ke piutang Garuda. Auditor juga sudah meminta konfirmasi kepada Mahata bahwa kompensasi itu telah masuk ke lembar utang buku operator tersebut. “Di sini mengakui piutang, di sana harus mengakui utang,” ujar Fuad. “Kalau salah satu pihak ada yang tidak mengakui, baru disebut abal-abal.”

Dua orang yang mengetahui detail transaksi Garuda dengan Mahata mengungkapkan, perusahaan digital ini justru belum memasukkan biaya kompensasi ke neraca utang perusahaan. Bahkan, menurut mereka, perusahaan belum menyusun laporan keuangan 2018. Mahata gamang memasukkan beban kompensasi karena akan merusak keuangan perusahaan. “Masak, perusahaan baru jalan sudah menanggung utang segitu gedenya?” tutur sumber ini.

Menurut kedua sumber, dasar penghitungan biaya kompensasi kepada Garuda pun tidak gelondongan US$ 239,9 juta. Untuk pemasangan Wi-Fi, Mahata berkewajiban membayar US$ 6.500 per pesawat per bulan selama sepuluh tahun. Dalam kontrak dengan Citilink, kata sumber, bila semua lancar dan pemasangan tepat waktu, akumulasi kompensasinya menjadi US$ 39 juta untuk 50 pesawat Airbus A320. Kontrak dengan Citilink ini diteken pada Oktober 2018.

Belakangan, Garuda dan Sriwijaya, dua sumber itu meneruskan, meminta model penghitungan yang sama dengan Citilink dalam kontrak baru pada 14 Desember 2018. Tarif dasar kompensasi tetap US$ 6.500 per pesawat per bulan selama sepuluh tahun. Sriwijaya menyerahkan 47 pesawat seri B737 dan 3 pesawat seri yang sama akan dikirim ke Sriwijaya pada 2019-2020. Semua pesawat dilengkapi Wi-Fi selama sepuluh tahun. Akumulasi nilai kontraknya US$ 30 juta.

Selanjutnya, Garuda menyerahkan 103 pesawatnya untuk dipasangi Wi-Fi selama sepuluh tahun. Akumulasi kompensasinya US$ 92,9 juta. Mahata juga akan mengelola alat hiburan dan manajemen konten di pesawat Garuda dengan membayar kompensasi sebesar US$ 80 juta. Sama seperti Citilink dam Sriwijaya, semua kerja sama dengan Garuda akan diperpanjang lima tahun.

Total kompensasi Garuda-Citilink-Sriwijaya US$ 239,9 juta. “Tapi semua ini baru akan dibayar Mahata bila alat sudah terpasang dan sesuai dengan jumlah yang terpasang,” tutur dua sumber ini. Informasi itu berbeda dengan klaim Garuda yang menyebutkan kewajiban sudah melekat sejak tanda tangan kontrak, yang penandatanganan adendum keduanya berlangsung pada 26 Desember 2018.

Kontrak juga belum mengatur jangka waktu pembayaran. Termin pembayaran akan dibahas saat Mahata dan Garuda menyusun adendum ketiga perjanjian kerja sama. Termin akan disesuaikan dengan pemasangan peralatan di setiap pesawat.   

Informasi ini berbeda dengan catatan nomor 47 poin e tentang layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan di pesawat serta manajemen konten yang tertera dalam laporan keuangan. Menurut dosen akuntansi Universitas Gadjah Mada dan anggota Ikatan Akuntan Indonesia, Ahmad Amin, dalam catatan itu Garuda menyatakan kompensasi akan dibayar setelah penandatanganan.

“Bila Garuda menyertakan informasi yang salah dalam laporan keuangannya, kontrak tersebut memiliki ketidakpastian yang tinggi,” ucap Ahmad, Kamis, 2 Mei lalu. Dengan ketidakpastian yang tinggi, piutang dari kerja sama itu tidak bisa dimasukkan ke neraca pendapatan.

KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI, RETNO SULISTIYOWATI, FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus