Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Potensi ekonomi sirkular menjanjikan, tapi belum tergarap.
Unilever kekurangan pasokan sampah plastik untuk membuat kemasan daur ulang.
Transaksi Plastic Bank menggunakan blockchain.
PEMBONGKARAN muatan truk terakhir di Bank Sampah Induk Gesit di kawasan Menteng Pulo, Jakarta Selatan, pada Senin, 27 Januari lalu, serba bergegas. Awak truk harus lekas-lekas menurunkan muatan dan menimbangnya di Bank Gesit jika menginginkan setoran tercatat pada hari itu. Sebentar lagi pusat pengumpulan barang bekas tersebut tutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiap hari, Bank Gesit menutup jam operasinya pada pukul tiga sore. Menurut Rowie, pegawai Bank Gesit, dalam sehari, bank sampah itu bisa menerima setoran berton-ton sampah dari sepuluh truk engkel. Tapi hari itu hanya ada empat truk yang menurunkan muatan. Total sampahnya seberat 2,1 ton dengan nilai Rp 4,45 juta. “Pasokan hari ini tergolong sedikit,” kata Rowie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Gesit menerima sampah plastik seperti botol minuman kemasan dan botol bekas sampo, juga kertas, kardus, serta Styrofoam. Sampah tersebut berasal dari 402 bank sampah unit di tingkat rukun tetangga, rukun warga, dan kelurahan di Jakarta. Gesit bercita-cita mengurangi sampah warga Jakarta yang biasanya dibuang ke Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Caranya, memisahkan sampah anorganik yang bisa didaur ulang. Selanjutnya, pabrik akan mengolahnya menjadi berbagai produk, termasuk menjadikannya kemasan lagi.
Konsep itu merupakan kunci ekonomi sirkular. Prinsip 3R—reduce, reuse, dan recycle—memutar kembali nilai keekonomian barang. Pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, pada 21-24 Januari lalu membahas secara khusus ekonomi sirkular sebagai salah satu tema diskusi. Model ekonomi ini didorong keprihatinan akan meningkatnya emisi karbon dioksida dan penggunaan sumber daya alam secara berlebihan. Ekonomi sirkular diharapkan menggeser ekonomi linear yang dianut selama ini—barang yang telah digunakan dibuang begitu saja dan menjadi sampah.
Pekerja menimbang sampah botol plastik yang sudah melewati tahap penekanan oleh mesin di tempat penampungan sampah botol plastik, Tambora, Jakarta, 16 Januari lalu./ TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Berdasarkan laporan terakhir WEF, saat ini ekonomi sirkular baru berjalan 8,6 persen di seluruh dunia. Padahal potensinya diperkirakan mencapai US$ 4,5 triliun atau lebih dari Rp 63 ribu triliun pada dekade mendatang.
Dalam pertemuan WEF tersebut, Indonesia menyatakan berkomitmen mengatasi krisis sampah plastik. Pemerintah menargetkan Indonesia terbebas dari polusi plastik pada 2040. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan pidato berisi target serta strategi Indonesia mengurangi 70 persen sampah plastik di laut pada 2025 dan bebas polusi plastik pada 2040.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, pemerintah menyiapkan program penanganan masalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di sektor industri serta penerapan ekonomi sirkular dalam pembangunan industri. “Program dikemas dalam skema kegiatan prioritas pembangunan industri hijau,” kata Agung Krisdiyanto, tenaga ahli Kantor Staf Presiden, pada Rabu, 22 Januari lalu.
Menurut Agung, kebijakan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Perdagangan ke depan akan memberikan ruang bagi ekonomi sirkular di Indonesia. Kementerian Keuangan telah memulainya dengan menerbitkan green sukuk alias sukuk hijau untuk memfasilitasi pembiayaan ekonomi berwawasan lingkungan. Sukuk jenis ini bisa dimanfaatkan pelaku usaha untuk memulai bisnis sirkular.
•••
SI Gesit yang mengusung konsep daur ulang tersebut adalah hasil kolaborasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan sejumlah perusahaan multinasional, seperti Unilever dan Danone. Head of Sustainable Environment Unilever Indonesia Foundation Maya Tamimi menjelaskan, perusahaannya memikirkan upaya menjaga bisnis tetap tumbuh tanpa menambah kerusakan lingkungan.
Dari hasil evaluasi, kata Maya, Unilever menilai kontrol terhadap produk setelah dikonsumsi sangat rendah. “Setelah dikonsumsi, bagaimana kemasannya, ke mana larinya?” tuturnya. Perusahaan kemudian mempelajari cara agar bekas kemasan itu bisa digunakan lagi. “Itulah awal dimulainya konsep ekonomi sirkular.”
Unilever bergabung dengan Ellen MacArthur Foundation—yayasan yang berbasis di Inggris—yang gencar menggerakkan ekonomi sirkular. Dalam pertemuan WEF di Davos, lembaga ini meluncurkan platform untuk mempercepat realisasi ekonomi sirkular, berkolaborasi dengan pemerintah dan swasta.
Produsen barang kebutuhan rumah tangga itu juga mengusung teknologi untuk mendesain ulang kemasan menjadi lebih ramah dan efisien. Misalnya ketebalan kemasan dikurangi tapi tetap liat. Maya mengatakan sejumlah produk telah menggunakan kemasan yang berasal dari bahan daur ulang sepenuhnya. Contohnya botol Kecap Bango dan pewangi Molto. Perusahaan juga mengembangkan teknologi agar kemasan saset bisa didaur ulang. Unilever menargetkan 25 persen kemasan produknya menggunakan bahan daur ulang pada 2025.
Sejumlah perusahaan besar lain memiliki komitmen serupa, meski target penggunaan bahan daur ulangnya berbeda-beda. Ini berarti ada pasar baru bagi plastik daur ulang. Masalahnya, pasokan belum siap. “Kalau ada permintaan besar, berarti peluangnya besar juga. Tapi ekosistemnya harus terbentuk dulu. Kalau pengumpulan sampah sudah bagus, bisnis ini akan berjalan dengan sangat baik,” ujar Maya.
Dari Bank Gesit atau bank induk lain, sampah plastik disetorkan ke pabrik pengolah yang tak terkait sama sekali dengan Unilever. Perusahaan sebenarnya mempunyai fasilitas pengolah plastik daur ulang di Sidoarjo, Jawa Timur. Bijih plastik yang dihasilkan dari sampah itu akan diolah menjadi kemasan lagi.
Bongkar muatan truk terakhir di Bank Sampah Induk Gesit di kawasan Menteng Pulo, Jakarta, 16 Januari lalu./ Tempo/Tony Hartawan
Maya bercerita, pada akhir 2018 hingga awal 2019, pabrik di Sidoarjo kekurangan suplai. Unilever akhirnya memutuskan mengambil pasokan dari bank-bank induk di Jakarta, meski ongkos pengiriman mahal.
Masalah itu tak akan muncul jika pengelolaan sampah telah efisien. Saat ini, karena pengelolaan belum rapi, pengumpulan sampah masih rendah. “Kalau bicara titik per titik mungkin tinggi. Tapi, begitu masuk ke industri yang kebutuhannya besar, angkanya kurang,” ucap Maya.
Tahun lalu, Unilever hanya mendapat setoran 4 ton sampah plastik. Padahal kapasitas pabrik daur ulang di Sidoarjo mencapai 3 ton sampah plastik per hari, walau saat ini hanya beroperasi untuk mengolah 300 kilogram sampah per hari. Alasannya, Maya menerangkan, “Sedang ada penyesuaian ulang karena ini teknologi baru.”
Ketua II Bank Gesit Nunik mengatakan saat ini yang terpenting adalah membangun ekosistem di masyarakat. Gesit melakukannya dengan membangun jaringan dari tingkat rukun tetangga hingga kelurahan. Bahkan bank sampah sekolah dan masjid menjadi nasabahnya. Di Jakarta, selain Gesit, yang menjadi pelopor, setidaknya ada empat bank sampah induk. Lokasinya di Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat dengan total nasabah mencapai ribuan.
•••
PERWAKILAN Plastic Bank asal beberapa negara berkumpul dalam Global Summit 2020 di Seminyak, Bali, pada 13 Januari lalu. Selain Indonesia, delegasi dari Kanada, Brasil, Haiti, dan Filipina hadir dalam pertemuan tahunan itu. “Kami lebih berfokus ke target ke depan akan seperti apa,” kata Manajer Operasional Plastic Bank Indonesia Herman Suseno, Senin, 27 Januari lalu. Plastic Bank Indonesia berambisi memperluas jangkauannya ke seantero Tanah Air.
Plastic Bank adalah lembaga sosial yang berpusat di Kanada. Mereka mengembangkan sayap ke Indonesia dan bermitra dengan SC Johnson, perusahaan asal Amerika Serikat yang memproduksi barang kebutuhan rumah tangga. Lembaga ini juga beroperasi di Haiti, Filipina, Brasil, Kolombia, Mesir, dan, yang paling baru, Thailand serta Vietnam mulai tahun ini. Di Indonesia, Plastic Bank awalnya hanya beroperasi di Bali. Kini mereka juga beraktivitas di Lombok, Batam, dan Surabaya.
Salah satu sesi Global Summit adalah “cocktail party”, yang mempertemukan pemerintah, pemasok, dan klien potensial. Klien yang dimaksud adalah perusahaan pengguna plastik hasil daur ulang. Sederet perusahaan global telah menjalin kerja sama dengan Plastic Bank, seperti Marks & Spencer dan Henkel. “Sekarang sedang on progress dengan Coca-Cola,” Herman menambahkan.
Herman mengatakan lembaganya memberikan insentif kepada masyarakat agar tertarik mengumpulkan sampah plastik. Di Indonesia, misalnya, sudah ada rantai pemulung dan pengepul. “Kami masuk ke kelompok ini. Mereka tetap ‘jalan’ seperti biasa, tapi kami kasih insentif, yakni pembelian sesuai dengan harga pasar plus bonus Rp 1.000 per kilogram sebagai tambahan,” ujarnya.
Saat ini sekitar 160 pengepul dan 7.000-an pemulung di Bali, Lombok, dan Batam terdaftar dalam aplikasi Plastic Bank. Setiap transaksi tercatat dalam blockchain, termasuk transaksi dengan prosesor—pabrik pengolah sampah plastik. “Kami memberikan pelatihan. Kalau ada pemulung yang enggak punya telepon seluler, dibantu pengepul dalam bertransaksi.”
Selanjutnya, sampah plastik disetorkan ke pabrik pengolah. Pabrik ini sekaligus melayani pembuatan produk yang bisa dibeli kembali oleh Plastic Bank. Klien kemudian mengorder jenis dan desain kemasan dari produk daur ulang. “Jadi benar-benar tergantung klien global kami mau produksi apa. Customize sekali,” kata Herman.
Maka, menurut Herman, gerakan pengurangan sampah plastik tumbuh karena mendapat dukungan dari perusahaan. Keuntungan ekonominya tak hanya dirasakan pemulung dan pengepul, tapi juga masyarakat miskin lain. Dengan adanya insentif, Herman yakin masyarakat makin giat mengumpulkan sampah. Bukti awalnya, meski baru setahun berdiri, Plastic Bank Indonesia telah mengumpulkan 1.400 ton sampah plastik sepanjang 2019.
Ia berharap jumlah itu terus meningkat agar ekonomi sirkular betul-betul terwujud. Menurut Herman, ekonomi sirkular bisa dilihat dari berapa konsumsi plastik dunia, berapa peluang yang ditimbulkannya, dan berapa banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada pengumpulan plastik. Saat ini, ia memperkirakan baru 18 persen plastik yang dihasilkan dunia dimanfaatkan lagi untuk didaur ulang. Artinya, masih banyak plastik yang dibuang percuma. “Makanya kami memberikan insentif supaya orang semangat mengumpulkannya.”
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo