Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Habis Pidana Terbitlah Tagihan

Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) menggeber penyelesaian utang obligor kakap. Berhadapan dengan aset bermasalah dan para taipan. 

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jalan terjal mengkonsolidasikan aset penyelesaian utang para obligor dan debitor BLBI.

  • Jalur perdata dipilih untuk menagih utang BLBI setelah upaya pidana digagalkan pengadilan.

  • Pemanggilan obligor kakap digeber untuk menyelesaikan tunggakan BLBI yang membebani keuangan negara.

WARGA Desa Cikopomayak dan Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, punya pemandangan baru di kampung mereka. Sedikitnya tujuh papan plang berkaki besi hollow tersebar di sejumlah sudut desa. Pada Kamis sore, 2 September lalu, salah satu plang berwarna putih itu berdiri membelakangi bocah-bocah yang berlarian di tengah lapangan sepak bola Neglasari. “Lahan ini dalam penguasaan dan pengawasan Pemerintah Republik Indonesia C.Q. Satgas BLBI”. Begitu peringatan yang tertulis di plang tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lambang kementerian dan lembaga berjejer di atas tulisan. Tertulis pula larangan: “Dilarang memperjualbelikan, memanfaatkan, menguasai, dan tindakan lain tanpa izin Satgas BLBI”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Papan penyitaan di atas lahan bekas aset PT Bank Namura itu baru ditancapkan pada Jumat, 27 Agustus lalu. Di hari yang sama, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Mahmodin dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggelar seremoni pemancangan plang serupa di lahan perumahan Lippo Karawaci, Kelapa Dua, Tangerang, Banten—sekitar 5 kilometer di sisi utara Neglasari. “Hari ini kami melakukan penguasaan fisik aset negara yang ditandai dengan pemasangan papan penguasaan dan pengawasan,” kata Mahfud Md., Jumat sore itu.

Mahfud adalah Ketua Dewan Pengarah Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI), tim yang dibentuk pada awal April lalu lewat penerbitan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021. Selain di Jawa Barat dan Banten, pemancangan plang pengambilalihan aset berupa lahan dan bangunan oleh Satgas BLBI digelar serentak di Jakarta, Sumatera Utara, Riau, dan Jawa Timur. Total luasnya, untuk sementara, mencapai 520 hektare, yang merupakan bagian dari jaminan hak tagih atas piutang negara terhadap obligor dan kreditor BLBI.

Lahan eks Bank Namura di Kecamatan Jasinga itu, misalnya, adalah bagian dari aset yang diserahkan dua obligor BLBI, Baringin Marulam Hasiholan Panggabean dan Joseph Januardy, pemilik bank, untuk menyelesaikan utang mereka. Laporan keuangan pemerintah pusat 2020 mencatat Baringin dan Joseph masih punya tunggakan Rp 170,14 miliar.

Warga bermain bola di lahan aset milik obligor BLBI di Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2 September 2021. TEMPO/M.A MURTADHO

Adapun aset di perumahan Lippo Karawaci yang dipasangi plang penguasaan negara adalah properti milik eks debitor Bank Lippo yang diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai pengurang kewajiban BLBI. Tak terang siapa debitor Bank Lippo yang dimaksud.

Head of Corporate Communications PT Lippo Karawaci Tbk Danang Kemayan Jati mengatakan lahan itu secara hukum telah dikuasai pemerintah sejak 2001. Adapun Lippo, dia menambahkan, tak berhubungan dengan penyaluran dana BLBI. “Tidak ada satu pun perusahaan Lippo, termasuk Bank Lippo, yang pernah meminta atau mendapatkan sekali pun atau satu sen pun dana BLBI,” tutur Danang, Jumat, 27 Agustus lalu.

Lama tak terurus, aset-aset yang menjadi bagian dari penyelesaian utang para obligor dan debitor BLBI ini ditengarai banyak berpindah tangan. Di Jasinga, plang-plang Satgas BLBI kini tertancap di tanah garapan dan di depan gudang penyimpanan kayu, rumah kecil, juga bangunan mewah seperti vila. Seorang warga yang enggan disebutkan namanya bercerita, bangunan-bangunan di atas lahan yang kini terpancang papan Satgas BLBI dibangun sekitar lima tahun lalu. Pemiliknya, dia mengungkapkan, “Warga biasa sampai tentara.”

Kepada Tempo, Mahfud mengaku telah mengetahui sengkarut penguasaan lahan eks penerima BLBI, seperti di Jasinga, yang sebenarnya milik negara. Hal serupa, ucap dia, menimpa aset tanah pemerintah di Karawaci. “Sebelum dibaliknamakan, ternyata sudah ada yang menempati. Menyewa ke ini, nyewa ke itu. Pajaknya juga enggak bayar. Pajak usaha, macam-macam. Kata mereka membayar kepada seseorang,” ujar Mahfud, Jumat, 3 September lalu.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga mendengar desas-desus keterlibatan seorang jenderal di pusaran sengkarut lahan di Jasinga. Dia memastikan tim Satgas BLBI akan menelusuri informasi tersebut. “Ada cerita seperti itu. Saya bilang, saya tidak mau tahu namanya. Nama itu biar muncul dari hasil penelusuran. Tidak muncul dari gosip. Saya mendengar itu. Dan itu tidak bisa mengelak,” katanya.

Bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pengambilalihan aset yang berkaitan dengan masalah BLBI ini amat penting. Dia mencontohkan properti di area perumahan Lippo Karawaci. “Menurut bupati, satu meter persegi sekarang Rp 20 juta. Jadi dari 25 hektare ini nilainya triliunan,” ucap Sri Mulyani.

Pemerintah berambisi segera menuntaskan tunggakan obligor dan debitor BLBI yang nilainya kini mencapai Rp 110,45 triliun. Menggeber pengukuhan aset milik negara yang digalakkan sepekan terakhir hanya salah satu upaya yang ditempuh oleh Satgas BLBI.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap laporan keuangan pemerintah pusat 2019 menilai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan tidak optimal dalam mengamankan aset eks properti BPPN dan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Total nilai aset tersebut per 31 Desember 2019 masing-masing sebesar Rp 2,35 triliun dan Rp 4,69 triliun.

Sebelumnya, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Tahun 2016, BPK mengungkap kelemahan sistem pengendalian internal atas masalah yang sama. Banyak aset eks properti BPPN dan PPA dikuasai pihak ketiga, tidak ditemukan, berstatus tidak jelas, dan belum dinilai.

•••

TEKAD pemerintah menagih utang para obligor dan debitor dana BLBI menguat setelah upaya menempuh jalur pidana gagal. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menghentikan penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, pada April lalu. Komisi antirasuah di bawah kepemimpinan Firli Bahuri berdalih keputusan tersebut diambil akibat putusan Mahkamah Agung yang memvonis bebas bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, dan menyatakan kasusnya bukan perkara pidana.

Sjamsul Nursalim adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), salah satu penerima fasilitas BLBI. Dia bersama beberapa pemilik bank saat itu diduga bersekongkol dengan pejabat Bank Indonesia untuk mengeruk uang negara lewat fasilitas pinjaman BLBI. Pemerintah memperkirakan kerugian negara dalam kasus Sjamsul mencapai Rp 4,58 triliun.

Saat kasus itu ditangani KPK, Sjamsul dan Itjih, yang berada di Singapura, ditetapkan sebagai tersangka korupsi BLBI sekaligus buron yang masuk daftar pencarian orang. Bergeser dari skema pidana, kini jalur perdata digeber. Presiden Joko Widodo membentuk satuan tugas. Tugas tim ini menangani, menyelesaikan, dan memulihkan hak negara yang berasal dari dana BLBI. Tugas itu mencakup menempuh upaya hukum dan lainnya di dalam atau luar negeri terhadap debitor, obligor, pemilik perusahaan, juga ahli waris serta pihak-pihak yang bekerja sama dengan mereka.

Aset tanah milik obligor BLBI yang berada di kawasan Jalan Teuku Cik Ditiro, Medan, Sumatera Utara, 2 September 2021. ANTARA/Fransisco Carolio

Ketua Harian Satgas BLBI—dijabat oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rionald Silaban—melaporkan perkembangan pelaksanaan tugas kepada tim pengarah setidaknya sekali dalam satu semester. Tim ini akan bertugas sampai 31 Desember 2023. “Pemerintah akan menagih dan memburu aset atas utang BLBI yang jumlahnya lebih dari Rp 108 triliun,” kata Mahfud Md. Dipimpin Mahfud, tim pengarah Satgas BLBI beranggotakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly; Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin; dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Adapun tim pelaksana terdiri atas sepuluh pejabat setingkat eselon I dari tujuh kementerian dan lembaga yang pemimpinnya masuk tim pengarah. Satgas juga didukung tiga kelompok kerja alias pokja, yaitu Pokja Data dan Bukti, Pokja Pelacakan, serta Pokja Penagihan dan Litigasi. Jumlah anggota kelompok kerja ini 76 orang.

Ketua Harian Satgas BLBI Rionald Silaban mengatakan Satgas telah membentuk beberapa tim yang masing-masing menangani sejumlah obligor dan debitor. Pemanggilan bertahap telah dilakukan melalui surat. “Ada yang baru mulai dipanggil, ada yang sudah panggilan kedua,” kata Rionald. Ia mengungkapkan, beberapa obligor dan debitor telah memenuhi panggilan dan berbicara dengan Satgas. “Ada yang berjanji mengajukan proposal (penyelesaian).”

Sri Mulyani membenarkan kabar bahwa selama ini tak semua obligor dan debitor bertindak kooperatif. Ada yang dipanggil sekali langsung datang, ada juga yang perlu dipanggil berulang kali. “Kalau ada niat baik untuk menyelesaikan, akan kami bahas dengan mereka. Namun kalau sudah dipanggil sekali tidak ada respons, dua kali tidak ada respons, kami umumkan kepada publik.”

Salah satu yang mangkir hingga pemanggilan kedua adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Nama putra mantan presiden Soeharto itu lantas diumumkan secara terbuka lewat koran.

Pada pemanggilan ketiga, 26 Agustus lalu, Tommy diwakili kuasa hukumnya. “Sesudah ramai pemberitaan di media, Direktur Utama PT Timor Putra Nasional datang. Tommy juga mengutus kuasa hukumnya, bernama Sibarani,” tutur Mahfud. Dalam pertemuan di Gedung Syafrudin Prawiranegara Kementerian Keuangan, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, itu, Mahfud menjelaskan, utusan Tommy menyatakan akan mengajukan proposal pembayaran. Rionald memastikan kehadiran Direktur Utama PT Timor Putra Nasional Ronny Hendrarto Ronowicaksono, yang juga dipanggil sebagai pengurus perusahaan.

Penerima dana BLBI lainnya, Agus Anwar, menurut Mahfud, sedang berkomunikasi dengan Satgas. Pemerintah mencatat tagihan kepada Agus, pemilik Bank Pelita dan Bank Istimarat, senilai Rp 1,98 triliun. Satgas juga sedang dalam pembicaraan dengan bos Texmaco, Marimutu Sinivasan, pemilik Bank Putera Multikarsa yang punya tunggakan Rp 1,1 triliun. Keduanya, ujar Mahfud, bersedia menyelesaikan utang. “Tinggal bagaimana cara menyelesaikannya.”

Mahfud mengungkapkan, Agus Anwar misalnya, yang tinggal di Singapura, menyatakan tidak bisa hadir dan memohon pertemuan digelar secara virtual. Permintaan ini sebenarnya telah disetujui dengan syarat Agus berada di kantor Kedutaan Besar RI di Singapura. “Tapi dia tidak mau di kedutaan. Maunya di rumahnya. Nah, kami enggak bisa. Kalau mau, di kantor kedutaan. Kami menjamin tidak akan ditangkap. Kan, ini perdata,” kata Mahfud.

•••

WORO-WORO terbuka juga diteken Rionald Silaban pada Selasa, 31 Agustus lalu. Lembar pengumuman bernomor S-3/KSB/PP/2021 itu berisi informasi pemanggilan ketiga terhadap Kaharudin Ongko. Mantan Wakil Presiden Komisaris PT Bank Umum Nasional itu diminta hadir di Gedung Syafrudin Prawiranegara Kementerian Keuangan pada 7 September 2021, Selasa pekan ini.

Agenda pemanggilan satu: menyelesaikan hak tagih negara. Pemerintah mencatat tagihan kepada Kaharudin senilai total Rp 8,2 triliun. Tagihan sebesar itu meliputi penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) Bank Umum Nasional (BUN) sebesar Rp 7,82 triliun dan PKPS Bank Arya Panduarta senilai Rp 359,4 miliar.

Kaharudin Ongko adalah pemilik BUN. Ia bersama Leonard Tanubrata, mantan Presiden Direktur BUN, menjadi terpidana kasus penyalahgunaan dana BLBI yang diperkirakan merugikan negara Rp 6,74 triliun. Namun pengadilan tinggi membebaskan mereka. Pada September 2004, Mahkamah Agung pun menolak permohonan kasasi jaksa serta menyatakan kasus Kaharudin dan Leonard tidak terbukti sebagai perkara pidana.

Bank Umum Nasional adalah satu dari 48 bank penerima pinjaman BLBI. Digelontorkan pada Desember 1998, nilai bantuan ini mencapai Rp 147,7 triliun untuk bank yang mengalami masalah likuiditas di tengah krisis moneter. Kucuran dana BLBI ini sebenarnya adalah bagian dari perjanjian Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengatasi krisis saat itu.

Masalahnya, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan bantuan sebesar Rp 138 triliun. Banyak dana BLBI yang diselewengkan penerimanya. Penyalurannya pun banyak menyimpang. Beberapa mantan direktur Bank Indonesia telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan total kewajiban atas fasilitas BLBI yang sampai sekarang masih dikelola pemerintah mencapai Rp 110,45 triliun. Ia menjelaskan, pinjaman BLBI itu dibiayai menggunakan surat utang negara yang diterbitkan pemerintah dan diserap BI. Sampai saat ini BI masih memegang surat utang tersebut. Artinya, pinjaman belum lunas. “Selama 22 tahun pemerintah, selain bayar pokok, bayar bunga utang,” ucap Sri Mulyani.

Berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat 2020 yang telah diaudit, pemerintah masih memiliki tanggungan dua surat utang, yakni SU-002 dan SU-004, yang merupakan utang pemerintah kepada Bank Indonesia berkaitan dengan program penjaminan dan BLBI.

SU-002 telah direstrukturisasi sehingga tingkat bunganya turun menjadi 0,1 persen per tahun dari sebelumnya 1 persen. Selain itu, pokok utang diamortisasi dengan jatuh tempo pokok terakhir pada 2025—sebelumnya 2018. Bunga SU-004 juga direstrukturisasi sehingga berkurang dari sebelumnya 3 persen menjadi 0,1 persen per tahun. Adapun pokok utang diamortisasi dengan jatuh tempo pokok terakhir pada 2025.

23 Tahun Skandal BLBI

BELASAN tahun megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mengendap. Peluang membongkar dugaan korupsi dalam penggelontoran dana jumbo di masa krisis moneter 1998 ini belakangan menipis. Tak ingin terus merugi menanggung beban piutang, pemerintah membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI untuk menuntaskan sengkarut utang obligor dan debitor yang masih menyisakan lebih dari Rp 100 triliun. 

SUMBER: LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT 2020, BADAN PEMERIKSA KEUANGAN, DIOLAH TEMPO
NASKAH: AISHA SHAIDRA, AGOENG WIJAYA

Selain itu, ada SU-007 atau surat utang hasil konversi indeksasi dan tunggakan bunga SU-002 serta SU-004. Surat utang ini memiliki tingkat bunga 0,1 persen per tahun dan jatuh tempo pada 2025. Ada pula SRBI-01, yakni surat utang yang diterbitkan pemerintah pada 7 Agustus 2003 sebagai pengganti SU-001 dan SU-003 dalam kaitan dengan BLBI. Jatuh tempo SRBI-01 pada 2043 dengan tingkat kupon 0,1 persen per tahun dihitung dari sisa pokok terutang yang dibayarkan secara periodik dua kali setahun.

“Sekarang suku bunga sudah turun. Tapi itu tetap tanggungan yang luar biasa bagi pemerintah,” tutur Sri Mulyani. Karena itu, ia menegaskan, pemilik bank atau debitor harus mengembalikan dana pinjaman untuk mengurangi beban pemerintah.

Mahfud menyebut kasus Sjamsul Nursalim sebagai momentum atau pintu masuk ke ranah perdata. “Kami enggak ada kesulitan dengan itu, dan akan kami tagih dia,” ujarnya.

Ia menjelaskan, Sjamsul menjadi salah satu obligor penerima surat keterangan lunas serta release and discharge dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional setelah menyerahkan aset senilai Rp 4,9 triliun. Surat ini membebaskan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia dari tanggung jawab lebih lanjut pembayaran kembali bantuan likuiditas.

Tapi, menurut Mahfud, sesudah divaluasi, aset tersebut ternyata hanya bernilai Rp 1,2-1,3 triliun. “Itu yang diduga korupsi. Diduga kolusi dengan Syafruddin. Itu yang dibawa ke pengadilan,” kata Mahfud. Namun Mahkamah Agung menyatakan perkara itu bukan pidana, melainkan perdata atau administrasi negara. “Kalau begitu, kami kembali. Kalau bukan pidana, berarti dia harus ditagih ke utang semula, pengakuan utang semula Rp 4,9 triliun tapi barangnya hanya Rp 1,2 triliun. Itu satu contoh.”

Kini nama Sjamsul Nursalim masuk daftar 48 obligor yang dipanggil oleh Satuan Tugas BLBI.

Kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail, mengkonfirmasi kabar pemanggilan tersebut. Tapi ia tak bisa memberikan penjelasan karena tak ikut mendampingi. “Saya tidak tahu apakah sudah ketemu atau belum dengan tim (Satgas BLBI). Semestinya Pak Otto yang ke sana,” ujar Maqdir. Otto Hasibuan, pengacara Sjamsul Nursalim lainnya, belum menjawab pertanyaan Tempo.

MURTADHO (BOGOR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus