Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Penunggang Angin di Balik Beringin

Karier politik Priyo Budi Santoso melesat karena cekatan membaca situasi. Merintis dari juru tulis Harmoko.

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Priyo Budi Santoso mulai terkenal ketika dengan lantang ia menginterupsi Presiden Abdurrahman Wahid dalam sidang interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat, 20 Juli 2000. "Saudara Presiden jangan petantang-petenteng," kata anggota Fraksi Golkar ini. Pernyataannya disambut tepuk tangan politikus penentang Gus Dur, yang mayoritas mengisi kursi parlemen.

Ketika itu, hubungan politik Istana Negara dan Senayan menegang. Penyebabnya, Gus Dur memecat politikus PDI Perjuangan, Laksamana Sukardi, dari kursi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, serta politikus Golkar, Jusuf Kalla, dari kursi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Pelbagai manuver dilancarkan para politikus, termasuk membawa kasus dugaan keterlibatan Gus Dur dalam korupsi Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog senilai Rp 35 miliar ke wilayah politik.

Nama Priyo pun melambung karena interupsinya. Ketika itu, ia sebenarnya telah menjadi anggota Dewan selama tiga tahun. Ia masuk Dewan dari Golkar hasil Pemilihan Umum 1997 dan menjadi politikus paling muda di Senayan, 30 tahun.

Karier politik orang Trenggalek, Jawa Timur, ini dirintis dengan menjadi juru tulis pidato Ketua Umum Golkar Harmoko. Perkenalannya dengan elite partai penguasa Orde Baru itu terbuhul ketika ia menjadi peneliti di Center for Information and Development Studies (CIDES), yang didirikan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. "Dia datang kepada saya bersama rombongan aktivis kampus lain," ujar Adi Sasono, tokoh ICMI pendiri CIDES, pekan lalu.

Sebelum masuk CIDES, Priyo aktif sebagai peneliti di Lembaga Studi Pembangunan Jakarta, yang juga didirikan Adi Sasono. Waktu itu, pada 1992, Priyo baru lulus dari Fakultas Ilmu Politik Universitas Ga­djah Mada. Jejaring sesama aktivis kampus membawanya bertemu dengan Adi.

Di CIDES, pergaulannya tambah luas karena ada diskusi rutin membicarakan situasi politik dalam dan luar negeri yang dihadiri menteri atau para ahli. ICMI, yang dipimpin Wakil Presiden B.J. Habibie, praktis dihuni tokoh-tokoh Golkar, penguasa tunggal Orde Baru. Dari situlah Priyo masuk partai ini dengan bergabung sebagai penulis pidato Harmoko.

Pemilihan Umum 1997 membawanya ke kursi parlemen. Setelah huru-hara politik 1998 dengan lengsernya Soeharto yang digantikan Habibie, Priyo terpilih lagi menjadi anggota DPR dalam pemilihan umum yang dipercepat, pada 1999. Kariernya kian mencorong di parlemen dengan sering bersuara nyaring dalam debat-debat politik dan gerakan parlemen anti-Gus Dur. "Dia politikus yang pintar membaca situasi," kata Yasril Ananta Baharuddin, politikus Golkar.

Salah satu kelihaian Priyo membaca situasi adalah sikapnya yang berubah sesuai dengan angin politik. Setelah menghardik Gus Dur di sidang interpelasi, ia disindir koleganya sebagai anggota KISS—ke istana sendiri-sendiri. Ini karena Priyo datang ke Istana Negara bertemu dengan Presiden Abdurrahman, lalu menyatakan dukungan dan tak setuju pemakzulan. Namun, ketika arus deras politik menginginkan Gus Dur lengser menyusul dugaan korupsi Bulog, Priyo juga bergabung dalam barisan itu.

Kelihaian membaca situasi politiklah, menurut Yasril, yang membuat Priyo selalu jadi orang kepercayaan siapa pun pemimpin Golkar. Contohnya, dalam putaran kedua pemilihan presiden 2004, Priyo menentang keputusan Akbar Tandjung yang menyatakan Golkar mendukung pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Pada putaran pertama, calon Golkar, yaitu Wiranto-Salahuddin Wahid, hanya ada di urutan ketiga perolehan suara.

Ketika itu, Priyo bersama beberapa pentolan Golkar menyeberang ke rival pasangan Megawati-Hasyim, yakni Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Ia tak hirau terhadap ancaman Akbar Tandjung yang akan memecat atau menarik dari DPR kader Golkar yang menentang keputusan itu. "Konflik itu soal selisih pendapat saja," ujar Irsyad Sudiro, tokoh senior Golkar.

Masalahnya, secara terang-terangan Priyo menggerakkan Angkatan Muda Partai Golkar dengan menyatakan menolak bergabung dengan Koalisi Kebangsaan, gabungan partai pendukung Megawati-Hasyim. Ia disokong tokoh senior Golkar yang sakit hati karena menilai Akbar tak sepenuh hati mendukung Wiranto, rivalnya dalam konvensi penjaringan calon presiden dari partai itu.

Pilihan Priyo itu terbukti tepat. Yudhoyono-Kalla memenangi putaran kedua pemilihan presiden. Posisi Priyo di DPR pun kian kukuh, bahkan naik menjadi ketua fraksi pada 2006, setelah Jusuf Kalla menggeser Akbar dari pucuk pimpinan Golkar. Ia juga masuk pengurus inti partai berlambang pohon beringin ini.

Perpecahan dengan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden 2009, yang membuat posisi Jusuf Kalla di Golkar terdongkel, tak bikin Priyo goyah. Kariernya bahkan kian moncer menjadi Wakil Ketua DPR dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Golkar dalam kepengurusan yang dipimpin Aburizal Bakrie. "Sejak musyawarah nasional partai di Pekanbaru, dia mendukung Ical," kata Irsyad.

Menurut Irsyad, kedekatan Priyo dengan pucuk pimpinan Golkar itulah yang membuat kariernya moncer. Ia menyingkirkan beberapa tokoh senior Golkar yang berebut kursi ketua fraksi ataupun Wakil Ketua DPR. Saat partainya mendapat porsi pimpinan DPR, Priyo menyingkirkan senior-seniornya, seperti Enggartiasto Lukito dan Airlangga Hartarto.

Irsyad tahu persis bagaimana karier politik Priyo karena ia seniornya di Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong. Di organisasi inilah Priyo memelihara sokongan politik dari pimpinan partai dengan memelihara dukungan massa. "Dia pandai menjalin komunikasi ke atas dan ke bawah," ujar Irsyad.

Priyo menjadi Ketua MKGR pada 2005-2010, kemudian terpilih kembali untuk periode lima tahun berikutnya. Ia dikelilingi orang dekat seperti Fahd El Fouz, Dendy Prasetia, dan Zulkarnaen Djabar. Kini mereka dihukum karena tersangkut kasus korupsi. Fahd bahkan menyebut Priyo kecipratan uang sogoknya untuk memuluskan anggaran di Kementerian Agama.

Tim di belakang Priyo inilah, menurut Yasril Ananta Baharuddin, yang membuat jabatannya langgeng. Jika tim pendukungnya tak cocok dengan situasi politik, kata Yasril, koleganya itu tak segan meninggalkan timnya dan membentuk tim baru. "Politikus yang ulet itu seperti itu, memakai berbagai cara untuk mencapai tujuan," katanya.

Menurut Yasril, berpolitik seperti itu memerlukan modal yang tak sedikit. Membentuk dan memelihara tim pendukung mesti disokong duit banyak. "Seperti pemilu, kan perlu uang untuk makan dan minum," ujarnya. Meski enggan menanggapi kasus korupsinya, Yasril menilai semestinya Priyo tahu yang dilakukan anak buahnya dalam bermain anggaran.

Bagja Hidayat, Sundari Sujiono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus