Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bertahun-tahun mandek, rencana revisi Undang-Undang Penyiaran kembali dibahas di Senayan.
Nasib migrasi televisi analog ke digital tak menentu.
Berpotensi kembali mengakomodasi kepentingan penyelenggara siaran televisi swasta nasional.
PURNAMA Ningsih sudah jarang menonton siaran televisi terestrial di rumah. Bukan apa-apa, dia hanya senewen. Saban kali memencet pilihan kanal digital di remote, sinyalnya belakangan selalu kucing-kucingan. “Padahal kalau ada sinyal kualitas gambarnya bagus,” kata Ningsih—begitu perempuan 33 tahun ini biasa dipanggil—Jumat, 7 Februari lalu.
Ningsih membeli televisi yang agak canggih pada Desember 2018, bertepatan dengan hari belanja online nasional. Pasar menyebutnya smart TV alias televisi pintar, yang bisa tersambung langsung ke jaringan Internet, juga cekatan menangkap siaran free-to-air analog dan digital. Ningsih masih ingat beberapa kanal televisi digital yang ia sempat tonton sepanjang tahun lalu. Di antaranya NET TV, RTV, BeritaSatu, dan TempoTV—yang terafiliasi dengan majalah ini. Ada juga stasiun televisi lokal. “Tapi lupa namanya,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siaran televisi digital itu sempat bisa dinikmati setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penyiaran Simulcast dalam rangka Persiapan Migrasi Sistem Penyiaran Televisi Analog ke Sistem Penyiaran Televisi Digital. Regulasi tersebut membolehkan stasiun televisi analog memancarkan siaran di sistem analog ataupun digital secara bersamaan (simultaneous broadcast atau simulcast). Penyelenggara siaran televisi digital juga dibolehkan bersiaran bekerja sama dengan TVRI sebagai pengelola multipleksing—pemancar siaran digital ke televisi.
Tapi, bagi Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI), simulcast saja tidak cukup. Agar tercipta ekosistem penyiaran digital, siaran analog yang saat ini mereka anggap rakus lantaran memakan 328 megahertz (MHz) spektrum di frekuensi emas, yakni 700 MHz, harus segera dimatikan. “Kalau ekosistem belum terbentuk, tidak akan ada penonton,” kata Sekretaris Jenderal ATSDI Tulus Tampubolon di Jakarta, Selasa, 4 Februari lalu. “Kami harus bertemu dengan pesaing. Ketemu dengan penonton.”
Tulus melihat masih ada harapan ekosistem televisi digital terbentuk. Pada Rabu, 29 Januari lalu, Komisi Penyiaran Dewan Perwakilan Rakyat memanggil empat asosiasi televisi dalam rapat dengar pendapat mengenai rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sehari sebelum bertemu dengan perwakilan asosiasi televisi, Komisi Penyiaran memanggil Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang diwakili Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Ahmad M. Ramli.
Dua rapat ini menandai dimulainya kembali pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran yang diagendakan sejak 2007 oleh DPR. Komisi Penyiaran sebenarnya telah merampungkan draf revisi pada 2017. Namun hingga kini pembahasan berkas itu mandek di Badan Legislasi. “Kita sudah ketinggalan migrasi ke digital dibanding negara lain, bahkan di ASEAN,” ucap Tulus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
DALAM rapat dengan legislator bidang penyiaran, Selasa, 28 Januari lalu, Ahmad M. Ramli kembali mengingatkan betapa mendesaknya migrasi siaran televisi analog ke digital. Indonesia tertinggal dari Singapura dan Malaysia, yang lebih dulu pindah ke siaran digital pada 2019. Bahkan Myanmar akan melakukannya tahun ini.
Dalam beberapa kali pertemuan forum telekomunikasi dunia, mereka berulang kali menanyakan kapan Indonesia merealisasi rencana migrasi ke televisi digital. “Mereka protes lisan,” kata Ramli. Negeri jiran itu berkepentingan karena siaran analog Indonesia kerap menimpa siaran digital mereka.
Konferensi Radio Komunikasi Regional yang digelar Organisasi Telekomunikasi Sedunia (ITU) pada 2006 di Jenewa, Swiss, sebetulnya telah menyepakati rencana migrasi siaran analog ke digital paling lambat 17 Juni 2015. Indonesia salah satu peratifikasi perjanjian ini. Belakangan, negara-negara di kawasan Asia meminta kompensasi sampai 2020. Rencananya, frekuensi yang ditinggalkan siaran analog, yakni 700 MHz, digunakan untuk layanan kebencanaan dan jaringan Internet cepat, seperti 5G. Frekuensi ini yang terbaik karena dapat menjangkau area luas serta menembus gunung dan cuaca buruk.
Masalahnya, frekuensi itu hingga kini dikuasai 14 stasiun televisi nasional. Untuk beroperasi secara analog, mereka “mengaveling” spektrum sebesar 328 MHz di frekuensi 478-806 MHz. Belasan perusahaan penyiaran penguasa frekuensi publik ini pula yang mendominasi pendapatan iklan televisi senilai Rp 110,46 triliun pada 2018.
Pemerintah sudah menghitung, bila terjadi migrasi ke siaran digital, kebutuhan spektrum frekuensi televisi yang ada—baik analog maupun digital—hanya sebesar 176 MHz. Dalam siaran digital, satu spektrum frekuensi bisa menampung sampai 13 kanal dengan kualitas gambar standar (SD) atau enam kanal jika beresolusi tinggi (HD). Hanya dibutuhkan satu multipleksing untuk menangkap konten-konten dari stasiun televisi dan memancarkannya secara bersamaan ke televisi konsumen. Pelanggan tinggal menyediakan televisi pintar atau televisi biasa dengan set top box.
Pemerintah menyiapkan siaran digital di frekuensi 518-694 MHz. Pemerintah juga mencadangkan 40 MHz di frekuensi 478-518 untuk pengembangan siaran digital. Dari penataan ulang itu, terdapat sisa spektrum sebesar 112 MHz. Spektrum tersisa hasi efisiensi migrasi dari penyiaran analog ke digital itu disebut digital dividend.
Kelak, digital dividend bisa dipakai untuk layanan peringatan dini kebencanaan, pendidikan, tele-medicine, dan akses Internet jaringan 5G. “Ini kekayaan negara yang sangat terbatas,” ucap Ramli. Migrasi analog ke digital alias analog switch off (ASO) adalah prasyarat agar negara bisa mengambil alih kekayaan tersebut dari 14 stasiun televisi nasional.
Boston Consulting Group, lembaga riset dunia, pernah menghitung digital dividend bagi Indonesia. Bila migrasi analog dimulai pada 2020, hingga 2026 akan terjadi penambahan produk domestik bruto sebesar Rp 443,8 triliun. Pajak dan penerimaan negara bukan pajak pun berpotensi naik Rp 77 triliun, usaha baru bertambah 181 ribu unit, dan ujungnya ada 232 ribu lapangan kerja baru.
Pada 2011-2012, Kementerian Komunikasi dan Informatika sebenarnya sempat memulai migrasi ini lewat penerbitan serangkaian regulasi. Namun peraturan Menteri Kominfo itu kemudian digugat di Mahkamah Agung. Belakangan, pada 2013, MA membatalkan ketentuan tersebut dan menyatakan migrasi analog ke digital harus diatur dalam undang-undang. Undang-Undang Penyiaran yang terbit pada 2002 belum mengatur migrasi itu. “Padahal di negara lain ASO cuma pakai keputusan eksekutif,” kata Ramli.
•••
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengikuti rapat kerja dengan Komisi Penyiaran DPR, yang antara lain membahas perkembangan dan pemetaan perizinan siaran televisi berbasis digital, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 5 Februari 2020. ANTARA/Galih Pradipta
NURDIN Tampubolon, anggota Komisi Penyiaran DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Hanura, masih ingat betul bagaimana komisi tersebut merampungkan penyusunan rancangan dokumen revisi Undang-Undang Penyiaran pada 2017. Sejumlah pasal krusial yang akan menjadi landasan migrasi siaran televisi analog ke digital telah disepakati.
Batas akhir migrasi, misalnya, diputuskan tiga tahun setelah undang-undang baru terbit. Bayangannya, migrasi rampung pada 2020.
Model migrasi juga disepakati menggunakan skema penyelenggara multipleksing tunggal (single mux). Artinya, infrastruktur untuk memancarkan frekuensi digital yang akan dipakai kanal-kanal televisi kelak diselenggarakan oleh lembaga penyiaran publik. Model itu dianggap mewujudkan penguasaan negara terhadap frekuensi. Konsep multipleksing jamak (multimux), yang diselenggarakan oleh setiap perusahaan penyiaran swasta, dinilai tak ubahnya status quo: frekuensi dikuasai pebisnis lama pertelevisian. “Tapi ketika naskah rancangan masuk ke Badan Legislasi, langsung mentok,” ujar Nurdin, yang juga pemilik salah satu penyelenggara siaran televisi digital, Nusantara TV, pada Jumat, 7 Februari lalu. Tidak lagi di parlemen periode 2019-2024, Nurdin kini menjadi anggota staf ahli Wakil Presiden RI.
Ketua Komisi Penyiaran DPR saat ini, Meutia Hafidz, yang juga anggota Komisi Penyiaran periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Golkar, menyatakan Badan Legislasi pada 2017 menganggap pihaknya berwenang mengubah subtansi pasal yang telah disepakati di Komisi. “Itu yang membuat lama,” kata Meutia di ruang kerjanya di Jakarta, Kamis, 6 Februari lalu.
Saat itu, sejumlah anggota Badan Legislasi memang menilai penyelenggara multipleksing tidak boleh tunggal. Salah satunya politikus Golkar, Firman Soebagyo, yang menjabat Wakil Ketua Badan Legislasi. Menurut dia, bila penyelenggara multipleksing tunggal, akan terjadi monopoli. “Dalam undang-undang ini, tidak boleh lahir bentuk monopoli baru,” tutur Firman mengutarakan alasan pengusung model multipleksing jamak.
Menurut Nurdin, Badan Legislasi saat itu akhirnya menggelar voting. Usul Komisi Penyiaran, yakni model multipleksing tunggal, menang. “Tapi tidak juga diteruskan oleh Baleg ke paripurna menjadi draf usul DPR,” ucapnya.
Walhasil, rencana pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran saat ini bukan lanjutan dari DPR periode lalu. Komisi Penyiaran membahasnya dari awal lagi. “Draf lama jadi masukan. Tapi keputusan politik bisa sama sekali berbeda,” ujar Meutia. Model mana pun yang disepakati kelak, Meutia mengingatkan, tujuan akhir migrasi ke digital harus tercapai: keberagaman isi siaran dan pemilik televisi.
Cuma, bagi anggota Komisi Penyiaran dari Fraksi Partai Golkar, Bobby Adityo Rizaldi, pembahasan pada saat ini agaknya tidak akan jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Masukan-masukan yang datang juga belum berubah. “Televisi swasta ingin penyelenggara multipleksing banyak. Pemerintah ingin penyelenggara tunggal,” kata Bobby di ruang kerjanya di Jakarta, Kamis, 6 Februari lalu.
Kesamaan perdebatan revisi Undang-Undang Penyiaran tecermin dalam rapat dengar pendapat dengan empat asosiasi televisi di Komisi Penyiaran DPR. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), yang terdiri atas stasiun televisi swasta besar, ingin penyelenggara multipleksing tidak tunggal. Mereka berharap stasiun televisi swasta yang sekarang beroperasi juga mendapat hak otomatis menjadi penyelenggara. “Untuk menjaga persaingan yang sehat, tidak boleh ada pemain tunggal,” tutur Sekretaris Jenderal ATVSI Gilang Iskandar, Jumat, 7 Februari lalu. “Jangan semuanya (kanal swasta) terus diambil.”
Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI)—yang beranggotakan stasiun televisi swasta baru, seperti yaitu RTV, Kompas TV, dan NET TV—mengusulkan model multipleksing hibrida. Dalam skema ini, ada konsorsium yang anggotanya sejumlah stasiun televisi sebagai penyelenggara multipleksing. “Misalnya asosiasi mengelola bersama buat anggotanya,” kata Rikard Bagun, Ketua Umum ATVNI. Dengan demikian, Rikard melanjutkan, operasi multipleksing diawasi banyak mata untuk mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang penyelenggara.
Adapun Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia berada di barisan pendukung multipleksing tunggal dengan TVRI sebagai penyelenggara. Sebagian besar stasiun televisi digital saat ini memang bersiaran menggunakan mux TVRI. Sekretaris Jenderal ATSDI Tulus Tampubolon mengatakan negara perlu menguasai kembali frekuensi publik. Dengan begitu, demokrasi penyiaran, yang membuka peluang banyak stasiun televisi untuk bersaing dengan sehat, bisa tercipta. “Semuanya tinggal fokus pada konten yang bagus,” ujarnya.
KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo