Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Arus dana investor asing ke pasar keuangan Indonesia kian deras.
Sebanyak Rp 12,47 triliun dana asing masuk ke bursa saham nasional.
Saat investor masuk, eksportir malah menyimpan dolar di luar negeri.
AURA positif menyinari pasar keuangan Indonesia. Ketika ekonomi dunia khawatir akan datangnya resesi dan cekikan inflasi tinggi, pasar keuangan Indonesia tampil sebagai alternatif tempat berinvestasi. Lebih dari sekadar dianggap aman, pasar Indonesia menjanjikan potensi imbal hasil lebih baik bagi investasi asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, arus dana asing masuk makin deras. Di pasar obligasi pemerintah, sepanjang kuartal I 2023, ada modal asing senilai Rp 55,5 triliun yang mengalir masuk. Ini pertumbuhan kuartalan terbesar dalam empat tahun terakhir. Tren ini berlanjut. Sejak awal bulan hingga Kamis, 13 April lalu, ada Rp 5,4 triliun lagi dana asing yang masuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pasar saham, tren serupa berlangsung. Sebanyak Rp 12,47 triliun dana asing masuk sejak awal tahun hingga Jumat, 14 April lalu. Masuknya korporasi besar yang prospektif ke bursa saham makin mengundang minat asing. Di sektor energi, ada PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang masuk bursa Februari lalu. Selain itu, ada PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) yang masuk pekan lalu dan kemudian PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) pekan ini.
Investor asing tentu juga menelaah Indonesia secara makro. Di sini situasinya juga membuat pengelola dana investasi global makin tergiur karena semua tampak bagus, terutama berbagai indikator inflasi yang terkendali. Misalnya angka inflasi tahunan per akhir Maret 2023 tercatat hanya 4,97 persen, turun hingga 0,5 persen dibanding pada tahun lalu. Inflasi bulanan per Maret 2023, saat sudah memasuki bulan puasa, yang biasanya angkanya melesat tinggi, juga relatif tetap lunak di level 0,18 persen.
Rendahnya angka inflasi membuat imbal hasil atau yield obligasi Indonesia lebih menarik di mata investor global. Setelah disesuaikan dengan mengurangkan angka inflasi, obligasi pemerintah Indonesia masih memberi yield riil 1,8 persen. Menurut data Bloomberg, yield riil obligasi Indonesia menduduki peringkat keempat terbesar di antara 13 negara berkembang lain.
Derasnya dana asing yang mengalir masuk melalui pasar keuangan membuat cadangan devisa Indonesia langsung menggelembung, ada tambahan US$ 5 miliar selama Maret 2023 saja sehingga mencapai US$ 145,2 miliar pada akhir bulan itu. Ini angka cadangan devisa terbesar semenjak November 2021.
Secara riil, dalam kehidupan sehari- hari, segala angka bagus ini tecermin pada menguatnya kurs rupiah. Pada Jumat, 14 April lalu, kurs rupiah tercatat 14.715 per dolar Amerika Serikat. Ini penguatan yang cukup signifikan dalam tempo kurang dari empat bulan, sebesar 5,49 persen jika dibandingkan dengan posisi rupiah pada awal tahun.
Para analis bahkan menilai rupiah masih berpeluang menguat lebih jauh. Sebab, kinerja ekspor Indonesia cenderung baik kendati harga komoditas mulai merosot. Ada faktor pemulihan ekonomi Cina yang dapat menjaga harga komoditas sehingga penerimaan ekspor Indonesia tak melorot. Selama dua bulan pertama 2023, surplus perdagangan Indonesia mencapai US$ 9,36 miliar, lebih besar ketimbang surplus pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 8,37 miliar.
Sayangnya, surplus ini masih berupa catatan bagus di atas kertas. Secara riil, eksportir Indonesia masih enggan membawa pulang devisa hasil ekspor ke Indonesia. Aliran dolar melalui pasar finansiallah yang sekarang membuat posisi ekonomi Indonesia lebih kokoh dalam menghadapi gejolak pasar global.
Bank Indonesia sudah menciptakan instrumen baru untuk menarik penempatan devisa hasil ekspor ke dalam negeri. BI bahkan memberi iming-iming bunga tinggi, setara dengan tawaran bank-bank Singapura. Namun instrumen itu belum cukup berhasil menggugah para taipan pemilik korporasi pengeruk hasil alam negeri ini. Sejak peluncurannya pada awal Maret lalu, devisa yang masuk ke instrumen ini hanya US$ 360 juta, sungguh jauh ketimbang surplus perdagangan yang mencapai miliaran dolar Amerika per bulan.
Ini ironi yang menyedihkan. Ketika investor di pasar keuangan begitu optimistis membawa dolar masuk ke Indonesia, korporasi yang mendapat konsesi mengelola hasil alam, dengan beribu alasan, masih lebih suka mengamankan devisa di pasar keuangan antah-berantah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Ironi Arus Dolar"