Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus dugaan bullying oleh siswa SMA Binus School Serpong membetot perhatian media massa dan publik. Terduga pelaku bullying tersebut masih anak di bawah umur atau disebut sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Namun, media massa tak sedikit yang memberitakan kasus yang melibatkan anak tersebut seperti halnya orang yang telah dewasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberitaan media massa soal kasus yang melibatkan anak diatur dalam ketentuan tertulis yang diterbitkan oleh Dewan Pers. Dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, sejumlah kode etik jurnalistik terangkum dengan ketat sebagai bentuk perlindungan terhadap anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada pertimbangan aturan itu, media massa diwajibkan untuk menjaga harkat dan martabat anak dengan tidak menuliskan berita negatif tentang anak yang bersangkutan. Bagi Dewan Pers, anak dianggap sebagai penerus cita-cita bangsa.
Dewan Pers menilai bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai anak apabila belum berusia 18 tahun, baik masih hidup maupun meninggal, menikah ataupun belum menikah. Anak yang menjadi korban, saksi, hingga pelaku berhak mendapatkan perlindungan ketika terlibat dalam kasus hukum. Dengan demikian, segala bentuk identitas yang menyangkut anak tersebut harus dirahasiakan oleh media massa yang memberitakan.
Secara lebih rinci, berikut aturan pemberitaan media massa atas kasus yang melibatkan anak.
1. Merahasiakan identitas anak, terlebih yang masih diduga, disangka, didakwa melakukan tindak pidana;
2. Memberitakan secara faktual dengan framing yang positif dan menunjukkan empati, serta tak membahas kasus yang bersifat seksual dan sadistis;
3. Tidak mencari tahu dengan menanyakan hal-hal yang diluar kapasitas anak untuk menjawabnya, seperti kematian, perceraian, konflik, perselingkuhan, dan kekerasan atau bencana yang menimbulkan trauma;
4. Boleh mengambil data visual tentang anak untuk melengkapi informasi pemberitaan namun tidak mempublikasi secara visual maupun audio tentang identitas dan asosiasi identitas anak;
5. Mempertimbangkan dampak psikologis dan efek negatif dari pemberitaan anak yang berlebihan;
6. Tidak menggali dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK);
7. Tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan;
8. Menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan;
10. Tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA;
11. Tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) hanya dari media sosial; dan
12. Menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.