Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Jurus Berlindung Bila Badai Datang

Upaya Indonesia melokalisasi pasar obligasi rupiah menjadi sorotan, bersamaan dengan larinya investor di negara berkembang ke aset yang lebih aman.

7 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upaya Indonesia untuk melokalisasi pasar obligasi rupiah menjadi sorotan bersamaan dengan gelagat hengkangnya para investor di negara berkembang demi mencari aset-aset yang lebih aman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Indonesia saat ini yakin naiknya kepemilikan investor lokal terhadap obligasi berdenominasi rupiah akan melindungi sistem keuangan domestik dari setiap goncangan dan kepanikan saat krisis global muncul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, ketimbang menghabiskan waktu untuk memaksa masyarakat membeli surat utang dalam negeri berdenominasi rupiah, pemerintah sebaiknya mendorong terciptanya iklim yang lebih ramah terhadap investasi langsung asing, termasuk merombak Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terlalu kaku.

Ada pendapat bahwa rupiah saat ini sedikit lebih rentan terhadap arus modal yang keluar tiba-tiba bila terjadi keseimbangan baru terhadap kepemilikan investor asing. Per Juni 2019, asing memiliki porsi 39 persen dari US$ 179 miliar pasar obligasi domestik.

Proporsi tersebut merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Sebuah penelitian mengasosiasikan naiknya kepemilikan surat utang  investor dalam negeri dengan imbal hasil (yield) yang lebih rendah dan stabil—seperti yang diyakini pemerintah. Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap masyarakat kelas menengah tertarik untuk mencurahkan investasi pada surat berharga agar rasio kepemilikan asing turun 20 persen.

Tapi itu semua hanyalah angan-angan, terutama setelah melihat sulitnya kondisi ekonomi yang membatasi kemampuan rata-rata masyarakat Indonesia untuk meningkatkan jumlah tabungan. Rasio ini tidak mungkin bergeser dalam waktu dekat—meskipun di tengah kepanikan global yang merajalela. Apalagi imbal hasil yang relatif tinggi di Indonesia merupakan daya tarik besar bagi investor di pasar negara berkembang.

Sebagai gantinya, pemerintah seharusnya melindungi rupiah dengan menjalankan reformasi untuk menarik lebih banyak investasi langsung asing, yang lebih menguntungkan ketimbang mendorong masuknya arus modal dalam bentuk portofolio.

Mengatur Perubahan

Setelah nilai tukar rupiah jeblok pada tahun lalu, Bank Indonesia berusaha menahan laju penurunan dengan menaikkan suku bunga secara kumulatif sebesar  175 basis poin. Tapi kebijakan The Fed telah bergeser.  Bank Indonesia pun kini lebih fokus meningkatkan pertumbuhan. Hal ini dibuktikan dengan mengurangi suku bunga 25 basis poin pada Agustus lalu. Penurunan itu merupakan yang kedua kalinya pada tahun ini.

Rupiah akan tetap berada di bawah tekanan selama Indonesia dan pasar negara berkembang lainnya menghadapi guncangan, seperti anjloknya ekspor dan pertumbuhan yang melambat seiring berlangsungnya perang dagang Amerika Serikat dan Cina, serta melambatnya ekonomi Cina.

Tekanan lainnya datang dari masa penyimpanan dana repatriasi hasil program amnesti pajak yang berakhir pada Oktober tahun ini. Dana repatriasi itu wajib disimpan selama tiga tahun. Program yang diselenggarakan sejak September 2016 sampai Maret 2017 ini berhasil mengumpulkan Rp 147 triliun dana milik investor domestik yang sebelumnya disimpan di luar negeri. Angka tersebut bukanlah jumlah yang kecil. Apalagi arus masuk portofolio per tiga bulan rata-rata berkisar US$ 4,4 miliar dalam tiga tahun terakhir.

Mengandalkan Diaspora

Untuk mendorong kepemilikan obligasi dalam negeri, pemerintah telah memberikan sinyal untuk mengeluarkan “obligasi diaspora” yang ditujukan untuk 8 juta warga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Hal ini bisa jadi mirip dengan obligasi ritel, apabila pengambilannya berpengaruh, mereka hanya akan berdampak kecil pada keseluruhan kepemilikan pasar obligasi. Investor ritel indonesia mengendalikan kurang dari 3 persen dari total surat berharga pemerintah, yang hampir tidak berubah sejak 2013.

Bank merupakan pemegang obligasi terbesar pemerintah. Tapi porsi kepemilikan mereka turun menjadi 23 persen dari sebelumnya 34 persen sejak 2013. Rupanya bank lebih banyak menyalurkan pinjaman ke sektor riil. Ini juga menandakan kelemahan pada selera dan kapasitas rata-rata orang Indonesia untuk menabung di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi saat ini. Pertumbuhan tabungan rumah tangga tahunan juga secara konsisten melemah dalam lima tahun terakhir.

Longgarkan Peraturan

Pemerintah sebaiknya lebih fokus meningkatkan arus masuk investasi langsung asing daripada terpaku pada rasio kepemilikan asing. Presiden Joko Widodo telah membuat sejumlah kemajuan dalam membuat Indonesia lebih terbuka terhadap pelaku bisnis. Menurut Bank Dunia, peringkat Indonesia dalam kemudahan melakukan bisnis meningkat ke posisi 72 pada 2018 dari peringkat 114 pada 2014. Namun angka tersebut kembali turun menjadi peringkat 73 pada tahun ini, yang sekaligus menandakan reformasi yang mandek.

“Bila Indonesia dapat menemukan cara untuk bisa lebih terbuka pada investasi langsung asing, maka hal ini akan mengurangi ketergantungan pemerintah pada arus masuk portofolio dan mengurangi risiko terhadap pembiayaan defisit transaksi berjalan,” kata Jon Harrison, Direktur Pelaksana EM Macro Strategy di TS Lombard.

Produktivitas tenaga kerja tetap menjadi hambatan terbesar bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ekspor batu bara besar-besaran berakhir di tahun 2012 dan pertumbuhan produktivitas buruh menurun 2,6 persen tahun lalu dari 5,6 persen di 2013 saat pertumbuhan pekerjaan melambat dan angka kurangnya pemanfaatan tenaga kerja meningkat.

Rendahnya produktivitas mencerminkan hukum ketenagakerjaan yang tidak fleksibel. Perusahaan di Indonesia terpaksa bergantung kepada pekerja kontrak karena mereka dilarang untuk memecat pegawai tanpa ada pelanggaran kriminal dan harus memberikan pesangon yang tidak sedikit.

Pemerintah telah berusaha melakukan reformasi sejak krisis finansial Asia terjadi, tapi ikhtiar itu terhalang oleh aktivis buruh.

Tidak lama setelah terpilih kembali pada pemilu April 2019 lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan bahwa ia akan bersikap tanpa beban pada periode kedua jabatannya. Ia berjanji untuk menurunkan pajak perusahaan, merombak undang-undang ketenagakerjaan, dan mencabut pembatasan kepemilikan asing. Namun, penundaan pengumuman anggota kabinet baru, yang dimaksudkan untuk menunjukkan komitmennya pada reformasi, menunjukkan bahwa ia masih rentan terhadap tekanan politik.

Penasihat ekonomi Presiden mengatakan Rancangan Undang-Undang untuk meninjau Undang-undang Ketenagakerjaan akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat setelah kabinet baru terbentuk. Namun para analis tidak yakin akan hal itu.

Perlawanan untuk perubahan sangatlah keras. DPR memiliki rekam jejak yang buruk dalam mengesahkan undang-undang.  “Sepertinya akan sulit bagi pemerintah untuk mendorong revisi UU Ketenagakerjaan,” kata Arya Fernandes, analis Center for Strategic and International Studies di Jakarta.


FINANCIAL TIMES

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus