Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Autobiography: Anatomi Kekuasaan dan Kekerasan yang Tak Tampak

Film Autobiography karya Makbul Mubarak memenangi First Film Award seksi Horizons Festival Film Venesia 2022. Mengulik anatomi kekerasan di negara.

18 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AUTOBIOGRAPHY adalah debut film panjang Makbul Mubarak. Film ini telah berkeliling di lab film festival-festival internasional sejak masa praproduksi dan tahun ini terpilih dalam sesi Horizon pada Festival Film Venesia 2022, 3 September 2022. Cerita film Autobiography soal anatomi kekerasan yang tak nampak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahdan, ayah Rakib menatap kamera secara close-up, sejenak tampak sukar menelan cerita anaknya. Rakib, di luar kamera (adegannya tak ada, kita hanya menyimpulkan), agaknya baru menceritakan kejadian yang ia alami dengan Pak Purna. Lalu, Ayah Rakib yang sedang dalam penjara menarik napas sedikit dan melemaskan wajahnya. "Ya, sudah," demikian nasihatnya, "dinikmati saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam adegan singkat itu, saya terpelatuk sebuah kenangan akan bagaimana kekuasaan bekerja semasa Orde Baru. Kekejaman dan otoritas berkelindan sebagai sebuah kebulatan dengan kepatuhan dan kepasrahan. Dinikmati saja, yang penting kita hidup dan sehat. Ini sebuah mantra rakyat kebanyakan dalam menatap dan mengalami mesin kekuasaan militer yang telengas selama rezim Soeharto.

Karena ini menyangkut nasib Rakib, tokoh muda, generasi kini, di film ini, terletik pula pertanyaan yang belakangan selalu muncul di media dan sosial media: apakah anatomi kekuasaan masa lalu sedang berulang?

Makbul Mubarak menulis dan menyutradarai kisah yang berlapis. Di permukaan, film ini menuturkan pertumbuhan hubungan Rakib (Kevin Ardilova) dan Purna (Arswendy Bening Swara).

Rakib anak muda yang tinggal sendiri menjaga vila di sebuah desa, milik Purna, seorang pensiunan jenderal yang masih berkiprah di politik. Tiba-tiba Purna datang dan begitu saja rutinitas baru harus dilakukan Rakib. Purna sang purnawirawan ingin berkampanye agar terpilih lagi menjadi bupati. Tema kampanyenya adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga air yang harus menggusur lahan penduduk setempat.  

Kevin Ardilova (kanan) berperan sebagai Rakib dalam sebuah adegan di film Autobiografi. Dok. KawanKawan

Perlahan-lahan lapis di bawah itu menyeruak. Tersusun gambaran sebuah anatomi kekuasaan yang menegangkan. Dari pilihan minum kopi atau teh, pakaian seragam bekas dari Purna untuk Rakib, hingga kemurkaan kalem sang jenderal pada perobekan spanduknya, tampak dinamika kuasa dan kepatuhan makin terasa dengan atmosfer kekerasan yang menggantung di ruang-ruang vila yang muram dan jalanan kampung.

Kekuasaan yang terbangun dari sebuah rezim militer merasuk ke dalam pengaturan sosial sehari-hari. Kekuasaan yang harus bulat, tak boleh terbagi, lonjong, atau rumpang. Kekuasaan ini menuntut kepatuhan dan kesetiaan bulat dalam keseharian ataupun dalam hal permintaan dadakan yang ekstrem dari sang jenderal purnawirawan. Kekuasaan ini memberi hadiah banyak bagi mereka yang setia tanpa syarat. Kekuasaan yang tegak lewat kata-kata “inspiratif” bagi yang setia dan ancaman kekerasan bagi yang menyempal.

Rakib sebagai sekadar penjaga vila secara alamiah nurut Purna dan tampak terpesona pada peningkatan status sosialnya sendiri ketika seakan-akan menjadi “anak angkat” Purna. Dalam pesona kuasa itu, Rakib berinisiatif mencari dan membawa perusak spanduk kepada Purna. Ia percaya betul pada kata mutiara Purna, “maaf bisa jadi hadiah”. Ketemu, akhirnya Agus (Yusuf Mahardika) sempat menyampaikan permohonan agar Pak Purna memperhatikan penggusuran rumah ibunya untuk PLTA. Pesona itu berubah menjadi teror ketika sebuah pintu tertutup dan kekerasan meledak di balik pintu.

Makbul cukup matang untuk membiarkan kekerasan itu tak tampak. Kita hanya menyaksikan jejak dan akibat-akibatnya. Justru, karena itu, kekerasan tersebut terabstraksi dan berkecamuk dalam imajinasi penonton. Kematangan itu juga tampak pada pengelolaan seni peran semua karakter dalam film ini, dialog dan adegan, penataan sinematografi, serta soundscape kampung yang kaya bahkan dalam kesunyiannya. Suara azan subuh bersahutan di kejauhan, misalnya, di samping sangat khas kampung di Jawa, menambah tekstur realisme bagi kekerasan kuasa dalam film ini. Setidaknya bagi saya, detail kecil ini memberi perasaan dekat pada cerita.

Perasaan dekat itu juga tumbuh dari kepercayaan kita pada seni peran yang tampil di sekujur film. Kevin dan Arswendy terasa hadir bukan sekadar boneka bagi dialog dan cerita. Dalam premiere dunia film ini di Festival Film Venice, 3 September 2022, Kevin mengungkap bahwa pandemi menunda dua tahun (dari 2019 hingga 2021) proses syuting. Hal ini memberi kesempatan adanya penulisan-ulang berulang kali, dengan partisipasi aktif para pemeran. Kata Makbul, itu kesempatannya agar setiap dialog mampu mengemban informasi adegan sekaligus bermakna sesuatu yang “lain”.

Dalam percakapan dengan saya, Makbul mengatakan ihwal peran Arswendy dan Gunawan Maryanto (main sedikit di sini, menjadi kuli yang hendak ngamuk—salah satu penampilan terakhirnya sebelum wafat). Arswendy memberi banyak masukan tentang karakter jenderal, karena rumahnya kebetulan dekat dengan kompleks militer. Banyak amatan Arswendy dari keseharian tetangganya menyumbang perbaikan dialog dalam naskah. Makbul antusias bercerita tentang Gunawan—dipanggil dengan sapaan akrab Cindhil—yang sangat membantu melatih pemeranan walau baru terlibat saat syuting hampir dimulai.

"Mas Cindhil itu punya pendekatan berbeda bagi setiap aktor," kata Makbul. Contohnya bawaan tubuh Yusuf Mahardika yang santai. Padahal, sebagai Agus, ia harus memasuki rumah Purna dalam ketegangan. Cindhil menyarankan Yusuf menggenggam batu di saku selama adegan. “Dan sangat membantu bahwa Mas Cindhil itu penyair,” kata Makbul. Cindhil mewanti-wanti bahwa Yusuf bukan “memegang” batu, melainkan “menggenggam” batu. Alangkah beda hasilnya, menurut Makbul.  

Kerja kamera dan penyuntingan pun selaras dan jitu dalam menatap dari dekat permainan kuasa dalam film ini. Wojciech Staron, sinematografer film ini, mendekatkan kamera kepada karakter dan ruang setiap adegan secara intim. Banyak close-up dan mid-length shot pada wajah yang meningkatkan tangkapan akan perubahan-perubahan kecil pada ekspresi dan gestur semua tokoh. Cahaya ditata redup, menegaskan ketuaan ruang vila dan sebuah atmosfer muram. Sebuah lukisan di dinding bergambar sang jenderal saat masih jadi pejabat menjadi penanda kenangan akan kekuasaan.

Autobiography

Suntingan Carlo Francisco Manatad, sutradara muda dari Filipina, menjaga tempo film agar merambat tapi tak lamban tak tergesa ingin menonjok-nonjok. Dia memilih menjalankan alur cerita secara perlahan agar mencengkeram perhatian kita. Paduan kamera yang intim dan derap yang tak terburu itu memberi waktu bagi kita, penonton, untuk meresapi dan ngeri secara layak pada kuasa absolut militeristik nan korup. Sebagai thriller, ia tak mengimbau pada adrenalin. Ia lebih mengimbau kecemasan akan keniscayaan maut yang berjingkat mendekat.

Naman Ramachandran dalam Variety menyebut film ini sebagai “morality thriller”. Makbul sendiri menyebutnya sebagai sebuah “investigasi emosional” terhadap hidup di bawah kekuasaan militer dan sesudahnya.

Film Autobiography ini telah berkeliling di lab film festival-festival internasional sejak masa praproduksi dan tahun ini terpilih dalam sesi Horizon pada Festival Film Venesia 2022. Kusala FIPRESCI, salah satu ajang penghargaan pendamping dari para jurnalis dan kritikus film internasional di Venice Film Festival, lantas memilih Autobiografi sebagai pemenang First Film Award seksi Horizons.

Autobiography bersanding dengan Argentina, 1985 yang menjadi film terbaik FRIPESCI sesi Kompetisi Utama di Festival Film Venesia 2022. Kedua film itu mengulik anatomi kekuasaan di “dunia ketiga”. Tapi film ini tak berhenti pada kenangan akan kekerasan. Ia juga mempertanyakan, tidakkah kuasa korup itu masih memiliki tuah dan terwariskan pada generasi muda?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus