Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Tanah Merah menempati lahan sekitar Depo Pertamina sejak 1980-an.
Korban jiwa kebakaran Depo Plumpang mendapat uang duka Rp 10 juta.
Pertamina menunggu kajian soal relokasi warga Tanah Merah.
BAU bensin makin menyengat saat Farida berdiri di depan pintu rumahnya di Rukun Tetangga 5 Rukun Warga 1 Kelurahan Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara, Jumat malam, 3 Maret lalu. Menjelang azan isya berkumandang, perempuan 38 tahun itu melihat asap putih mengepul dari balik tembok depo Pertamina Plumpang yang berseberangan tiga meter dari rumahnya. “Asap itu makin lama makin tebal dan bikin pusing,” katanya kepada Tempo, Selasa, 7 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Farida pun tersentak saat ada suara ledakan dari arah asap tersebut. Dia lantas membawa anaknya berlari menjauh. "Sudah susah melihat dan bernapas, orang-orang mulai berteriak ada api,” ujarnya. “Saya masih trauma, sampai sekarang belum berani tidur di rumah.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang sama dialami Junnah. Warga Jalan Bendungan Melayu, RT 6 RW 1 Kelurahan Rawa Badak Selatan, ini membawa dua cucunya meninggalkan rumah setelah melihat asap tebal. Saat ia berlari sekitar 50 meter, tak lama api menyambar rumahnya dan beberapa rumah lain yang berada di dekat tembok depo Pertamina. Junnah ingat suaminya, Sanum, 63 tahun, masih bertahan di rumah karena hendak mengamankan beberapa dokumen. Jannah baru bertemu dengan Sanum kemudian di Rumah Sakit Mulyasari, Jakarta Utara. Sanum, yang menderita luka-luka di leher dan tangan, kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pertamina Pusat, Jakarta Selatan, untuk diobati.
Tapi tak lama dari itu Jannah mendengar berita yang menyesakkan. Putrinya, Yuliana Handayani, ditemukan tak bernyawa setelah hilang selama dua hari. Jasad Yuliana, 21 tahun, dibawa ke Rumah Sakit Polri Jakarta Timur pada 5 Maret. Identitasnya baru diketahui setelah ada tes asam deoksiribonukleat (DNA).
Sedangkan Ahmad Ali Mudin, 44 tahun, kehilangan saudaranya, Siti Aminah, dalam musibah ini. Saat bau bensin tercium dan orang-orang mulai panik berlarian, Ahmad membawa anak dan istrinya mengungsi dengan Toyota Avanza miliknya. Saat melintasi Gang Mandiri VII, Rawa Badak Selatan, dia melihat Siti Aminah mondar-mandir. Ali menawari perempuan 40 tahun itu masuk ke mobilnya, tapi ditolak. Esoknya, dia mendapat kabar Siti meninggal di Rumah Sakit Pertamina Pusat. "Kalau dia naik mobil mungkin selamat."
•••
TANAH Merah—sebutan untuk perkampungan di sekitar depo Pertamina Plumpang—kini ramai didatangi orang setelah terjadi musibah kebakaran yang menewaskan 20 orang itu. Relawan dan kader partai politik mendirikan tenda bantuan untuk warga. Ada juga yang berkeliling membagikan kotak makanan atau menghibur anak-anak dengan aneka permainan untuk memulihkan mereka dari trauma. Di antara puing-puing rumah yang hangus dan mulut gang, beberapa warga menyodorkan dus kosong, meminta uang.
Warga Tanah Merah sudah dua kali menyaksikan kebakaran depo Pertamina. Yang pertama terjadi pada 18 Januari 2009 malam, saat tangki penampung bahan bakar di kompleks depo itu meledak dan terbakar. Seorang petugas keamanan Pertamina tewas dalam peristiwa ini. Bahaya pun terus membayangi ribuan warga yang tinggal di kawasan itu. Apalagi sebagian dari mereka tinggal sangat dekat dengan depo penampung dan penyalur bahan bakar itu.
Sejumlah pelajar melihat rumah temannya yang hangus terbakar akibat kebakaran depo Pertamina Plumpang di Jalan Tanah Merah Bawah, Plumpang, Jakarta Utara, 6 Maret 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Berdasarkan Rencana Induk Djakarta 1965-1985, pemerintah membangun depo Pertamina Plumpang dengan jarak 5 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Priok. Saat depo dibangun pada 1974, tidak ada permukiman sama sekali di kawasan yang berupa tanah lapang dan rawa ini. Namun, beberapa tahun kemudian, penduduk mulai berdatangan. “Perlahan tapi pasti membentuk permukiman ilegal yang memadati kawasan sekitar depo sejak 1985," tutur pakar tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga.
