Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Amerika Serikat menggunakan konsep justice collaborator sejak 1970.
Indonesia mengadopsi mekanisme kolaborator lewat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
Menjadi tonggak sejarah baru hukum di Indonesia.
SEBUAH putusan hukum semestinya mencerminkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, seperti tertuang dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, seorang penegak hukum tidak teralienasi dari lingkungan, termasuk dari perkembangan-perkembangan baru dalam hukum. Salah satu hal baru adalah justice collaborator atau saksi pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam pengungkapan kasus.
Baru saja kita disuguhkan rangkaian persidangan perkara pidana seorang justice collaborator. Richard Eliezer menjadi kolaborator penegak hukum dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat. Keduanya adalah ajudan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsep justice collaborator muncul di Amerika Serikat pada sekitar 1970-an. Indonesia menyerapnya dan mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Meski sudah lama ada, penerapannya tidak terlalu sering dilakukan para penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga justice collaborator menjadi bagian yang signifikan dari hukum acara pidana yang memungkinkan sebuah kasus besar terungkap karena keterangan pelakunya. Meski begitu, konsep ini masih sering menimbulkan tafsir keliru. Ada yang menafsirkan justice collaborator tidak berlaku bagi jenis pidana tertentu, seperti pembunuhan.
Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan vonis paling ringan bagi Richard Eliezer membuat terang posisi kolaborator. Hakim membuat terang kalimat “dan tindak pidana lainnya” dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Dengan begitu, kolaborator berlaku untuk semua tindak pidana, termasuk pembunuhan.
Selain justice collaborator, ada pula konsep hukum lain yang lekat dengan perkara pidana, yang hanya dikenal dalam sistem common law (berbeda dengan Indonesia yang menganut civil law), yaitu amicus curiae atau sahabat peradilan.
Amicus curiae merupakan perkembangan tersendiri dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Ia juga menjadi cermin rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang bisa mempengaruhi pertimbangan hukum para hakim. Vonis Richard Eliezer menjadi bukti baru perkembangan amicus curiae.
Meski amicus curiae tidak bisa diklaim sebagai pendapat dan aspirasi semua warga Indonesia, keberadaannya telah membantu majelis hakim menyerap dan mengkonkretkan “perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat” dalam undang-undang yang abstrak.
Pelajaran menarik lain dari vonis Richard Eliezer adalah penerapan keadilan restoratif atau restorative justice. Konsep yang digagas Profesor Satjipto Rahardjo (1930-2010), guru besar hukum Universitas Diponegoro, Semarang, ini dalam sebuah perkara bisa muncul karena kesadaran para pihak yang terlibat.
Dalam kasus pembunuhan Yosua, tidak seperti kasus lain ketika keluarga korban dan pelaku bersitegang, di sini kedua keluarga terlihat mesra. Mereka menerima perbuatan pidana tetap diadili dan tak menimbulkan akibat ikutan lain.
Majelis hakim, di sisi lain, telah mencuri perhatian dan empati publik dengan menunjukkan bahwa peradilan Indonesia masih bisa melahirkan putusan-putusan yang independen. Majelis hakim telah melakukan terobosan mental yang melewati batas normatif dengan mengkonvergensikan (mengawinkan) aspek yuridis normatif dan kemampuan menyerap rasa keadilan masyarakat.
Koridor konvensional yang “mengharuskan” majelis hakim membuat vonis separuh (50 persen) lebih satu-dua tahun dari hukuman terberat dilewati dengan baik melalui pertimbangan-pertimbangan normatif ataupun logis. Majelis hakim telah memisah dan memilih siapa pelaku dan siapa yang bertanggung jawab secara yuridis dalam pembunuhan berencana Yosua Hutabarat.
Majelis hakim telah merumuskan pertimbangan hukum yang menggambarkan pola relasi yang tidak seimbang dan menekan di antara para pelaku pembunuhan. Relasi seorang jenderal bintang dua dengan prajurit pangkat terendah adalah relasi yang tak sepadan sehingga setiap perkataan sang Jenderal selalu menjadi "perintah”.
Meski tak sepenuhnya didasari konsep tentang “menjalankan perintah jabatan yang tak dipidana” yang dianut hukum pidana (Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), tampak dengan jelas nilai-nilai ini menjadi dasar pertimbangan yang hakiki. Karena itu, majelis tetap menghukum Richard Eliezer meski menjadi justice collaborator. Semoga putusan ini menjadi tonggak baru sejarah peradilan Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo