Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPAT dua puluh tahun lalu, dangdut koplo menjadi bahan pembicaraan miring kebanyakan masyarakat Indonesia. Pelbagai persoalan muncul, dari kontroversi video pentas biduanita asal Pasuruan, Jawa Timur, Inul Daratista, bergoyang “ngebor”; pembajakan kaset, VCD, dan sejenisnya; hingga masalah hak cipta penggunaan lagu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun siapa sangka, dangdut dari Jawa Timur itu justru bertahan, bahkan digemari hingga hari ini. Penggemarnya kian berlipat ganda, dimiliki bukan hanya oleh satu generasi, dan tak berada di satu kelas ekonomi tertentu. Lagunya pun tak hanya diputar di bus-bus antarprovinsi, tapi juga di aplikasi streaming musik terbaru dan tak hanya dipentaskan di panggung teratak serta hajatan, tapi juga di pentas seni dan festival musik.
Sejak dangdut koplo muncul pada pertengahan 1990-an dan meluas berkat video Inul pada 2003, masa depannya buram. Persoalannya terlalu bertumpuk. Video Inul dianggap meresahkan, bahkan dikategorikan secara sepihak sebagai pornoaksi. Pembajakan dan pelanggaran hak cipta menjadi persoalan yang merongrong setelahnya. Belum lagi raja dangdut Rhoma Irama berada di garda depan yang menolak kehadirannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun-tahun awal niscaya sangat berat untuk Inul dan biduanita lain dengan goyang serupa serta pegiat dangdut koplo di Jawa Timur. Namun tak semua menolak. Beberapa kalangan mendukung mereka. Dangdut koplo menjadi sering dibicarakan; tayang di televisi, radio, dan koran; hingga dikaji para akademikus, seperti Faruk dan Aprinus Salam (2003), Ariel Heryanto (2008), Andrew N. Weintraub (2008, 2010), Sandra Bader (2012), Irfan R. Darajat (2017), Andrea Decker (2021), dan saya sendiri (2013, 2017, 2021).
Sementara itu, industri musik dan televisi melirik kontroversi dangdut koplo serta mengkomodifikasinya. Hal ini membuat banyak penyanyi mendapat kesempatan serupa, seperti Wiwik Sagita, Trio Macan, dan Eny Sagita, serta membuat biduanita dengan goyang khas bermunculan, misalnya Anisa Bahar dengan goyang patah-patah, Uut Permatasari dengan goyang ngecor, Dewi Persik dengan goyang gergaji, Zaskia Gotik dengan goyang itik, dan Duo Serigala dengan goyang dribel.
Dipenuhi stigma goyang, pegiat dangdut koplo di Jawa Timur justru beraneka rupa. Ada yang menjadi penyokong kebutuhan industri, tapi tak sedikit yang mengambil langkah sebaliknya, khususnya pada bagaimana mereka memperlakukan goyang dan mengubah cara berpakaian.
Sejak maraknya penampilan Ratna Antika, Via Vallen, dan Nella Kharisma pada 2015-2016, eksplorasi goyang tak lagi menjadi fokus, warna suara dan citra biduan menjadi tawaran. Hal ini juga digaungkan oleh biduanita yang lebih muda, seperti Jihan Audy dan Tasya Rosmala. Dari segi busana, mereka mengenakan pakaian yang nyaman. Sebagaimana anak muda, mereka menggunakan pakaian yang kasual dan trendi.
Sedangkan ihwal pembajakan, orkes Melayu di Jawa Timur mulai berbenah. Banyak orkes bergabung dengan label lokal atau bekerja sama dengan label Jakarta. Cakram padat mereka dijual resmi, dikerjakan dengan proses produksi yang lebih rapi. Hak cipta juga menjadi perhatian utama, apalagi masalahnya makin terasa ketika mereka mendistribusikan musik di Internet, baik di YouTube, Spotify, maupun aplikasi streaming musik sejenis.
Hasilnya, dangdut koplo terus meluas dan tersebar. Melalui Happy Asmara, Yeni Inka, Lala Widi, Vita Alvia, Arlida Putri, Farel Prayoga, dan banyak penyanyi Jawa Timur lain, mereka menjelma menjadi kegemaran baru. Namun saya tak menyebut upaya-upaya tersebut sebagai berbenah, melainkan bertumbuh. Pasalnya, biduan, orkes Melayu, dan label musik mencoba banyak hal dengan tidak sekali jalan.
Tak jarang proses produksi, distribusi, dan konsumsi mengalami penyesuaian. Banyak dari mereka yang patah di tengah jalan, tapi tak sedikit yang memilih bertahan dan muncul dengan dangdut koplo yang kita nikmati hari ini.
•••
DANDGUT koplo yang kita dengar hari ini berbeda dengan yang kita kenang dua dekade lalu. Selain ihwal goyang, pembajakan, dan hak cipta, perbedaan itu tak sesederhana disebabkan oleh biduan baru yang muncul. Terdapat perubahan pada tataran yang lebih mendalam, yakni produksi dan distribusi.
Dalam hal produksi, ada dua di antaranya, yakni warna musikal dan format pemusik. Pertama, warna musikal. Dangdut koplo makin beragam dan kaya karena orkes Melayu (OM) di daerah memiliki otonominya sendiri. Mereka masing-masing melakukan eksplorasi musikal dengan mengkombinasikan bunyi kesenian di sekeliling mereka. Misalnya OM Sagita dengan jandhut-nya—gabungan kesenian jaranan dan dangdut—serta orkes Melayu di Jember dan Banyuwangi yang mengkombinasikan dangdut dengan kesenian patrol.
Warna musikal tersebut juga acap kali tak hanya menjadi ciri khas orkes Melayu, tapi merujuk pada kota atau kabupaten tempat orkes berada. Jandhut di Nganjuk, misalnya, ada OM Sagita, OM Lagista, dan OM Arwana. Hingga hari ini, kekayaan musikal orkes Melayu kian berwarna, apalagi dilipatgandakan dengan para penampil baru yang membawa unsur musikal yang lebih beragam, seperti congdut, popdut, dan skadut, ataupun kembali ke dangdut pada era ketika suling dan kendang menjadi primadona.
Kedua, format pemusik. Di awal keberadaan dangdut koplo, orkes Melayu menjadi motor keberadaan mereka. Namun tiga-empat tahun belakangan, band dangdut menjadi format pemusik kebanyakan biduan Jawa Timur. Format band dianggap lebih sesuai dengan selera anak muda dan lazimnya terafiliasi dengan channel YouTube. Misalnya HA Management di Kediri yang memasangkan Happy Asmara dengan RC Music; Arlida Putri dengan Aska Music; serta label musik Banyuwangi, Aneka Safari Records, dengan Aneka Music-nya.
Hal ini ada benarnya karena gelombang dangdut Yogyakarta yang mendominasi pasar dangdut beberapa tahun belakangan mengusung format band, seperti Guyon Waton, Ndarboy Genk, Aftershine, Pendhoza, dan Wawes; ataupun sosok yang digadang-gadang sebagai pangeran baru dangdut dari Ngawi, Denny Caknan, yang diiringi band DC Production. Dengan format band, mereka lebih leluasa dalam pelbagai macam tawaran, seperti pemilihan instrumen musik, lagu yang dibawakan, serta elemen musik yang dikombinasikan.
Ruang pendistribusian dangdut koplo juga telah berubah. Keberadaan platform media sosial dan aplikasi streaming musik punya andil dalam mendorong migrasi distribusi dangdut koplo. Mereka tak lagi diakses dari cakram padat yang diperjualbelikan, entah bajakan entah resmi.
Kini mereka paling banyak diakses melalui YouTube dan tidak jarang memiliki pengikut di Instagram dan TikTok dengan jumlah ribuan hingga jutaan. Belum lagi jumlah pendengar di aplikasi streaming musik mereka. Sebut saja Happy Asmara yang lagunya diputar sebanyak 189 juta kali oleh 13 juta pendengar.
Walhasil, alasan dangdut marak dan disukai anak muda tidak lagi sama dengan alasan penggemar dangdut koplo yang mencari goyang erotik. Anak muda menggemari dangdut koplo karena menemani mereka menjalani hidup. Sesederhana membuka telepon seluler pintar, semudah itulah mereka dapat mengakses dangdut koplo.
Ditambah aransemen demi aransemennya yang mengajak bergoyang untuk menemani kebahagiaan. Lalu lirik demi liriknya yang menemani tangisan ketika cinta tak berbalas atau patah hati karena diduakan. Dengan demikian, apalah arti ratusan ribu rupiah untuk menyaksikan festival dangdut, bukan?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dangdut Koplo yang Terus Melaju"