Menurut Segar Yanto Saragih, 45 tahun, warga Tanah Merah, rencana memindahkan warga sudah berulang kali muncul. Salah satunya pada 2009 atau seusai kebakaran besar pertama. Dia mengatakan salah satu calon lokasi hunian baru untuk warga Tanah Merah adalah Rumah Susun Marunda di Cilincing, yang terletak sekitar 10 kilometer dari Plumpang. "Tapi kami tidak setuju," ucap pria yang lahir pada 1977 itu.
Segar tak setuju karena dia mengantongi status sebagai warga yang sah sejak 2014. Rumah yang ia tempati adalah warisan dari orang tuanya yang tinggal di sana sejak 1994. Namun Segar enggan membahas legalitas lahan yang ia tinggali. "Apa pun terjadi, saya mencari rezeki di sini," katanya.
Lain cerita dengan Cami, 65 tahun. Perempuan tujuh anak ini tinggal di Tanah Merah, tepatnya Jalan Mandiri V RT 11 RW 9 Rawa Badak Selatan, sejak 1983. Saat itu di sekitar tempat tinggalnya baru ada tiga rumah. Cami pun membangun hidup sebagai pemulung sampah. Keluarga Cami tinggal di Tanah Merah setelah tempat tinggal mereka di Kampung Babakan Ngantay, Karawang, Jawa Barat, tergusur untuk pembangunan pabrik. Dia kemudian mendirikan gubuk bambu di kawasan Tanah Merah yang saat itu masih berupa lahan terbuka. Ihwal pemindahan warga, bagi Cami itu bukan cerita baru. "Saya siap asal ramai-ramai dan ada tempat tinggal baru."
Menurut Abdus Syakur, Ketua RW 9 Rawa Badak Selatan, saat Joko Widodo menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2013, ada angin segar buat warga Tanah Merah. Sebab, Jokowi memberikan kartu tanda penduduk yang menandai legalitas warga Tanah Merah. Sebelumnya, Syakur menambahkan, domisili dan status KTP warganya tidak jelas. "Bahkan banyak warga yang enggak punya KTP," ucap pria 36 tahun ini. "Kami kini warga DKI Jakarta yang harus diakui keberadaannya."
•••
JUMLAH korban jiwa kebakaran Depo Pertamina Plumpang masih berubah-ubah. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta menyebut hingga Jumat 10 Maret ada 20 warga meninggal dan 49 luka-luka. Sebanyak 26 korban luka masih dirawat di rumah sakit. Sebanyak 148 orang mengungsi. Ada pula korban jiwa yang tak masuk dalam pendataan karena sempat dinyatakan hilang dan jasadnya tak teridentifikasi. Salah satunya Yuliana Handayani.
Air mata duka belum lagi kering. Namun selembar surat dari Pertamina membuat luka makin dalam. Surat ini berisi permintaan Pertamina agar para korban kebakaran tidak mengajukan tuntutan. Pertamina menawarkan uang duka Rp 10 juta buat keluarga korban kebakaran depo Plumpang.
Salah satu penerima surat Pertamina adalah keluarga Hadi, pria 30 tahun yang menjadi salah satu korban jiwa. Husein, kakak mendiang Hadi, mengatakan menerima uang dari perwakilan Pertamina. Menurut dia, saat menerima uang dan surat di Rumah Sakit Polri, tiga perwakilan Pertamina mengunjukkan dana Rp 10 juta sebagai biaya pemakaman. "Hanya dijelaskan uang ini untuk biaya pemakaman, bukan santunan," katanya. Husein juga mengakui ada klausul berbunyi: "Dengan diberikannya santunan ini, maka kami tidak akan mengajukan gugatan maupun tuntutan lain kepada Pertamina Group".
Abdus Syakur, Ketua RW 9 Rawa Badak Selatan, mengatakan surat ini melukai warganya yang sedang berduka. Apalagi belum ada penjelasan tentang penyebab kebakaran, termasuk siapa yang bertanggung jawab. Syakur menilai Pertamina lalai karena tidak membunyikan tanda bahaya bau bahan bakar sebelum kebakaran. "Seharusnya ada peringatan saat tercium bau mencurigakan," ujarnya.
Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting membenarkan kabar tentang surat dan uang bagi keluarga korban yang ia sebut bantuan untuk pemakaman. Perihal larangan gugatan, Irto menjelaskan tujuannya adalah mencegah biaya pemakaman yang sudah diberikan digugat pihak lain yang mengaku keluarga korban. “Seharusnya yang menandatangani ahli warisnya, jangan sampai ada yang mengaku-ngaku,” tuturnya pada Selasa, 7 Maret lalu. Ihwal penyebab kebakaran depo Pertamina Plumpang, juru bicara Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan penyelidikan masih berjalan.
IHSAN RELIUBUN, MUTIA YUANTISYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo