Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Pencetakan Al-Quran, dari Bandung hingga Kudus

Syaamil Quran dan Menara Kudus, penerbit besar Al-Quran di Indonesia. Keduanya berkembang dan bertahan hingga sekarang.

14 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dua di diantara sejumlah penerbit besar Al-Quran di Indonesia yang mencetak Al-Quran.

  • Penerbit Syaamil Quran di Bandung mencetak Al-Quran format mini.

  • Penerbit Menara Kudus di Jawa Tengah mencetak Al-Quran ayat pojok.

SELEPAS salat zuhur berjemaah di masjid kantor pada Selasa, 26 April lalu, sebagian karyawan duduk mengaji dalam kelompok kecil. Sebagian lain kembali ke tempat kerja masing-masing. Dari sebuah pabrik yang jembar di bagian belakang, terdengar bunyi mesin-mesin bergemuruh. Di tempat inilah beragam jenis Al-Quran produksi Syaamil Quran dicetak. Kapasitasnya 6.000 eksemplar per hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cetakan diperiksa berulang secara acak untuk menghindari bermacam kesalahan teknis. Proses lain adalah pemotongan kertas cetakan, juga penjilidan dengan durasi pengeleman enam jam. Sebelum diedarkan, kitab-kitab itu dibungkus sampul dengan gambar desain yang menarik hingga bersalut bahan kulit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di masa menjelang berakhirnya Ramadan lalu itu, kesibukan pegawai pabrik dan bagian lain agak mengendur. Namun, menjelang bulan puasa, percetakan tersebut sibuk melayani permintaan akan Al-Quran yang meningkat dibanding pada bulan lain. “Cukup signifikan peningkatannya,” ujar Benny Triandi Djajadi. Tapi Direktur Corporate Secretary & Communication Syaamil Group itu enggan mengungkapkan angkanya dengan alasan takut menjadi sombong.

Pegawai memeriksa Al Quran sebelum dijilid di pusat percetakan Syaamil Quran, Bandung, Jawa Barat, 12 April 2022. TEMPO/Prima Mulia

Di era digital yang memungkinkan Al-Quran digunakan secara gratis lewat aplikasi di telepon seluler pintar, Al-Quran cetak masih punya pasar. Menurut Benny, selalu ada tren kembali ke Al-Quran menjelang bulan puasa di Indonesia. Selain itu, muncul gerakan wakaf Al-Quran, juga acara seperti hafiz atau penghafal Al-Quran di stasiun televisi yang menjadi pemicu kuat pertambahan produksi Al-Quran baru. Kini Syaamil Quran punya 50 variasi kitab suci itu.

Yang menjadi favorit, menurut General Manager Marketing Syaamil Group Apud Saefudin, adalah Al-Quran jenis tilawah yang menggunakan rasm Utsmani. Ada yang wujudnya sebesar novel, kertas A4, juga berformat mini dengan ukuran 9,5 x 13,5 sentimeter. “Al-Quran ukuran itu bisa masuk ke saku,” tuturnya. Sejauh ini, menurut Apud, belum pernah ada keluhan konsumen tentang huruf-hurufnya yang kecil.

Adapun ragam Al-Quran lain dibuat dalam beberapa kategori, seperti Al-Quran Tikrar untuk penghafal, Al-Quran Hijaz yang berisi terjemahan per kata, Al-Quran dengan khat rasm Utsmani, serta Al-Quran khusus bagi perempuan. Harganya bervariasi, dari Rp 50 ribu yang termurah hingga yang termahal Rp 1,5 juta.

Kitab keluaran terbaru, seperti Al-Quran Hijrah, dilengkapi tim kreatif dengan fitur khusus QR Reader seharga Rp 139 ribu. Ada pula Mushaf Tulis yang dihargai Rp 269 ribu dan Mushaf Tahajjud seharga Rp 399 ribu.

Selain menerbitkan Kitab Suci, penerbitan di Jalan Babakan Sari 1 Nomor 71, Kiaracondong, Kota Bandung, itu mencetak buku agama untuk umum, dari kalangan anak-anak hingga dewasa. Temanya antara lain iman dan Islam, kisah Rasulullah, serta cerita 25 Nabi dan Rasul. Ada pula cerita bergambar, buku berformat digital, dan wahana bermain untuk anak.

•••

SYAAMIL Quran dirintis pada awal masa reformasi, 1998. Namun baru pada 14 Januari 2008 beberapa pendirinya, seperti Riza Zacharias dan Halfino Berry, membentuk PT Sygma Examedia Arkanleema untuk mengibarkan nama Syaamil Quran. Sebelumnya, usaha rintisan mereka bernama Asy Syaamil, yang menerbitkan buletin Jumat dan buku keislaman. Pada 1997, mereka juga menerbitkan novel-novel islami karya penulis dari Forum Lingkar Pena seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Muthmainnah.

Pada sekitar 2000, para pendiri Syaamil Quran yang juga aktivis Islam itu melihat kebanyakan Al-Quran yang beredar terbitan Timur Tengah dengan ukuran besar. Karena itu, pada 2005-2006, mereka meluncurkan Al-Quran mini dengan kertas A7 yang berukuran 7,4 x 10,5 sentimeter, sedikit lebih besar dari kartu tanda penduduk. “Format ini aslinya Al-Quran Syiria, kemudian menjadi pionir di Indonesia,” ucap Benny Triandi Djajadi.

Pegawai memindai aplikasi di lembar Al Quran di pusat percetakan Syaamil Quran, Bandung, Jawa Barat, 12 April 2022. TEMPO/Prima

Ciri utama format itu adalah bacaan Al-Quran diapit terjemahan di sisi kanan dan kiri. Terjemahannya, kata Benny, berbeda dengan versi Kementerian Agama, yang kala itu mengikuti format percetakan Arab Saudi. Al-Quran model baru dengan jaket kulit dan ritsleting itu pun booming. “Terutama di kalangan aktivis Islam karena mudah dibawa dan dibaca di mana saja,” ujarnya. Kertas yang dipakai hampir sama dengan Al-Quran cetakan Arab Saudi, yang menjadi pusat pencetakan Al-Quran di dunia.

Pembuatan Al-Quran itu dilakukan secara manual pada 2006, dibantu komputer dan perangkat lunak seperti CorelDRAW. “Dulu untuk khatnya kita scan dari Al-Quran Syiria, kemudian didesain di komputer, sekali nge-save itu file-nya berat,” ucap Agus Wibowo, yang kini menjadi Manajer Marketing Communication & Funnelling Syaamil Group. Pada 2010-2011, huruf-hurufnya mulai dialihkan ke bentuk vektor. Melibatkan 40 orang lebih, pencetakannya waktu itu dilakukan di berbagai kota, dari Jakarta hingga Solo, Jawa Tengah. 

Pembuatan Al-Quran mini dengan terjemahan itu punya banyak latar belakang. “Bisnis ada juga, semangat keislaman, lebih simpel, praktis dibawa, waktu itu belum ada Al-Quran pakai ritsleting,” tutur Benny. Adapun Kitab Suci buatan Timur Tengah biasanya tampil dengan sampul hitam bertulisan “Al-Quran” dalam huruf Arab.

Produk kitab suci Syaamil Quran, menurut Benny, telah ditashih atau diperiksa kebenarannya oleh Kementerian Agama. Jaminan tashih lain didapatkan dari Kementerian Dalam Negeri Malaysia dan Pusat Dakwah Islam Brunei Darussalam untuk mushaf Al-Quran yang diterbitkan dengan jangkauan distribusi seluruh Indonesia dan Asia Tenggara.

Selain di Indonesia, Al-Quran dari Bandung itu digandrungi di Malaysia meskipun terjemahannya berbahasa Indonesia. “Karena perkembangan permintaannya cukup besar, akhirnya pemerintah Malaysia melarang Al-Quran ini sampai di Malaysia sampai sekarang,” kata Benny. Larangan itu berlaku di jalur masuk via darat, laut, ataupun udara. 

Benny mengaku pernah beberapa kali diinterogasi petugas Malaysia sebelum dilepas karena kedapatan membawa Al-Quran buatan Syaamil Quran. Menurut dia, alasan pelarangan itu bermacam-macam. “Yang paling kentara masalah gengsi,” tuturnya. Setelah pelarangan itu, Benny menambahkan, Malaysia membuat Al-Quran sendiri pada awal 2006.

Pelarangan itu membuat Al-Quran produksi Syaamil Quran menjadi barang ilegal di negeri jiran tersebut. Meski begitu, ada juga Al-Quran buatan Syaamil Quran yang beredar secara resmi hasil kerja sama dengan penerbit di Malaysia. Selain itu, di mancanegara, produknya tersebar di Singapura, Brunei Darussalam, Korea Selatan, Hong Kong, dan Amerika Serikat.

Selama ini tantangan besar dalam usaha penerbitan Al-Quran itu terkait dengan quality control. Kesalahan yang tidak disengaja pada mesin pun bisa berakibat fatal. Misalnya kitab terkena cipratan tinta atau nihil tanda baca. “Mesinnya juga harus betul-betul disucikan,” ujar Benny. 

Pegawai Penerbit Menara Kudus menulis tangan huruf Arab yang akan dialih digital, Kudus, Jawa Tengah, 27 April 2022. Tempo/Jamal A Nashr

Menurut General Manager Marketing Syaamil Group Apud Saefudin, ada 20 lapis pengontrolan kualitas dari pracetak secara menyeluruh, seperti desain dan tata letak, hingga contoh setelah dicetak. Kesalahan cetak, kata dia, tergolong jarang ditemukan. “Banyaknya kesalahan seperti lipatan kertas yang sifatnya teknis produksi banget, atau tintanya tipis,” ucapnya. Pihaknya siap menampung keluhan mengenai kesalahan seperti itu dari konsumen dan menukar produknya dengan Al-Quran baru. Produk yang tidak layak kemudian wajib dimusnahkan dan tidak dijual ke tukang barang rongsok. 

Adapun semua komponen dalam pembuatan Al-Quran, seperti kertas, benang, dan lem, sudah mengantongi sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia. Semua bahan dipasok oleh vendor lokal. Untuk kertas, misalnya, penerbit menggunakan Qur’an Pulp and Paper buatan PT Sinar Mas.

Kini Syaamil Quran juga tengah merintis lingkungan kerja di pabrik yang sesuci masjid secara bertahap. Upaya ini dimulai dari sebuah ruangan besar di sisi kanan pintu masuk yang berisi jejeran mesin cetak, tempat pekerjanya harus melepaskan alas kaki.

Selama ini Syaamil Quran tidak ikut mencetak Al-Quran berhuruf Braille karena pembuatannya khas. Permintaan yang masuk akan dilimpahkan ke tempat lain. Alasannya, menurut Benny, antara lain terkait dengan standar produksi yang jauh lebih ketat. “Kita tidak bisa mengawasi isinya, kecuali ada orang yang mahir atau difabel netra,” tuturnya.

Jalur produksi Al-Quran dimulai dari bagian riset dan pengembangan yang membuat konsep berdasarkan kebutuhan masyarakat. Targetnya: semua orang makin dekat dengan Al-Quran, dari anak-anak hingga orang tua. Beberapa keinginan konsumen, seperti Al-Quran berteknologi, selaras dengan fashion. Sentuhan digital itu antara lain diberikan lewat kode respons cepat (QR code) pada lembaran kertasnya. Ketika kertas dipindai, muncul suara yang menjelaskan topik tertentu, seperti amalan. Ada juga video One Minute Booster yang berisi ceramah singkat sebagai fitur tambahan.

Biasanya, dalam acara pameran buku seperti di Bandung dan Jakarta, Syaamil Quran meraih gelar juara desain cover terbaik. Ke depan, penerbitan akan dikembangkan dengan mendekatkan banyak orang pada Al-Quran, misalnya lewat program wakaf serta belajar membaca, menulis, dan menghafal.

•••

LAIN Syaamil Quran, lain Menara Kudus, salah satu perusahaan percetakan dan penerbitan Al-Quran yang cukup tua dan legendaris di Tanah Air. Saat Tempo berkunjung ke penerbit yang beralamat di Jalan Besito Nomor 35, Bakalan Krapyak, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, itu pada akhir April lalu, seorang karyawannya tengah menulis tangan tulisan Arab di secarik kertas. Menggunakan handam, alat tulis dari batang rotan, satu per satu huruf hijaiah terlahir dari tangannya. Berulang kali dia mencelupkan handam dalam tinta dan kembali menulis. Penulisan secara manual itu mengawali penerbitan Al-Quran dan berbagai kitab lain di Menara Kudus.

Proses pencetakan Al-Quran dan berbagai kitab di Penerbit Menara Kudus, Kudus, Jawa Tengah, 27 April 2022. Tempo/Jamal A. Nashr

Penulisan secara manual satu Al-Quran utuh di Menara Kudus memakan waktu dua tahun. Tulisan tangan itu kemudian dikoreksi dalam waktu yang tak kalah lama: lima tahun. "Total bisa sampai tujuh tahun," kata Direktur Penerbit Menara Kudus Ahmad Fatoni pada Rabu, 27 April lalu. Dia bercerita, dalam penulisan, pernah suatu ketika penulisnya meninggal hingga harus digantikan orang lain.

Kini ada tiga tipe tulisan tangan Al-Quran yang diterbitkan Menara Kudus. Setiap tipe diterbitkan dalam berbagai jenis dan ukuran. Seiring dengan perkembangan teknologi komputer, Menara Kudus juga menerbitkan Al-Quran yang ditulis dengan mesin tik komputer.  

Setelah penulisan rampung, lembaran tulisan Arab itu kemudian dialihkan ke bentuk digital. Dalam bentuk digital, tulisan itu kemudian diperbaiki, dirapikan, dan ditata letaknya. Proses selanjutnya adalah pembuatan film dan pelat cetak. Dalam setiap tahap tersebut, file tulisan melewati proses koreksi untuk memastikan akurasinya. Begitu juga ketika tulisan naik cetak. 

Pada cetakan pertama, hasilnya akan dicek oleh korektor. Proses quality control ini bisa berlangsung selama satu jam. Selama proses koreksi, pencetakan dihentikan untuk menunggu hasil pengecekan. Setelah dipastikan tak ada kesalahan, pencetakan dimulai lagi. Cetakan dalam lembaran kertas lebar itu kemudian dilipat dan dijilid. "Itu harga yang harus dibayar Menara Kudus untuk bisa menciptakan produk yang bisa dipercaya masyarakat," ujarnya.

Fatoni mengisahkan, Penerbit Menara Kudus didirikan oleh orang tuanya, Zainuri Nor, pada 1952. Pada awal pendirian, percetakan bermarkas di sekitar Masjid Menara Kudus, tepatnya di Jalan Menara Nomor 4. "Awalnya percetakan biasa mencetak bungkus rokok, jamu, paper, dan lainnya," tuturnya. 

Zainuri, yang mengenal banyak kiai, diberi saran menerbitkan Al-Quran. Saran itu antara lain disampaikan Kiai Arwani, pendiri Pondok Pesantren Yanbu'ul Quran. Kiai Arwani juga memberikan satu Al-Quran sebagai referensi. Setiap akhir halaman mushaf itu selalu tepat pada ujung ayat, yang dikenal sebagai Al-Quran ayat pojok atau bahriyya yang dikhususkan bagi para penghafal Al-Quran. Al-Quran ayat pojok kemudian menjadi ciri khas Penerbit Menara Kudus.

Pengecakan keakuratan penulisan huruf Al-Quran oleh pegawai Penerbit Menara Kudus, di Kudus, Jawa Tengah, 27 April 2022. Tempo/Jamal A. Nashr

Seiring dengan waktu, Al-Quran dan kitab lain terbitan Menara Kudus makin dikenal di kalangan kiai dan pondok pesantren. Jaringan itu mempertemukan Menara Kudus dengan Kiai Bisri Mustofa, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kiai Bisri kemudian menyerahkan Kitab Tafsir Al-Ibriz tulisannya untuk diterbitkan Menara Kudus.

Menara Kudus juga menerbitkan kitab-kitab klasik yang masyhur di kalangan pesantren, seperti Fathul Muin, Fathul Qorib, dan Alfiyah. "Kemudian para kiai mengenal Percetakan Menara Kudus sebagai satu-satunya percetakan yang mengkhususkan diri pada Al-Quran dan kitab," ucap Manajer Percetakan Menara Kudus Alexander Yusuf.

Lantaran produksi terus meningkat dan kapasitas mesin percetakan di Jalan Menara tak bisa lagi menampungnya, penerbit itu pindah ke Kecamatan Jember, Kudus, pada 1980-an. Menara Kudus kemudian pindah lagi ke Bakalan Krapyak pada 1990-an. "Jalan Menara Nomor 4 sekarang dipakai untuk Toko Buku Menara Kudus," kata Alexander.

Alex mengungkapkan, Menara Kudus kini menerbitkan sekitar 600 judul dan berbagai jenis produk. Dari total terbitan itu, sepuluh persen atau sekitar 60 cetakan merupakan Al-Quran. Menurut dia, Menara Kudus mampu mencetak 3.000-10.000 Al-Quran, kitab, dan buku per bulan. Permintaan akan Al-Quran biasanya meningkat menjelang Ramadan dan tahun ajaran baru madrasah.

Selama ini sebagian besar Al-Quran dan kitab cetakan Menara Kudus terserap pasar. Apalagi Menara Kudus mencetak produk berdasarkan permintaan pasar. Karena itu, tak banyak produk yang tak terjual. "Semua dasarnya sudah ada permintaan pasar," ujarnya. "Permintaan pasar kami rekap dan ajukan produksi."

Menurut Ahmad Fatoni, selama ini penjualan produk Menara Kudus cenderung konsisten. Penurunan sempat terjadi ketika masa pandemi Covid-19 mencapai puncak pada tahun lalu. Ketika itu pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Angka penjualan Menara Kudus menurun lantaran banyak toko buku, sekolah, dan pondok pesantren tutup.

Fatoni mengatakan pasar utama produk Menara Kudus adalah pondok pesantren dan madrasah. Dia menyebutkan tak terlalu mengandalkan promosi. Salah satu media promosi Menara Kudus adalah kalender. Namun cara promosi utama mereka adalah dari mulut ke mulut melalui jaringan pesantren.

Adapun promosi yang paling mangkus, menurut Fatoni, adalah endorsement dari para kiai. Apalagi Menara Kudus berkiprah dalam penerbitan Al-Quran dan kitab atas saran para kiai. Ketika seorang kiai memakai atau menyarankan produk Menara Kudus, santrinya akan langsung mengikuti. "Endorse produk Menara oleh kiai menjadi salah satu titik promosi yang paling ampuh karena rata-rata murid sami'na wa'atona sama kiai," katanya.

Menurut Fatoni, awalnya segmen pasar produk Menara Kudus adalah kalangan menengah ke bawah. Kini, untuk menjaring semua kalangan, Menara Kudus mulai menerbitkan Al-Quran dan kitab dengan kualitas cetakan lebih tinggi. "Pada awalnya kami membidik menengah ke bawah, untuk murid di madrasah dan pondok. Seiring dengan waktu, kami mulai membidik kalangan menengah ke atas," tuturnya.

Sementara itu, Alexander Yusuf menyebutkan, keberadaan aplikasi Al-Quran di ponsel pintar tak menggerus pasar Menara Kudus. Apalagi selama ini aplikasi digunakan hanya dalam kondisi tertentu yang tak memungkinkan orang membawa Al-Quran cetak. "Kami tak melihat Al-Quran digital menjadi pesaing kami," ucapnya. 

JAMAL A. NASHR (KUDUS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus