Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUSUTAN perkara suap dari petinggi Komite Olahraga Nasional Indonesia kepada pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga terkait dengan pencairan dana hibah mulai mengarah ke Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Komisi Pemberantasan Korupsi salah satunya bersandar pada putusan Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E. Awuy. “Fakta sidang mengenai aliran dana Rp 11,5 miliar sedang didalami KPK,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Kamis, 13 Juni lalu.
Selama proses persidangan Hamidy dan Johnny terungkap keduanya memberikan duit pelicin Rp 11,5 miliar kepada Menteri Imam Nahrawi melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Keterangan tersebut kemudian diperkuat amar putusan. Majelis hakim juga meyakini Hamidy dan Johnny memberikan duit Rp 11,5 miliar kepada Menteri Imam melalui Ulum dan anggota staf protokol Kementerian Olahraga, Arief Susanto. “Jika fakta persidangan ini berkesesuaian dengan bukti-bukti lain yang ada, pasti kami telusuri keterlibatan pihak lain,” ujar Febri.
Pemberian uang dari Hamidy dan Johnny kepada pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga yang diusut KPK berlangsung selama periode 2018. Kasus ini bermula saat tim penindakan lembaga antikorupsi itu meringkus Hamidy, Johnny, Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi dan Olahraga Kementerian Olahraga Mulyana, serta Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Olahraga Adhi Purnomo dan anggota stafnya, Eko Triyanto, pada perte-ngahan Desember 2018.
Ketika itu, Hamidy dan Johnny baru saja mencairkan dana hibah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk alokasi pengawasan dan pendampingan seleksi bakal calon atlet dan pelatih buat SEA Games 2019 senilai Rp 17,9 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar 19 persen dialokasikan untuk fee kepada Ulum dan beberapa pejabat Kementerian Olahraga serta buat kebutuhan lain.
Peran Ulum dalam proses pengajuan dan percepatan pencairan dana hibah sa-ngat penting. Dalam dokumen yang diper-oleh Tempo, Ulum-lah yang menyarankan Hamidy mengajukan proposal pengawas-an dan pendampingan senilai Rp 25 miliar meski sudah memasuki akhir tahun.
Ulum sempat memanggil Hamidy ke ruang kerjanya di lantai 10 gedung Kementerian Pemuda dan Olahraga. Ruang kerja Ulum berada di samping ruangan menteri. Dalam dokumen itu disebutkan Ulum menjelaskan kepada Hamidy mengenai banyaknya pejabat Kementerian Olahraga dipanggil Kejaksaan Agung pada sekitar Juli 2018. Pemanggilan ini terkait dengan dana bantuan sebesar Rp 25 miliar dari Kementerian Olahraga kepada KONI pada 2017.
Kejaksaan menganggap ada kesalahan terkait dengan bantuan pengawas dan pendamping dari Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk KONI tahun 2017 yang diusulkan Lewat proposal sebesar Rp 26,5 miliar. Sedangkan anggaran yang turun hanya Rp 25 miliar. Perubahan jumlah dana yang turun tersebut tidak ada dasarnya serta tidak ada rencana anggaran belanja.
Menurut Ulum dalam dokumen itu, Kejaksaan nantinya akan memanggil KONI sebagai pihak yang diklarifikasi saja. Karena itu, Ulum membutuhkan dana Rp 7 miliar untuk biaya entertainment Kejaksaan Agung agar menghentikan pemanggilan para pejabat Kementerian Olahraga tersebut.
Ulum dan Hamidy sepakat memasukkan dana entertainment ke proposal KONI de-ngan menyesuaikan mata anggaran yang ada. Dengan adanya konsekuensi penyelesaian perkara tersebut, Hamidy mengajukan proposal dengan judul untuk biaya pendampingan dan pengawasan seleksi bakal calon atlet dan pelatih buat SEA Games 2019 ke Kementerian Olahraga senilai Rp 25 miliar pada Agustus 2018. Karena harus menyelesaikan mata anggaran yang ada, Hamidy merevisi proposal berkali-kali.
Proposal ini sempat mangkrak dua bulan karena tim verifikasi menganggapnya janggal dan mereka tak berani memprosesnya. Sebab, beberapa bulan sebelumnya sudah ditandatangani nota kesepakatan pemberian bantuan dana dari Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan juga sebesar Rp 30 miliar. Nota kesepakatan bantuan dana Rp 30 miliar ini berlaku setahun alias sampai Desember 2018 sehingga tidak mungkin lagi ada pemberian bantuan dengan kegiatan yang sama.
Dengan adanya proposal yang diajukan KONI yang alasannya tidak masuk akal tersebut, Mulyana beserta tim -verifikasi dan ahli hukum melakukan pembahas-an pada Oktober 2018. Mereka pun mencari cara agar permohonan dana bantuan yang mengada-ada dari KONI bisa disetujui. Mulyana menyiasatinya dengan meng-ubah judul proposal dan peruntukan ang-garannya menjadi database atlet.
Menurut Mulyana, rapat tersebut legal karena berdasarkan disposisi Menteri Imam Nahrawi yang bertulisan “telaah dan laporkan”. Mulyana juga dikejar--kejar Ulum agar segera memproses proposal yang disebut “untuk entertainment Blok M” itu. Blok M merujuk pada kantor Kejaksaan Agung yang berada di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Komisi Menteri Lewat Asisten Pribadi/TEMPO/Imam Sukamto
Karena ada permintaan khusus itu, Mul-yana beserta tim verifikasi dan tim hukum akhirnya menyetujui anggaran proposal tersebut hanya Rp 15 miliar. Namun Hamidy merasa anggaran tersebut kurang karena ada daftar permintaan dari Ulum untuk biaya menyelesaikan perkara tadi sehingga diotak-atik lagi menjadi Rp 17,9 miliar. Proposal yang disetujui Rp 17,9 miliar itu kemudian digunakan untuk fee Kementerian Pemuda dan Olahraga Rp 3,4 miliar, biaya operasional KONI, serta alokasi biaya entertainment Kejaksaan Agung Rp 6-7 miliar.
Tak cuma sekali ini Hamidy dan Ulum memainkan anggaran kementerian de-ngan pemberian fee atau cash back. Di persidangan, Hamidy mengaku mendapat laporan dari Johnny E. Awuy bahwa telah memberikan uang kepada Menteri Pemuda dan Olahraga melalui Ulum berupa kartu anjungan tunai mandiri dengan saldo Rp 150 juta.
Pada awal 2018, Hamidy mengaku memberikan uang Rp 2 miliar kepada Ulum di ruang kerja Sekretaris Jenderal KONI di lantai 12. Pemberian ini disaksikan anggota staf Hamidy, Lina Nurhasanah. Sebulan berikutnya, Hamidy kembali memberi Ulum Rp 500 juta.
Saat dana pengawasan dan pendam-pingan senilai Rp 21 miliar cair pada Juni, Hamidy memerintahkan Johnny memberi-kan uang Rp 3 miliar kepada orang suruh-an Ulum. Pada bulan yang sama, Hamidy memerintahkan Johnny menukarkan uang ke dolar Singapura dan Amerika Serikat dalam rangka perintah Ulum untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi KONI, Kementerian Olahraga, serta Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) di Kejaksaan Agung.
Tujuannya untuk menghentikan pemanggilan terhadap sekitar 30 saksi dari Kementerian Olahraga di Kejaksaan Agung terkait dengan laporan pertanggungja-waban dana pengawasan dan pendamping-an di KONI serta terkait dengan penghentian penyidikan kasus Satlak Prima yang sedang dihadapi Kementerian. Menurut pengakuan Hamidy, biaya penghentian kasus hukum yang sedang dihadapi tersebut ditanggung renteng oleh KONI serta Kementerian Olahraga sekitar Rp 12 miliar.
Semua uang itu dikonversikan ke valuta asing. Hamidy juga mengaku pernah menyerahkan uang Rp 300 juta kepada Menteri Imam Nahrawi saat acara muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, pada 2016. Menurut Hamidy, pemberian uang itu dilakukan di sebuah cottage di Jombang kepada salah satu ajudan menteri, yang juga disaksikan Imam, Ulum, dan beberapa tamu lain.
Hamidy mengatakan total pemberian kepada Ulum sebesar 5-7 persen dari besaran anggaran yang dicairkan. Namun besar-an tersebut bisa lebih besar jika anak buah Hamidy sekiranya mampu menyiasati laporan pertanggungjawabannya nanti.
Kuasa hukum Hamidy, Arif Sulaiman, enggan berkomentar saat dimintai konfirmasi pengakuan kliennya mengenai peng-ajuan proposal atas perintah Ulum untuk menyelesaikan persoalan di Kejaksaan Agung. Namun, ihwal beberapa kali pemberian duit dari Hamidy kepada Ulum itu, Arif tak menepisnya. “Semua sudah disampaikan klien kami di persidangan. Hal itu juga dikuatkan keterangan saksi lain,” ujar Arif.
Sementara para pejabat KONI sudah buka-bukaan, justru kebalikannya terjadi kepada Menteri Imam dan Ulum. Saat bersaksi untuk terdakwa Hamidy dan Johnny beberapa waktu lalu, Imam mengaku tidak tahu jumlah dana hibah yang telah digelontorkan Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk KONI. Dia mengatakan hanya membuat disposisi tanpa mengetahui jumlah yang telah dikeluarkan kementeriannya.
Dugaan fee atau komisi menteri
Menurut menteri yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa itu, kajian proposal bantuan dana diproses dan diverifikasi deputi terkait. Dia juga mengklaim tidak tahu ada cash back hingga Rp 11,5 miliar atas pen-cairan dana hibah untuk KONI yang diberikan melalui asisten pribadinya, Ulum. Bahkan, saat majelis hakim mengkonfirmasi soal pemberian duit-duit itu, Imam mengklaim tidak tahu. “Tidak tahu Yang Mulia, tidak Yang Mulia,” kata Imam saat bersaksi dalam persidangan Hamidy, 30 April lalu.
Saat dimintai konfirmasi ulang soal sepak terjang Ulum dan fee tersebut, Imam menyatakan akan menerima Tempo pekan ini. “Saya masih di luar kota. Semoga artikelnya bukan framing,” ucap Imam.
Bantahan serupa disampaikan Ulum saat bersaksi dalam sidang Hamidy dan Johnny pada 25 April lalu. “Saya tidak pernah tahu dan tidak pernah merasa menerima,” ujar Ulum.
LINDA TRIANITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo