Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi Filipina menangkap Anton Gobai saat membawa 12 senjata api.
Salah satu kubu OPM tak mengakui keanggotaan Anton Gobai.
Diduga berkaitan dengan kasus korupsi Lukas Enembe.
PERSONEL Kepolisian Nasional Filipina mendadak menyetop kendaraan bermotor roda tiga di salah satu pos pemeriksaan kawasan Nalus, Kota Kiamba, Provinsi Sarangani, pada Sabtu, 7 Januari lalu. Ada empat penumpang di kendaraan tersebut. Salah seorang di antaranya Anton Gobai alias Anton Gobay, 29 tahun, warga Jayapura, Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sarangani adalah wilayah paling ujung selatan Filipina yang berada di Kepulauan Mindanao. Jarak ke Manila, ibu kota Filipina, mencapai 1.669 kilometer. Kawasan ini berdekatan dengan Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Karena kerap dilanda konflik, aparat keamanan dan kepolisian Filipina mendirikan banyak posko di Sarangani yang berada di Kepualauan Mindanao itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi mencegat kendaraan yang ditumpangi Anton karena terlihat mencurigakan. Mereka menemukan dua tas berwarna biru. Saat digeledah, tas yang terlihat berat itu ternyata berisi berbagai senjata api laras panjang. “Mereka langsung ditangkap saat itu juga,” ujar Wakil Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina, Dodo Sudradjat, pada Selasa, 24 Januari lalu.
Anton Gobay, WNI asal Papua yang ditangkap di Filipina karena membawa senjata api/Istimewa
Kapten Ralph Marvin Fracia Rivera, polisi Filipina yang memimpin razia, langsung menyita semua tas berisi senjata itu. Sepuluh di antaranya merupakan senjata api laras panjang jenis M4 kaliber 5,56 milimeter. Dua lainnya senjata api laras pendek merek Ingram kaliber 9 milimeter. Tak ada amunisi yang ditemukan.
Sempat muncul insiden saat interogasi awal keempat pria itu. Salah seorang penumpang meminta izin ke luar ruangan. Ia beralasan ingin menelepon kerabat. Rupanya, itu hanya akal-akalan. Pria itu berlari, lalu kabur. Anton Gobai bersama dua tersangka lain, Michael N. Tino, 25 tahun, dan Jimmy Desales Abolde, 53 tahun, diam tak berkutik saat menyaksikan temannya kabur.
Pemerintah Indonesia yang mendapat kabar langsung menerjunkan tim dari Jakarta. Sebanyak sembilan personel Divisi Hubungan Internasional Kepolisian RI terbang ke Manila dua hari kemudian. Mereka meminta izin penyelidikan bersama untuk mengungkap kepemilikan senjata api ilegal tersebut. “Kami juga menawarkan bantuan tim pengacara, tapi Anton menolak,” kata Dodo.
Anton adalah warga Papua kelahiran Ayago, Kabupaten Paniai, Papua. Pria dengan satu anak itu pernah menjadi murid sekolah pilot di All Asia Aviation Academy Filipina pada 2015-2018. Ia merupakan salah satu penerima beasiswa Pemerintah Provinsi Papua di Filipina. Kini ia dikabarkan bekerja di salah satu maskapai penerbangan.
Kedutaan Besar Indonesia di Filipina menyatakan Anton tak pernah beperkara dengan hukum saat menimba ilmu di Filipina. Ia hanya pernah mengirimkan surat permohonan bantuan dana ke Kedutaan. Saat itu, kucuran uang dari pemerintah Papua macet. Ia tak punya uang untuk membayar biaya sekolah.
Kepolisian Nasional Filipina menahan Anton di markas polisi Kota Kiamba. Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Krishna Murti membenarkan kabar bahwa timnya sudah menjalin koordinasi dengan Kedutaan Besar RI dan kepolisian setempat. “Kami meminta akses mereka untuk kerja sama dalam penyidikan,” tuturnya.
Polisi menyebutkan Anton akan menyelundupkan semua senjata api tersebut ke Papua. Ia diduga memanfaatkan jalur penyelundupan dari Kota Davao ke Kota General Santos dengan melewati Provinsi Sarangani. Semua senjata itu diduga bakal masuk Indonesia lewat jalur laut ke Kepulauan Sangihe.
Dari bilik jeruji, Anton sempat membuat video pernyataan. Dalam rekaman berdurasi 5 menit 52 detik itu, ia menyampaikan akan meladeni proses hukum di Filipina. Ia mengakui senjata api itu miliknya dan akan digunakan untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua. “Saya ini orang Papua yang sadar bahwa orang Papua akan memiliki senjata, sekalipun itu barang berbahaya. Orang Papua melakukan itu demi membebaskan tanah yang mereka cintai,” katanya.
Anton Gobai dikabarkan menjabat Panglima Udara West Papua Army (WPA), kelompok sayap Organisasi Papua Merdeka (OPM) kubu Demianus Magai Yogi. Peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict, Deka Anwar, mengatakan organisasi ini berafiliasi dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang dipimpin Benny Wenda.
Di kalangan para milisi, tutur Deka, WPA kerap bersitegang ihwal pola gerakan dengan kelompok OPM lain. Misalnya, saat terjadi bentrokan dengan aparat Indonesia, WPA jarang memberikan dukungan. “Makanya mereka kerap diolok-olok sebagai intel oleh sesama OPM,” ujarnya.
West Papua Army dulu merupakan bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pimpinan Egianus Kogoya. Belakangan, kelompok ini terpecah karena banyak faktor. Salah satunya klaim Benny Wenda yang memproklamasikan diri sebagai Presiden Papua Barat.
Padahal ia hanya dianggap figur yang mewakili diplomasi ULMWP di luar negeri. Benny kini tercatat sebagai permanent residence di Kota Oxford, Inggris, setelah mendapatkan suaka. “Dia bukan orang lapangan,” ucap Deka.
Dalam pernyataan tertulis, juru bicara TPNPB, Jeffrey Bomanak, membenarkan keanggotaan Gobai. Ia meminta pemerintah Filipina segera membebaskan Gobai. “Ketua TPNPB OPM meminta otoritas Filipina menghormati perjuangan rakyat Papua dan segera membebaskan Anton Gobai tanpa syarat,” ujarnya.
Lagi-lagi pernyataan itu dianggap klaim sepihak. Keterangan Jeffry dibantah juru bicara TPNPB OPM kubu Goliath Naaman Tauni, Sebby Sambom. Menurut dia, Anton bukanlah anggota TPNPB. “Dia bukan anggota TPNPB,” ujarnya saat dihubungi.
Hubungan dengan Lukas Enembe
FOTO tertanggal 6 Desember 2022 itu memperlihatkan persamuhan di rumah dinas Gubernur Papua Lukas Enembe. Sang Big Man—sebutan untuk Lukas—tengah menjamu 22 siswa penerbangan asli Papua. Mereka mengenakan seragam lengkap dengan tanda pangkat.
Dalam foto itu, mereka berdiri mengelilingi Lukas yang duduk dan mengenakan kemeja batik lengan pendek. Tangan kanan mereka mengepal. Seorang jenderal polisi menyebutkan Anton Gobai ikut dalam pertemuan itu. Ia berada persis di belakang Lukas. “Gobai punya kedekatan dengan Lukas,” katanya.
Pertemuan itu terjadi sebulan sebelum Lukas diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi. Tim penyidik yang dikawal pasukan Brigade Mobil menangkap Lukas di Abepura, Jayapura, pada Selasa, 10 Januari lalu.
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah lama memburu Lukas yang disangka menerima suap Rp 1 miliar dari PT Tabi Bangun Papua. Sejak diumumkan sebagai tersangka pada 14 September 2022, rencana pemeriksaan Lukas berjalan alot. Ia selalu mangkir untuk diperiksa. Ia juga tak bisa dijemput paksa karena rumah dinasnya dijaga ribuan pendukung.
Data imigrasi Kedutaan Besar RI di Filipina mendeteksi Anton Gobai berada di Filipina sejak 9 September 2022. Ia meninggalkan Filipina dan kembali ke Papua pada awal Desember 2022 atau sebelum pertemuan para siswa penerbangan di rumah Lukas Enembe.
Wakil Duta Besar RI untuk Filipina, Dodo Sudradjat, mengaku tak mengetahui aktivitas Anton selama berada di Filipina. “Dari pemberitaan kami ketahui dia sudah tiga kali berencana membeli senjata. Dua di antaranya gagal,” ucapnya.
Seorang penyidik yang mengetahui kasus itu menceritakan Anton Gobai sempat menjalin komunikasi dengan sejumlah orang berinisial M, SM, YM, dan TW pada 2022. Mereka membahas rencana pembelian senjata dan amunisi untuk kebutuhan milisi Organisasi Papua Merdeka di Nabire dan Jayapura.
Anton menyanggupi permintaan itu. Ia lalu berburu senjata lewat jaringan aktivis Moro National Liberation Front yang berkedudukan di Kepulauan Mindanao. Organisasi ini pernah bersitegang dengan pemerintahan Filipina untuk pembebasan rakyat Moro.
Tersangka Gubernur Papua, Lukas Enembe, seusai menjalani pemeriksaan perdana pasca penahanan secara paksa, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 17 Januari 2023/Tempo/Imam Sukamto
Polri menyebut Anton membeli senjata api M4 seharga 50 ribu peso per pucuk atau setara dengan Rp 13,7 juta. Harga ini tergolong murah karena harga M4 di pasaran mencapai Rp 95 juta per pucuk. Sementara itu, harga amunisi mencapai Rp 100-500 ribu per butir. Sebagai perbandingan, harga untuk sebutir peluru di lapangan tembak resmi di Indonesia Rp 10 ribu per butir.
Dua orang yang mengetahui kasus Anton Gobai mengatakan Lukas Enembe diduga mendanai pembelian senjata tersebut. Selama ini Lukas kerap dituding menggelontorkan fulus untuk milisi di Bumi Cenderawasih. Salah satu tujuannya adalah menghalangi penangkapan Lukas oleh KPK.
Dalam video testimoni, Anton tak menyinggung sumber dana pembelian senjata. Tapi ia membantah menghadiri pertemuan di rumah Lukas tersebut. “Itu orang yang mirip dengan saya atau memang sengaja diedit,” ujarnya.
Juru bicara Lukas Enembe, Muhammad Rifai Darius, membantah tudingan Lukas Enembe membiayai pembelian senjata Anton Gobai. Ia meminta agar tuduhan itu dibuktikan. "Jika ada bukti, informasinya lebih fair,” tulisnya lewat akun WhatsApp.
Ia juga membantah kabar bahwa Lukas pernah berfoto dengan Anton. Ia malah mengklaim tak ada Anton Gobai dalam foto Lukas bersama para pilot asal Papua tersebut. “Coba cek lagi, cuma mirip aja itu,” katanya.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengaku masih mendalami kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Lukas. Mereka belum menelusuri aliran uang Lukas ke kelompok OPM. “Jika dalam pemeriksaan ditemukan dugaan tindak pidana lain, tentu kami akan tindak lanjuti,” ucapnya.
Pernyataan serupa juga disampaikan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Krishna Murti. “Masih kami dalami,” tuturnya.
LINDA TRIANITA, EKA YUDHA SAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo