Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan pemerintah perlu terus memperhatikan dinamika perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina. Meski bukan satu-satunya, Andry melihat perang dagang bukan menjadi momok ekonomi domestik satu-satunya dalam jangka pendek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jangka pendek itu bukan trade war atau perang dagang karena tradewar sangat sulit diprediksikan. Namun kalau dilihat ini yang tidak kami harapkan adalah currency war atau perang kurs mata uang," kata Andry dalam paparannya di Plaza Mandiri, Jakarta Selatan, Senin 9 September 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun pada pekan kedua Agustus 2019 kemarin Pemerintah Cina dikabarkan mendevaluasi nilai uang yuan menjadi 7 yuan per dolar Amerika Serikat (AS). Angka ini tercatat menjadi yang terendah dalam 11 tahun terakhir. Akibat devaluasi tersebut nilai tukar rupiah tercatat anjlok hingga 2 persen hingga ke level Rp 14.300 per dolar AS.
Perang mata uang tersebut, kata Andry, khususnya apabila pemerintah Cina lewat mata uang yuan melakukan devaluasi. Hal ini tentu bisa berdampak pada pelemahan nilai tukar mata uang lain, termasuk rupiah. Andry mengingatkan pelemahan tersebut terjadi tidak hanya antara rupiah dengan yuan tetapi juga rupiah dengan dolar Amerika Serikat (AS).
Andry menuturkan jika perang mata uang terjadi hal ini bisa berdampak pada berpindahnya modal asing atau capital outflow. Kendati demikian, Andry juga mencatat pelemahan atau devaluasi yuan tersebut terjadi secara one shot event atau bukan sesuatu yang permanen.
"Jadi mesti terjadi devaluasi, terjadinya one shot event, setelah itu terjadi reballancing atau penyeimbangan kembali terhadap rupiah dan dolar AS. Ini salah satu dampak positifnya," kata Andry.
Meski ada potensi perang nilai tukar, untungnya masih ada hal positif yang mendukung perekonomian domestik. Salah satunya adalah tren tingkat suku bunga yang berubah menjadi tight menjadi lenih longgar atau dovish. Tren ini, kata Andry, menjadi penghela napas yang cukup bagi para pelaku ekonomi.
Andry melanjutkan, meski perang nilai tukar diharapkan tidak terjadi, pemerintah mesti terus memperhatikan kondisi pelambatan ekonomi global. Sebab hal ini berdampak pada volume perdagangan negara tujuan ekspor Indonesia seperti Amerika Serikat dan Cina.