Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK menerima laporan suap Bupati Probolinggo dan suaminya sejak dua tahun lalu.
Penyelidikan sempat terkendala tes wawasan kebangsaan (TWK).
Operasi tangkap tangan dibimbing dua pegawai KPK yang tak lolos TWK.
MENANTI di sekitar perempatan Jalan Ahmad Yani, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, tujuh personel Komisi Pemberantasan Korupsi mengamati hilir-mudik mobil ke rumah pribadi Bupati Puput Tantriana Sari. Mereka tengah bersiap menggelar operasi tangkap tangan Bupati Probolinggo dan suaminya, Hasan Aminuddin, sejak Ahad sore, 29 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepat pukul sembilan malam, satu mobil Isuzu Panther berkelir merah parkir di depan rumah Bupati Puput. Camat Krejengan Doddy Kurniawan turun dari mobil berpelat merah tersebut. Ia berjalan menuju samping rumah Bupati, kantor Dinas Koperasi Kabupaten Probolinggo. Sumarto, yang datang bersama Doddy, tetap berada di mobil.
Satu jam kemudian, Camat Gading Hary Tjahjono dan seorang camat lain juga tiba di kantor itu. Mereka menemui Hasan Aminuddin yang menjabat Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai NasDem, yang sudah lebih dulu berada di dalam kantor. “Tiap malam dijadwalkan tiga camat bergiliran bertemu dia,” tutur mantan Kepala Satuan Tugas Penyelidikan KPK, Harun Al Rasyid, Kamis, 2 September lalu.
Tiga mantan anak buah Harun ikut dalam penguntitan pada malam tersebut. Harun juga sudah menyelidiki Hasan sejak Maret lalu. Penelusurannya berhenti karena pimpinan KPK menyatakan ia tak lulus tes wawasan kebangsaan, sehingga nonaktif sebagai penyelidik. Kewenangannya menyelidiki dugaan suap Bupati Probolinggo dicabut. Namun anak buahnya tetap berkomunikasi dengan dia dalam operasi itu. “Saya hanya membimbing mereka, tidak memberi perintah karena sudah nonaktif,” ucapnya.
Harun mengatakan para camat membawa map berisi nota dinas setiap kali bertemu Hasan. Nota itu berisi nama penjabat kepala desa yang diusulkan. Pada 9 Agustus lalu, terdapat 252 desa dari 24 kecamatan yang masa tugas kepala desanya berakhir. Pada malam itu, Doddy membawa nota dinas yang mencantumkan nama Sumarto sebagai kandidat penjabat kepala desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harun Al Rasyid (atas) dan Farid Andhika di kantor Komnas HAM, Jakarta, 24 Mei 2021/ANTARA/M Risyal Hidayat
Bupati Puput akan menunjuk para kepala desa berdasarkan usul camat. Peran Hasan menyelip dalam proses itu. Sebelum nama kandidat dibawa ke meja istrinya, nota dinas harus mendapatkan paraf Hasan. Tentu saja paraf itu tidak gratis.
Ketika terpilih, para kepala desa diberi kewenangan mengelola tanah negara sebagai penambah tunjangan. Mereka menyebut model kompensasi ini sebagai tanah bengkok. Luas tanah setiap desa berbeda-beda. Makin luas tanahnya, makin besar pula uang yang harus disetorkan kepada suami Bupati.
Nilainya bervariasi, antara Rp 15 juta dan Rp 20 juta. Mereka menyebut setoran ini dengan “sodaqoh”. “Uang yang disetor bergantung pada seberapa luas tanah bengkok yang akan didapatkan oleh penjabat kepala desa,” ujar Harun.
Agaknya Hasan sudah merasa diawasi. Ia meminta para camat dan kepala desa tak membawa uang malam itu. Sebulan sebelumnya, penguntitan penyidik KPK bocor. “Saya sempat mengobrol dengan si pembocor dan memintanya tidak mengulanginya lagi,” ucap Harun, tanpa mau menyebut identitas si pembocor.
Itu sebabnya tim KPK yang mengikuti Hasan sempat waswas. Mereka sadar Hasan dan Puput memiliki pengaruh dan pendukung yang banyak di Probolinggo. “Dia raja kecil di sana,” kata Harun.
•••
SAAT bertolak ke Probolinggo pada Rabu pagi, 25 Agustus lalu, tujuh pegawai muda KPK tak putus berkomunikasi dengan Harun Al Rasyid. Mereka sudah bersiap menggelar operasi tangkap tangan. Selain dibimbing Harun, mereka dibimbing Farid Andhika, mantan Kepala Satuan Tugas Pengaduan Masyarakat.
Empat mantan anak buah Farid ikut dalam operasi ini. Bernasib sama dengan Harun, kewenangan Farid juga dicabut karena pimpinan KPK menyatakan dia tak lulus tes wawasan kebangsaan.
Terbiasa dipimpin Harun dan Farid, timnya membutuhkan waktu untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam menggelar operasi. “Kami akan membantu membimbing dari kantor,” kata Farid mengulang ucapannya kala itu.
Mereka mulai mendapat petunjuk kuat soal transaksi haram itu pada Jumat, 27 Agustus lalu. Harun lantas menelepon atasannya, Direktur Penyelidikan Brigadir Jenderal Endar Priantoro. “Eskalasi sudah tinggi,” tuturnya. “Saya mengabarkan mungkin satu-dua hari atau setidaknya seminggu bakal ada penangkapan.”
Harun mengatakan Endar hanya membalas dengan ucapan terima kasih. Harun berupaya melibatkan diri dengan meminta izin kepada mantan Kepala Kepolisian Resor Probolinggo itu. Harun dan Farid berharap diizinkan menyusul timnya ke Probolinggo. Namun, karena berstatus nonaktif, Endar tak membolehkan keduanya pergi.
Tak patah arang, Harun dan Farid tetap mengarahkan tim KPK di lapangan. Mereka bahkan membuat tiga skenario operasi. Salah satunya skenario menangkap Hasan jika tak ada perpindahan uang. “Jika uangnya tak dibawa masuk, kami menyarankan agar penangkapan dilakukan di luar atau di jalan setelah mereka terpisah supaya tidak ada gesekan,” ujar Farid.
Benar saja. Para camat hanya membawa map dan tak menyetorkan uang. Tim operasi tangkap tangan (OTT) meyakini uang tersebut masih tersimpan di dalam mobil Doddy Kurniawan dan Sumarto.
Pada Ahad, 29 Agustus lalu, pukul 23.30, pertemuan di kantor Dinas Koperasi Kabupaten Probolinggo itu bubar. Saat itu, salah satu tim KPK mengikuti mobil yang ditumpangi Doddy dan Sumarto.
Di tengah jalan, mereka mencegat mobil Isuzu Panther tersebut. Mereka menemukan nota dinas yang sudah dibubuhi paraf Hasan dan plastik kresek berisi Rp 220 juta di bawah jok sopir. Keduanya langsung diboyong ke kantor Kepolisian Resor Probolinggo.
Tim KPK yang lain juga bergerak. Mereka menangkap Camat Kraksaan Ponirin, Camat Banyuanyar Imam Syafi’i, Camat Paiton Muhamad Ridwan, dan Camat Gading Hary Tjahjono. Menjelang subuh, para pegawai KPK itu menjemput Bupati Puput dan Hasan di rumahnya. Mereka membawa keduanya ke kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur di Surabaya yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Polres Probolinggo.
Puput dan Hasan diterbangkan ke Jakarta keesokan harinya. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan lembaganya menemukan ada banyak orang yang terlibat dalam dugaan suap jabatan ini. “KPK menetapkan 22 orang sebagai tersangka,” ujar Alexander dalam konferensi pers pada Selasa, 31 Agustus lalu.
Sebanyak 17 tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan kepala desa di Lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo menuju ruang pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 4 September 2021/TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Dua di antaranya adalah Puput dan Hasan Aminuddin. Sisanya merupakan para camat dan calon pejabat kepala desa. Namun penetapan status tersangka terhadap Puput dan Hasan tak berlangsung mulus.
Tim Penindakan yang menangkap para tersangka langsung menggelar ekspos perkara bersama pimpinan KPK dan jaksa pada Senin, 30 Agustus lalu. Menurut dua penegak hukum yang mengetahui acara itu, Direktur Penyelidikan Endar Priantoro sempat mengusulkan Puput tak menjadi tersangka. “Dia mengklaim peran Puput pasif,” kata kedua sumber itu secara terpisah.
Tim Penindakan memastikan Puput berperan aktif karena tidak akan menerbitkan surat keputusan penunjukan kepala desa jika tak mendapati paraf suaminya di dalam nota dinas. Suara Endar kalah. Puput dan Hasan akhirnya tetap menjadi tersangka.
Endar tak merespons permintaan wawancara dan pertanyaan Tempo yang dikirim ke akun WhatsApp miliknya hingga Sabtu, 4 September lalu. Adapun pelaksana tugas juru bicara Bidang Deputi Penindakan KPK, Ali Fikri, mengatakan lembaganya tetap mengikuti aturan yang berlaku dalam menegakkan hukum. “Kami akan tuntaskan penanganan perkara secara profesional,” ujar Ali.
Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin diam seribu bahasa saat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada pukul 17.05, Senin, 30 Agustus lalu. Memakai blazer merah tua sementara Hasan memakai jaket bermerek Lacoste dan celana olahraga, mereka tak merespons pertanyaan wartawan.
•••
MANTAN Kepala Satuan Tugas Pengaduan Masyarakat, Farid Andhika, mengatakan timnya menerima informasi ihwal suap jabatan kepala desa di Probolinggo ini sejak dua tahun lalu. Ia mengklaim informasinya berasal dari masyarakat. Namun timnya baru mengantongi surat perintah penyelidikan pada 19 Maret lalu.
Penyelidikan, ucap dia, terhambat karena sistem birokrasi baru di KPK yang berbelit. Padahal timnya sudah mengantongi informasi soal dugaan setoran senilai Rp 300 juta dari calon kepala dinas kepada Bupati Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin. “OTT di Probolinggo berawal dari info suap mendapatkan jabatan kepala dinas,” ucap Farid pada Selasa, 31 Agustus lalu.
Belakangan ia baru tahu Bupati Puput dan Hasan diduga juga mematok harga dalam penunjukan pejabat kepala desa. Ada pula informasi tentang dugaan korupsi penyaluran bantuan pangan beras dan ikan selama masa pandemi Covid-19. “Kami mendapat info nota dinas, tapi dugaan korupsi bantuan sosial perlu ada pendalaman lebih lanjut,” ujar Farid.
Tujuh perusahaan yang menjadi penyedia beras jatah bantuan sosial diduga terafiliasi dengan Hasan. Anak Hasan disebut sebagai salah satu penyedia ikan. Kepala Dinas Sosial Jawa Timur Alwi mengklaim tak mengetahui hubungan perusahaan penyedia beras di Probolinggo dengan keluarga Hasan.
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat Probolinggo Syamsuddin juga mendengar informasi tentang hubungan antara Hasan dan para pengusaha penyedia bantuan sosial. “Mereka terkoneksi dengan penguasa daerah,” ujar Syamsuddin. Ia berharap operasi tangkap tangan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin, bisa membuka tabir masifnya korupsi di Probolinggo.
ROSSENO AJI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo