Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kelompok rentan sulit mengakses vaksinasi Covid-19.
Persoalan data diri dan stigma masyarakat membayangi mereka.
Para relawan membangun sentra vaksinasi untuk mereka.
DOKTER Jacoba Nugrahaningtyas Wahjuning Utami berkali-kali meminta 35 pekerja seks dari lokalisasi Bong Suwung, Yogyakarta, beristirahat dulu sebelum menerima suntikan vaksin Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal September lalu itu, Tyas—sapaan akrab dokter ini—hendak memvaksin mereka, tapi ia tak bisa segera melakukannya karena, antara lain, tekanan darah mereka di atas 180/110 milimeter merkuri (mmHG), batas aman vaksinasi. “Saya minta mereka istirahat dulu barang 30 menit, baru cek ulang apakah tekanan darah turun atau tidak,” kata dokter yang aktif di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) ini pada awal Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tyas, ada dua kemungkinan penyebab tekanan darah mereka di atas ambang batas. Pertama adalah konsumsi alkohol. Kedua, yang paling kuat, mereka datang dalam kondisi kurang istirahat karena mesti mencari nafkah sepanjang malam.
Tyas mengungkapkan, tidak mudah untuk sekadar membujuk mereka beristirahat sejenak karena banyak yang ingin cepat-cepat menerima suntikan vaksin. Selama ini mereka memang sulit mengakses layanan vaksinasi Covid-19. Begitu ada peluang, antusiasme mereka sangat tinggi.
Pekerja seks merupakan salah satu kelompok rentan yang susah mengakses vaksinasi Covid-19. Selain mereka, ada kaum marginal, seperti pemulung, anak jalanan, transpuan, penyandang disabilitas, serta masyarakat yang tinggal di bantaran kali. Persoalan yang sering dihadapi mereka adalah tiadanya kartu identitas resmi, seperti kartu tanda penduduk atau kartu keluarga.
Para pekerja seks di kawasan Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, berasal dari luar Yogyakarta dan tidak memiliki KTP sehingga tak bisa mengakses layanan kesehatan, termasuk vaksinasi. Padahal mereka rentan terinfeksi Covid-19 karena kerap berpindah-pindah lokasi untuk menyambung hidup lantaran kawasan Parangkusumo sepi pengunjung.
Ketua Paguyuban Teratai Samodra Parangkusumo, Anik Epasini, mengatakan ada 11 pekerja seks yang meninggal dengan gejala mirip Covid-19 selama masa pandemi. Itu sebabnya, dia melihat vaksinasi ini penting bagi kelompok rentan. Namun, Anik menuturkan, berbagai syarat formal membuat para pekerja sulit mendapatkan layanan kesehatan sehingga mereka lebih nyaman mengakses bantuan sosial ataupun vaksinasi melalui organisasi non-pemerintah. Anik mencontohkan upaya PKBI yang selama ini aktif mendampingi pekerja seks dalam hal kesehatan reproduksi.
Dokter Jacoba Nugrahaningtyas Wahjuning Utami saat memberika vaksin kepada orang lanjut usia di Yogyakarta, 21 Desember 2021. Dok Pribadi
Kerja-kerja kelompok relawanlah yang akhirnya bisa membuat kelompok rentan ini memperoleh vaksin Covid-19. Salah satu kelompok relawan di Yogyakarta yang mengupayakan hal itu adalah Sentra Vaksinasi untuk Warga, perhimpunan yang beranggotakan sejumlah organisasi, seperti PKBI DIY, Association of Resiliency Movement, Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, Alterasi, Masyarakat Peduli Media, dan Sambatan Jogja.
Selain memiliki persoalan identitas, kelompok rentan ini menghadapi sorotan tajam dan cibiran dari masyarakat jika harus divaksin di tempat umum. Sebagian transpuan, misalnya, merasa canggung datang ke pusat kesehatan masyarakat atau fasilitas pelayanan kesehatan lain karena stigma yang melekat pada mereka. Lewat Sentra untuk Vaksinasi Warga itulah para transpuan mendapat kemudahan akses.
Di sentra vaksinasi Covid-19 ini, mereka bahkan bisa mengurus data identitas di meja dinas kependudukan dan pencatatan sipil yang disiapkan panitia. Panitia mendatangkan pegawai dinas untuk membantu para peserta vaksinasi yang tak memiliki KTP. Mereka tinggal menunjukkan kartu vaksin dan mengisi formulir pendataan penduduk rentan. Formulir itu digunakan sebagai persyaratan untuk mengajukan permohonan pembuatan KTP. Untuk mendapatkan sertifikat vaksin, setiap orang harus memiliki nomor induk kependudukan.
Menurut dokter Tyas, tak sulit mengajak kelompok rentan mengikuti vaksinasi karena koalisi masyarakat sipil “menjemput bola” dengan mendata mereka dan mengandalkan jaringan antarlembaga. Bagi Tyas, menjadi vaksinator kelompok terpinggirkan adalah panggilan jiwa. Dia tak pernah risi berhubungan dengan mereka karena memeriksa kesehatan mereka merupakan bagian dari kesehariannya. “Relasi kami baik, jadi tidak canggung,” ucapnya.
Di klinik PKBI, Tyas biasa melayani pekerja seks dan transpuan yang memeriksakan kesehatan mereka. Pekerjaan Tyas berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Sepekan dua kali, dia menghabiskan waktunya di klinik ini.
Penggagas Sentra Vaksinasi untuk Warga, Budhi Hermanto, mengatakan panitia menunjuk Tyas sebagai koordinator tim kesehatan vaksinasi karena ia sudah teruji di klinik PKBI. Di klinik itu, Tyas bertugas sebagai dokter penanggung jawab. “Dokter Tyas memiliki interaksi yang baik dengan kelompok marginal pengakses layanan kesehatan klinik PKBI,” ujar Budhi.
Nia Viviawati, yang divaksin di sentra ini, mengatakan para pekerja seks lebih nyaman mengikuti vaksinasi di lokasi yang dikelola relawan. Keterbukaan tim dan vaksinator membuat mereka nyaman divaksin. Dia mengungkapkan, banyak pekerja seks yang khawatir ditolak karena masalah identitas mereka jika mendaftarkan diri di sejumlah sentra vaksinasi lain. “Tak semua orang bisa terima pekerjaan kami,” kata Ketua Komunitas Pekerja Seks Bong Suwung Arum Dalu ini.
Bagi Nia, sentra vaksinasi kelompok relawan membantu pekerja seks yang selama ini sulit mengakses vaksinasi Covid-19 di puskesmas. "PKBI bisa meyakinkan kami bahwa keselamatan adalah yang utama. Vaksin dulu sembari urus KTP."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo