Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Cupang-cupang Penghasil Uang

Kota Kediri menjadi sentra produksi ikan cupang hias nasional. Setiap tahun transaksinya mencapai Rp 12 miliar.

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan akuarium yang masing-masing berisi seekor ikan cupang beragam jenis berjajar apik di atas sebuah meja di Gedung Nasional Indonesia, Kota Kediri. Ikan-ikan mungil itu berenang ke sana-kemari, meliuk, melesat, dan menari-nari menarik perhatian para penonton dalam Kontes Ikan Cupang Nasional Kediri Cup 2013, Ahad dua pekan lalu. Kegiatan ini digelar Bidang Perikanan Dinas Pertanian Kota Kediri, Kediri Betta Splendens, dan Asosiasi Betta Indonesia bertepatan dengan peringatan hari jadi Kota Kediri ke-1134.

"Kontes ini diikuti 500 ekor cupang dari berbagai jenis," kata Medi Eka Prasetya, ketua panitia kontes sekaligus anggota dewan juri, kepada Tempo. Ada empat jenis cupang ikut dalam kontes tersebut, yakni cupang plakat, giant, halfmoon, dan serit (cupang lokal). Meski hanya empat jenis, pengelompokan penilaiannya dibagi menjadi 48 kelas.

Seleksinya berlangsung ketat karena ada terlalu banyak varian cupang dalam satu jenis. Misalnya cupang jenis halfmoon harus dipisahkan lagi ke beberapa kelas berdasarkan gelap-terang warna tubuhnya. Halfmoon gelap tak bisa diadu dengan yang berbadan terang.

Varian cupang ini, menurut Medi, terus berkembang. Para peternak rajin menyilang-nyilangkan demi mendapatkan varian baru. Karena itu, tak mengherankan bila setiap penyelenggaraan kontes selalu diwarnai kehadiran cupang jenis baru yang dikembangkan para penghobi. "Setiap tahun kualitas ikan cupang terus meningkat," ujar Medi.

Tiap jenis cupang memiliki karakteristik bentuk tubuh berbeda. Kesempurnaan anatominya menjadi penilaian juri. Kelincahan dan keaktifan juga dinilai. "Jadi bukan kontes aduan," kata Medi. Ikan cupang memang dikenal agresivitasnya sehingga kerap jadi ikan aduan.

Cupang serit, misalnya, dipilih dan diseleksi berdasarkan kemampuannya membuka ekor menyerupai kipas. Semakin ekornya melebar, jumlah poin yang dikumpulkan pun semakin banyak. Tak cukup itu, kerapian ekor juga diperhatikan. Sebab, tak jarang ekor tersebut memiliki ruas tak sama panjang meski mampu membuka cukup lebar. Yang terakhir adalah penilaian ketebalan tulang. Cupang bertulang tebal dan ekor membuka sangat lebar dengan ruas rancak dipastikan memenangi kelas serit.

Penilaiannya hampir sama untuk jenis halfmoon, yang juga mendasarkan pada bentuk ekor. Untuk jenis plakat dinilai dari ekornya yang pendek dan tubuh yang kekar. Sedangkan untuk giant yang lebih bernilai adalah yang ukuran tubuhnya besar. "Semakin besar dan indah semakin baik," ucap Medi. Normalnya panjang cupang giant 10-15 sentimeter.

Henry Sutrisno, penghobi cupang dari Jakarta Barat, meraih gelar juara umum dalam kontes tersebut. Henry mengatakan kontes-kontes seperti ini menjadi motor bagi petani menaikkan harga jual hasil tangkarannya. "Cupang biasa disebut kelas partai, tapi kalau sudah ikut kontes SQ (standard quality)-nya naik. Semakin sering kontes, penghasilan petani bertambah," kata Henry, yang kerap menjuarai kontes cupang tingkat nasional. Pada 28 Mei-2 Juni lalu, cupang-cupang koleksinya mengikuti kejuaraan cupang internasional, Aquarama, di Singapura.

Dalam beberapa tahun terakhir kontes cupang rutin diadakan di Kota Kediri. Lomba semacam ini turut mendongkrak nilai ekonomi cupang hias. Medi mencontohkan, harga cupang serit yang hanya Rp 50 ribu di gerai ikan hias bisa melejit hingga jutaan rupiah setelah mengikuti kontes. "Pernah satu ekor dihargai ribuan dolar saking antiknya," ujar Henry.

Maraknya kontes ini, menurut Medi, menjadi tolok ukur perkembangan budi daya cupang di Tanah Air. Indonesia diakui Asia, bahkan dunia, sebagai sentra budi daya cupang. Pusat cupang Indonesia adalah Kota Kediri. Ikan mungil ini telah menjadi penopang kehidupan bagi warga daerah itu. Tak jarang budi daya ikan cupang menjadi bisnis inti keluarga. Rata-rata setiap rumah pembudi daya memiliki lebih dari dua kolam ikan, bahkan sampai sepuluh kolam.

Kepala Seksi Pembibitan Pengembangan Budi Daya Perikanan Dinas Pertanian Bidang Perikanan Kota Kediri Budi Hartoto mencatat, volume produksi ikan cupang di Kota Kediri yang dijual ke luar kota sekitar lima juta ekor untuk jenis cupang besar. Yang ukuran kecil hampir 39 juta ekor. Pesanan selalu ada dari berbagai kota, seperti Solo, Semarang, Surabaya, Malang, dan Jakarta, bahkan sampai mancanegara. Ikan-ikan itu diproduksi para peternak di empat sentra cupang, yaitu Kelurahan Pesantren, Ketami, Jamsaren, dan Tempurejo. "Belum ada data resmi jumlah pembudi daya," kata Budi.

Ikan-ikan cupang ini benar-benar penghasil uang. Setiap tahun nilai penjualannya mencapai Rp 12 miliar. Dari segelintir penghobi ikan di Kediri, Medi salah satu pelopor budi daya cupang yang cukup berpengaruh. Di usianya yang baru 37 tahun, bapak satu anak ini merekrut belasan warga sebagai penangkar dan peternak ikan cupang di Kelurahan Pesantren. Sebanyak 2.100 ekor per hari dikirimnya ke Medan, Pekanbaru, Tarakan, Makassar, Banjarmasin, dan Samarinda.

Prasetyo, warga Kelurahan Pesantren, mengatakan menggantungkan hidup dari budi daya cupang sejak satu tahun terakhir. Tugasnya membesarkan benih berumur dua bulan sebelum dijual ke pasar. Dalam ruangan seluas 3 x 4 meter di rumahnya, Prasetyo memiliki 2.300-an sarang cupang. Ikan-ikan itu lantas dijual ke pengepul atau ketua kelompok seharga Rp 1,2 juta per seribu ekor. Dikurangi pakan, kamar kecil Prasetyo telah menjadi sumber nafkahnya sebesar rata-rata Rp 2,5 juta per bulan. "Jauh dari gaji saya di toko," kata bekas penjaga toko kelontong itu.

Medi berharap pemerintah membantu pemasaran ikan cupang. Selama ini para peternak kesulitan dalam pengiriman ikan melalui jasa ekspedisi. Tak satu pun jasa pengiriman barang mau mengantarkan ikan cupang karena harus diangkut dalam air sehingga para peternak mesti berusaha sendiri. "Pemerintah seharusnya bisa mengeluarkan surat karantina agar kami bisa memperoleh kemudahan mengirim lewat ekspedisi," ucap Medi.

Agus Supriyanto, Hari Tri Wasono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus