Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Novalia Pishesha mengembangkan teknologi nanobodi untuk mengobati penyakit autoimun.
Bekerja dengan menurunkan respons imun secara persis tanpa menonaktifkan sistem kerja imun secara keseluruhan.
Efikasinya diklaim 100 persen dalam pengujian terhadap tikus laboratorium.
JANJI kepada bibi yang mengidap lupus mengantarkan perjalanan Novalia Pishesha selama 15 tahun di Amerika Serikat. Pengembangan karier akademisnya mempelajari teknologi rekayasa hayati (bioengineering) dimulai di City College of San Francisco (CCSF), California. Tekadnya: menemukan pengobatan yang tepat untuk penyakit autoimun. "Saya berjanji kepada bibi saya menemukan pengobatan yang efektif," katanya melalui konferensi video, Rabu, 20 April lalu.
Nova—panggilan akrab Novalia—bekerja keras untuk bertahan hidup di perantauan. "Saya bekerja sebagai tutor hampir 24 jam seminggu dan juga menjadi laboran," tuturnya. Untuk membiayai kuliahnya, Nova mengandalkan berbagai macam beasiswa yang ia raih. Ia lulus dari CCSF dua tahun kemudian, pada 2009, dengan nilai sempurna.
Di Indonesia, tutur Nova, divonis dokter mengidap penyakit yang berhubungan dengan autoimun hampir sama dengan mendapat vonis mati. "Berbeda dengan di sini (Amerika Serikat), penyakit autoimun dapat ditangani dengan baik dan bukan vonis mati," ujar Nova, yang menyebutkan beberapa temannya di sekolah menengah pertama meninggal karena lupus.
Data National Institute of Environmental Health Sciences, lembaga resmi Amerika Serikat, menyatakan pada 2019 terdapat 24 juta penduduk Amerika yang menderita penyakit autoimun. Jumlah itu berarti lebih dari 7 persen penduduk negara tersebut. Secara global, sebanyak 4,5 persen penduduk dunia mengidap setidaknya 1 dari sekitar 80 jenis penyakit autoimun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novalia Pishesha bersama Thibault Harmand (kiri) dan Rhogerry Deshycka di LabCentral, Cambridge, Massachuseyts, Amerika Serikat. Foto: Rhogerry Deshycka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Lupus Foundation of America, sekitar 1,5 juta penduduk Amerika mengidap lupus pada 2015. Adapun di dunia pada tahun yang sama ada setidaknya 5 juta kasus salah satu jenis penyakit autoimun itu dengan 90 persen di antaranya dialami oleh perempuan.
Di Indonesia, menurut data Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan pada 2016, terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis menderita lupus, 550 di antaranya meninggal. Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding pada 2014 yang mencatatkan 1.169 kasus. Adapun jumlah kematian pasien pada 2015 sebanyak 110.
Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem imunitas atau kekebalan tubuh menyerang tubuh sendiri. Pada pengidapnya, sistem kekebalan tubuh akan menyerang sel, jaringan, dan organ yang sehat karena kehilangan kemampuan membedakan substansi asing yang menjadi ancaman dengan sel yang sehat.
Setelah merampungkan kuliah di CCSF, Nova mendapat beasiswa pendidikan kesarjanaan di Department of Bioengineering University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Di sana ia banyak terlibat dalam penelitian ilmiah yang berkaitan dengan sel punca. Setahun setelah lulus dari University of California, ia mengambil program doktoral di Department of Biological Engineering Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika.
Di MIT, Nova mulai berfokus mengkaji teknik rekayasa sel darah merah untuk dikembangkan dalam pengobatan penyakit autoimun. Ia memodifikasi struktur sel darah merah dengan antigen yang dapat mempengaruhi toleransi sistem imun. Penelitiannya itu menjadi dasar bagi pengoperasian perusahaan rintisan bioteknologi Rubius Therapeutics yang baru saja masuk bursa saham Amerika Serikat tahun ini.
Nova bercerita, kelahiran Rubius bermula dari perusahaan venture capital yang tertarik mendanai proyek-proyeknya yang berbasis rekayasa sel darah merah. "Mereka mendekati profesor saya sehingga proyek-proyek itu dilisensikan keluar dari ruang akademis. Jadi bukan saya yang membangun perusahaan secara mandiri," tuturnya.
DI MIT pula Nova mengembangkan penelitian berbasis nanobodi—antibodi dari alpaka (Huacaya alpaca), mamalia dari Amerika Selatan yang menyerupai lama. Ia mengibaratkan nanobodi sebagai akses keluar-masuk informasi dalam sel. Yang ia lakukan adalah membajak jalan tersebut guna mengirim informasi yang efisien untuk mematikan atau meredam respons imun secara spesifik.
Novalia Pishesha menunjukkan logo Cerberus Therapeutics, di LabCentral, Massachusetts, Amerika Serikat. Foto: Rhogerry Deshycka
Berbekal keberhasilannya mengembangkan pengobatan dosis tunggal dalam penggunaan teknik rekayasa sel darah merah, Nova berupaya melakukan hal yang sama dengan nanobodi. "Saya berpikir untuk mengembangkan dosis tunggal yang murah dan mudah dimanufaktur," ucapnya. Terapi sel, menurut Nova, akan sulit dilakukan di Indonesia. Kesulitan itu antara lain menyangkut pengembangan manufakturnya, juga harganya yang tak dapat dijangkau semua kalangan.
Nova bercita-cita teknologinya ini dapat dikembangkan di negara berkembang di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. "Karena penderita autoimun ada di hampir semua negara," katanya. Keunggulan penggunaan nanobodi, Nova menjelaskan, adalah dapat menargetkan secara spesifik protein dalam sel penyaji antigen (APC) yang dinamai protein MHC class-II.
Melalui teknologi nanobodi yang ia kembangkan, targetnya adalah mematikan respons imun tertentu. Nova membandingkan, pada pengobatan penyakit autoimun umumnya, yang dilakukan adalah penonaktifan sel-sel imun dalam tubuh secara keseluruhan. Dengan begitu, tubuh tak punya pertahanan ketika terserang infeksi. "Kemungkinan meninggal karena infeksi cukup besar," ujarnya.
Adapun teknologi nanobodi, ia mengklaim, hanya mematikan respons imun tertentu. Contohnya dalam kasus sklerosis ganda—jenis penyakit autoimun yang menyerang otak—respons imun yang dimatikan hanya yang menyerang otak. "Tujuannya agar masih bisa melawan penyakit infeksi seperti Covid-19," tutur Nova, yang mendapat Broad’s Excellence and Achievement Awards for Extraordinary Work Related to the COVID-19 Pandemic dari Boston University, Amerika Serikat, pada 2020.
Menurut dia, cara ini bekerja baik dalam uji laboratorium menggunakan tikus. Ia mengklaim efikasinya hingga 100 persen. Dengan cara kerja seperti itu, perempuan asal Singosari, Malang, Jawa Timur, ini optimistis semua penyakit autoimun dapat disembuhkan, dari lupus, rematik, diabetes tipe 1, hingga sklerosis ganda. Sebab, kata dia, yang perlu diubah adalah informasi yang dikirim sesuai dengan jenis penyakit dan bagian sel atau organ yang diserang respons imun.
Menurut Neni Nurainy, ilmuwan di bidang biomedis yang juga anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, saat ini pengobatan penyakit autoimun menggunakan anti-inflamasi dan imunosupresif—obat yang menekan atau mengurangi kekuatan sistem imun. "Efek sampingnya lumayan banyak," ucapnya.
Pilihan pengobatan lain adalah penggunaan antibodi monoklonal yang bekerja secara spesifik menetralkan protein yang sifatnya berlebihan di sel. Pengobatan ini digunakan pada penderita penyakit autoimun ataupun kanker. Namun cara ini masih sangat mahal. Menurut Neni, teknologi nanobodi yang diteliti Nova dapat menjadi terobosan karena lebih terjangkau dan spesifik menargetkan respons imun tertentu. "Pengobatan akan lebih baik," ujarnya.
Proyek penelitian ini mengantarkan Nova ke putaran keempat STAT Madness, kompetisi ilmiah dalam bioteknologi yang diselenggarakan Boston Globe Media di Amerika Serikat. Proyek Nova satu-satunya yang dikirim Boston Children’s Hospital—institusi pendidikan kesehatan yang dikelola Harvard University—tempat ia bekerja saat ini.
Selain itu, Nova mendirikan perusahaan bernama Cerberus Therapeutics bersama seluruh timnya yang terlibat dalam riset. "Kami ingin teknologi ini lebih dekat dengan klinik-klinik secepatnya," katanya. Dia juga membangun perusahaan ini agar lebih mudah mendapatkan pembiayaan, membangun fasilitas manufaktur, hingga membawanya ke publik yang lebih luas.
Bermodal persinggungannya dengan Rubius Therapeutics, Nova menjalankan Cerberus Therapeutics sebagai chief executive officer. Dalam akun Twitter miliknya, Nova mengatakan perusahaannya tengah merekrut peneliti-peneliti terbaik untuk terlibat mengembangkan Cerberus Therapeutics.
•••
SETAMAT sekolah menengah atas di Singosari, Novalia Pishesha sempat mencicipi status sebagai mahasiswa kedokteran selama empat bulan di sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur. "Tapi saya merasa kuliah di sana tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Saya ingin lebih banyak melakukan riset, menemukan sesuatu," tutur peraih Noul Co Ltd Young Scientist Award Korea Selatan pada 2022 ini.
Sebelumnya, ia memang sangat ingin mendalami ilmu bioteknologi. Karena itu, ia mendaftar menjadi mahasiswa di National University of Singapore dan Nanyang Technological University di Singapura. Meski mengantongi medali perunggu dari Olimpiade Matematika, Nova gagal masuk ke kedua kampus Negeri Singa itu.
Karena sangat ingin mendalami bidang bioteknologi dan bioengineering, Nova langsung memalingkan muka ke Amerika Serikat. "Kalau kita bicara soal bioteknologi, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling maju di bidang tersebut," ucap peneliti yang memiliki empat permohonan paten yang menunggu persetujuan dan dua paten yang telah diberikan United States Patent and Trademark Office ini.
Novalia Pishesha (kiri) bersama dua pendiri Cerberus Therapeutics lainnya, Profesor Hidde Ploegh dan Profesor Harvey Lodish. Foto: Rhogerry Deshycka
Ada kendala lain ketika ia memantapkan hati ke Negeri Abang Sam. Ia memerlukan nilai SAT—ujian masuk perguruan tinggi di Amerika Serikat—selain bukti kemahiran berbahasa Inggris. "Saya tidak mempersiapkan diri sama sekali untuk ke Amerika, jadinya saya memilih masuk CCSF yang tidak memerlukan SAT dan hanya memerlukan TOEFL (sertifikat bukti kemahiran berbahasa Inggris)," ujarnya.
Nova bercerita, ia datang dari orang tua yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan salah satu orang tuanya hanya lulusan sekolah dasar. Karena itu, ia tak menyia-nyiakan kesempatannya di Amerika. Selain itu, di sana ia merasakan kebebasan akademik yang tidak ada di Indonesia.
Menurut Nova, Boston adalah daerah dengan ekosistem pendidikan dan riset yang baik. "Pertanyaan dari sopir Uber saja, 'Apa menurutmu revolusi di bidang biotech?',” kata Nova, memberi contoh. “Karena penduduk Boston punya cara pandang yang baik dan mereka memahami bioteknologi," ujar perempuan peneliti yang masuk Innovators Under 35 Asia Pacific dari MIT Technology Review pada 2021 itu.
Belajar dari kehidupan di Boston itu, ia mengatakan ada banyak hal yang perlu diperbaiki di Indonesia. "Ketika mewawancarai pelajar Indonesia untuk magang, kebanyakan mengatakan hanya membutuhkan waktu tiga bulan,” ucap Nova. “Padahal untuk memahami yang dikerjakan saja butuh waktu satu tahun, satu setengah tahun untuk orang yang tak memiliki latar belakang penelitian.”
Guna memperbaiki situasi ini, menurut Novalia Pishesha, Indonesia bisa mulai mengintensifkan obrolan yang lebih terbuka antarkampus dan mengedepankan kerja-kerja kolaborasi. Selain itu, ia menekankan pentingnya memulai gerakan perubahan pola pikir yang mendorong perkembangan iklim pengetahuan di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo