Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bulog menghentikan sementara operasi pasar beras di Cipinang.
Budi Waseso membeberkan praktik tak wajar dalam operasi pasar beras.
Beras impor belum beredar semuanya karena menunggu pemeriksaan.
DIREKTUR Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso mendadak menyetop penyaluran beras ke Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, awal Januari lalu. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI ini mengendus praktik tak wajar dalam program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga atau operasi pasar di sentra penjualan beras terbesar di Indonesia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi tak habis pikir, mengapa 6.000 ton beras murah yang ia gelontorkan tak mampu menekan harga beras. Harga beras saat ini di atas Rp 11 ribu per kilogram, jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) Rp 9.450 per kilogram. “Kami seperti menggarami lautan," kata Budi saat ditemui jurnalis Tempo, Retno Sulistyowati, Khairul Anam, dan Aisha Shaidra, di kantornya pada Jumat, 27 Januari lalu. Berikut ini petikan wawancaranya.
Mengapa Anda tiba-tiba menghentikan operasi pasar di Cipinang?
Saat itu Bulog akan menggelontorkan 6.000 ton beras hasil pengadaan. Baru tersalurkan 5.500 ton, ada kejadian. Kenapa operasi pasar ini tak bisa mengintervensi harga? Kami seperti menggarami lautan. Beras operasi pasar seperti hilang, tak mempengaruhi harga. Harus saya beresin dulu. Saya enggak mau pekerjaan kami enggak ada manfaatnya.
Apa kejadian yang Anda maksud?
Saya tanya beberapa (pengecer), mereka bilang harga beras Bulog Rp 9.300-9.400 per kilogram. Lah, sudah mendekati HET. Pantes, bagaimana mau murah sampai ke konsumen? Terus saya lihat jaringannya.
Melalui satu distributor?
Ya, melalui itulah....
Siapa?
Tjipinang Food Station (PT Food Station Tjipinang Jaya) yang mengkoordinasi semua pedagang di pasar. Di bawahnya ada dua koordinator. Nah, dua ini yang memasok ke pengecer, yang mengkoordinasi para pedagang.
Itu yang Anda maksud mafia beras?
Ya wis pokoknya itu, lah, kalian juga tahu dua itu siapa. Mereka menjual kepada pengecer Rp 9.300-9.400. Kan, hampir menyentuh HET? Waduh, kalau begitu caranya, enggak usah melalui mereka. Panggil saja deh para distributornya langsung. Saya perintahkan Bu Febi dan Pak Yamto (dua direktur Bulog) mengumpulkan mereka. Anehnya, pas mau dikasih, mereka bilang enggak jadi. Bingung saya, orang mau dikasih kok enggak berani. Takut ancaman katanya. Jadi ada ancaman dari mafia, harus lewat dia, tidak boleh langsung dari Bulog. Rekamannya dikasih ke saya. Foto-fotonya ada di saya. Wah, ini gila.
Beras impor sudah terdistribusikan?
Beras impor yang sebagian sudah datang tidak bisa langsung diedarkan. Sebab, begitu kapal bongkar, kami harus membawanya ke gudang. Dihitung, bener enggak jumlahnya? Kualitas sesuai enggak? Semua proses ini diawasi BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Setelah selesai, kami ajukan ini menjadi cadangan beras pemerintah. Setelah disetujui Kementerian Perdagangan, baru bisa kami edarkan. Dan saya enggak ragu-ragu mengedarkan beras itu. Kenapa? Karena itu beras pemerintah, bukan punya Bulog. Maka saya ingin menyalurkan beras impor itu sebanyak-banyaknya. Kalau perlu, kosongkan gudang enggak apa-apa, karena kami tidak berdagang. Sebagian beras juga akan kami kemas dalam kemasan 5 kilogram untuk dijual melalui minimarket.
Berapa banyak yang akan dikemas 5 kilogram?
Ya enggak semua. Ini supaya (pendistribusian) masif, retail itu kan yang menyentuh masyarakat langsung. Saya ingin beras operasi pasar ada di situ dalam kemasan, dengan harga operasi pasar. Akan kami suplai. Saya sudah berkoordinasi dengan Indomaret dan Alfamart. Tolong, ini sebagai bantuan Anda kepada negara, jangan dipungut apa-apa lagi, karena saya ingin ini bisa sampai kepada masyarakat secepatnya. Dalam situasi emergency begini semua harus bekerja sama.
Apa targetnya?
Ini salah satu cara menembus mafia-mafia yang mengendalikan harga. Beras kemasan dijual di toko retail sesuai dengan HET saja sudah untung, karena dari kami harganya murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo