Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Orang Keempat Dalam Perkara Reklamasi

Tanpa status yang jelas dalam birokrasi DKI Jakarta, Sunny Tanuwidjaja ditengarai menjadi penghubung komunikasi Aguan, Mohamad Sanusi, dan Basuki Tjahaja Purnama. Diduga mengetahui pemberian suap.

3 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RADAR Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menguping dua percakapan Mohamad Sanusi dan Sunny Tanuwidjaja. Isi obrolan itu sama seperti rekaman yang diputar di persidangan suap reklamasi yang melibatkan Sanusi. "Sebetulnya ada tiga telepon. Yang masuk KPK cuma dua," ujar Sanusi kepada Tempo sebelum menjalani sidang sebagai terdakwa suap reklamasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin pekan lalu.

Sanusi samar-samar mengingat kapan persisnya pembicaraan pertama itu terjadi. Yang jelas, kata dia, Sunny menanyakan isi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta—biasa disebut Raperda Reklamasi—yang saat itu sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. "Nih, perda begini-begini…," kata Sanusi, menirukan Sunny.

Menurut bekas anggota DPRD DKI Jakarta itu, Sunny ingin memastikan rancangan perda yang dibahas di DPRD mengakomodasi semua usul dalam draf yang disodorkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sanusi kemudian membalas, "Lu tanya dulu si ini, si itu, setuju enggak."

Sanusi mengenal Sunny sebagai anggota staf khusus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Walau tahu Sunny telah mendampingi Basuki sejak menjabat wakil gubernur pada 2012, Sanusi baru berhubungan dengan dia ketika Raperda Reklamasi mulai dibahas di DPRD DKI pada akhir 2015.

Meski berkantor di Balai Kota, Sunny tak melulu menanyakan nasib raperda yang diajukan Pemerintah Provinsi DKI. Ia pun meneruskan permintaan Sugianto Kusuma alias Aguan, bos grup usaha Agung Sedayu, pengembang Pulau C dan D melalui anak usahanya, PT Kapuk Naga Indah. Dalam pembicaraan kedua dengan Sanusi melalui telepon, pada 24 Februari 2016, Sunny menyampaikan bahwa pengembang ingin pengurusan hak guna bangunan dan hak pengelolaan lahan dilakukan pengembang, bukan pemerintah DKI. Tujuannya agar pengagunannya lebih gampang. Ketentuan ini diminta dimasukkan ke raperda.

"Ada request… bos baru telpon bisa gak kayak orang agunin diurusnya di developer, bukan di pemda…," ujar Sunny dalam percakapan di telepon. Menurut Sunny dalam pemeriksaan di KPK, bos yang dimaksud adalah Aguan.

Selama pembahasan raperda, Sunny memang kerap berkomunikasi dengan Aguan. Pada 18 Maret 2016, misalnya, mereka membicarakan buntunya rapat di DPRD DKI mengenai ketentuan kontribusi tambahan sebesar 15 persen dalam bentuk infrastruktur yang harus dibayarkan pengembang kepada pemerintah DKI. Tarik-ulur besaran kontribusi itu membuat pembahasan raperda terkatung-katung. "Anggota DPR apa gak kebagi semua atau apa?" kata Sunny dalam pembicaraan telepon seperti tertulis dalam dokumen pemeriksaan.

Aguan dan Sunny pun pernah membicarakan besaran nilai jual obyek pajak (NJOP) di pulau reklamasi kelak. Aguan keberatan dengan NJOP yang ditetapkan Pemerintah Provinsi, yang dianggapnya kemahalan. Ia ingin nilainya lebih murah karena tanah di pulau reklamasi belum ditumbuhi bangunan.

l l l

BUKAN hanya Aguan, anaknya pun, Richard Halim Kusuma alias Yung Yung, menghubungi Sunny kalau ada apa-apa. Richard, yang menjabat CEO Supporting Property Agung Sedayu Group, mengenal Sunny yang sering datang ke rumah ayahnya bersama Basuki. Sembari makan pempek, mereka mengobrolkan antara lain Raperda Reklamasi. Di luar pertemuan di rumah, Richard mengatakan ayahnya kerap menyampaikan pesan kepada Basuki lewat Sunny.

Dalam dokumen pemeriksaan, terungkap bahwa pada 23 Februari 2016 Richard menghubungi Sunny untuk meminta pembangunan jembatan dari Dadap di Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, ke Pulau C dimasukkan ke Raperda Reklamasi. Sebab, rencana pembangunan jembatan itu lenyap dalam draf yang diajukan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati ke DPRD pada 22 Februari atau sehari sebelumnya.

Telepon kemudian diberikan kepada Aguan. Kepada Sunny, Aguan mengatakan jembatan itu penting untuk menghubungkan Provinsi Banten dan DKI melalui pulau reklamasi sekaligus jalan alternatif menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta di Tangerang. Aguan juga mengatakan Bupati Tangerang Ahmad Zaki Iskandar mendukung pembangunan jembatan karena Agung Sedayu Group akan membangun puluhan ribu unit rumah susun di Tangerang.

Bahkan rencana pembangunan itu sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. "Waktu saya dipanggil sebagai anggota REI (Realestat Indonesia) ke Istana, Bapak Presiden menanyakan berapa rusun yang akan saya bangun," kata Aguan dalam dokumen pemeriksaan. "Saya menyampaikan akan membangun 40 ribu unit rumah susun murah di Kabupaten Tangerang."

Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyanggah kabar bahwa Presiden Jokowi pernah bertemu dengan Aguan di Istana dan membicarakan pembangunan rumah susun tersebut. "Info dari mana? Enggak ada itu soal rusun," ujarnya kepada Istman M.P. dari Tempo.

Salah satu alasan Bappeda tak memasukkan rencana pembangunan jembatan Dadap ke Raperda Reklamasi adalah tak adanya rekomendasi dari Bupati Tangerang. Padahal saat itu raperda tersebut hampir disahkan. Rencana awal, DPRD akan menggelar sidang paripurna pada 25 Februari 2016. Dalam obrolan dengan Richard, Sunny berkata, "Tuty (Kepala Bappeda), kalau kayak gini, kita yang kena omel bos. Jagain besok. Pokoknya, kalau belum setuju, deadlock-in aja."

Diburu waktu menjelang pengesahan, Aguan meminta anak buahnya mengecek sekali lagi isi raperda. "Poin-poin kita sudah masuk semua?" ujarnya kepada Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah Budi Nurwono, seperti tertulis di dokumen pemeriksaan. Budi juga yang diminta Aguan melobi DPRD untuk menunda rapat paripurna sampai rekomendasi dari Bupati Tangerang diperoleh. Salah satunya lewat Mohamad Sanusi.

Bersamaan dengan itu, pada 24 Februari 2016, Agung Sedayu Group milik Aguan mengutus salah satu pegawainya menemui pejabat Kabupaten Tangerang untuk minta dibuatkan surat rekomendasi pembangunan jembatan. Sebelum diteken Bupati Ahmad Zaki, surat itu dirancang Kepala Dinas Bina Marga Slamet Budi. Ditemui Kamis pekan lalu, Slamet Budi membantah kabar bahwa surat itu dibuat atas permintaan pengembang. "Suratnya hanya menanyakan rencana DKI membangun jembatan atau tidak," katanya.

Setelah diparaf Bupati, hari itu juga surat bernomor 630/423/BM tertanggal 24 Februari 2016 tersebut diteruskan kepada Budi Nurwono, yang menunggu di pusat belanja FX di kawasan Senayan, Jakarta. Selanjutnya, Budi menyerahkan surat itu kepada Sunny di Balai Kota untuk diteruskan kepada Gubernur Basuki.

Menurut Sunny dalam pemeriksaan, Basuki selanjutnya mendisposisikan surat itu ke Bappeda. "Bisa disetujui TL (tindak lanjut) sesuai aturan," demikian disposisinya. Dalam pemeriksaan, Tuty mengatakan tetap tak mengakomodasi rencana tersebut karena tak memiliki dasar hukum. Ditanyai perihal pembahasan Raperda Reklamasi pada Jumat pekan lalu, Tuty menolak berkomentar. Kepada Erwan Hermawan dari Tempo, ia berkata, "Case closed."

l l l

DALAM dokumen pemeriksaan, Sunny mengaku sebagai anggota staf Gubernur Basuki. Walau begitu, saat bersaksi dalam sidang Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, ia mengatakan tak pernah mendapat surat pengangkatan dan tak digaji. Sunny mengaku mendapatkan penghasilan dari statusnya sebagai General Manager Rajawali Corpora, perusahaan milik Peter Sondakh.

Pria kelahiran 29 Mei 1979 itu mulai dekat dengan Basuki pada 2010. Saat itu, Sunny masih bergabung di lembaga riset Centre for Strategic and International Studies sebagai peneliti. Setelah Basuki terpilih sebagai wakil gubernur, ia ikut pindah kantor ke Balai Kota. "Tugas saya memberikan update perkembangan politik, diskusi soal kebijakan politik, dan bertemu dengan teman-teman politisi," ujar Sunny di persidangan Ariesman.

Menjelang pembahasan Raperda Reklamasi pada pertengahan 2015, Sunny tak cuma ikut bertemu dengan politikus, tapi juga dengan pengembang dan Bappeda. Ia mendampingi Basuki dengan alasan, "Secara teknis, beliau tidak paham dan sering dibantu saya." Demikian diungkapkan Sunny dalam pemeriksaan.

Dalam kesempatan lain, yang bertemu adalah Bappeda, konsultan, dan pengembang. Sering rapat tersebut berujung buntu. Salah satu penyebabnya adalah besaran kontribusi tambahan di pulau reklamasi sebesar 15 persen dikali NJOP dikali luas lahan terjual. Bappeda berkukuh tak menurunkan angka yang dipatok Gubernur Basuki itu. Bagi pengembang, persentase ini kelewat memberatkan.

Mentok di rapat dengan Bappeda, pengembang yang tergabung dalam "Paguyuban Reklamasi" itu berputar jalan lewat Sunny. "Karena pengembang sudah kenal saya, mereka memberi masukan untuk disampaikan kepada Gubernur," kata Sunny dalam pemeriksaan. Sunny kemudian menggelar pertemuan dengan pengembang, antara lain Grup Agung Sedayu dan Agung Podomoro, di Balai Kota hingga tujuh kali.

Di DPRD, besaran angka kontribusi itu juga yang menyebabkan rapat paripurna buntu. Ketimbang raperda tak disahkan, Sunny berkata kepada Aguan bahwa ketentuan kontribusi tambahan lebih baik diatur dalam peraturan gubernur. Gubernur Basuki sudah mengisyaratkan setuju. Di DPRD, Sanusi pun sepakat aturan itu masuk peraturan gubernur. "Kalau gubernur dan pengusaha sudah setuju, kenapa enggak bikin lewat pergub?" ujar Sanusi, Senin pekan lalu.

Dalam draf terakhir yang dibahas di DPRD pada Maret 2016, besaran kontribusi memang tak ada dalam isi pasal. Namun ketentuan itu muncul dalam bagian penjelasan. Angkanya bukan 15 persen, melainkan 5 persen. Ini yang membuat Ahok murka, lalu membubuhi draf dengan tulisan: "Gila, kalau seperti ini bisa pidana korupsi." Pada akhir Maret itu pula Sanusi digulung Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tuduhan menerima suap dari Ariesman Widjaja. Pembahasan raperda akhirnya mangkrak hingga sekarang.

Kendati Sunny tampak aktif berhubungan dengan pengembang dan Sanusi, Basuki mengatakan tak menampung usul anak buahnya itu. "Ada enggak sumbangan dia yang gua masukin ke raperda? Itu kan urusan dia pribadi dengan Sanusi. Sekarang ada enggak yang dia input kasih ke saya? Enggak ada," ujarnya Kamis pekan lalu. Basuki juga mengatakan tak pernah menginstruksikan Sunny melakukan lobi. Sunny juga tak pernah melaporkan hasilnya. "Mana ada lapor."

Pengacara grup usaha Agung Sedayu, Kresna Wasedanto, mengatakan tak mengetahui perbuatan Budi Nurwono selama pembahasan Raperda Reklamasi. Ihwal peran Aguan dan Richard, Kresna menyebutkan kliennya tak bersedia diwawancarai. "Yang jelas, beliau sejauh ini sangat menghormati prosedur hukum," ujarnya.

Disambangi di rumahnya di Duri Kepa, Jakarta Barat, pada Kamis pekan lalu, Sunny Tanuwidjaja tak ada di tempat. Tempo kemudian menitipkan surat permohonan wawancara kepada ibundanya. Di kantornya di Rajawali Corpora di Menara Rajawali, Kuningan, Jakarta Selatan, juga tak ada. Selama sepekan terakhir, Sunny pun tak terlihat mendatangi Balai Kota.

Dihubungi lewat telepon, Sunny menolak diwawancarai. Ia pun tak menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan melalui pesan WhatsApp pada Rabu pekan lalu. Setelah pesan dibaca, Sunny hanya menulis balasan, "Kan gua tanya ini dari mana. Ya gua tanya balik itu."

Anton Septian, Anton Aprianto, Friski Riana, Wayan Agus Purnomo, Ananda Teresia, Joniansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus