Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokumen Departemen Pertahanan tentang skandal Ukraina muncul menjelang voting di Senat.
Mitt Romney, senator dari Partai Republik, mendukung pemakzulan Trump.
Ketua DPR Nancy Pelosi merobek-robek pidato kenegaraan Trump.
BEBERAPA hari sebelum percakapan telepon kontroversial antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terjadi pada 25 Juli 2019, para pejabat Amerika masih sibuk menyiapkan pengiriman misil antitank Javelin yang diminta Ukraina. Dalam surat elektroniknya kepada Direktur Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan Letnan Jenderal Charles Hooper pada 15 Juli 2019, Laura Cooper, pejabat Departemen Pertahanan, meminta Hooper mempercepat pengiriman misil sebelum pertemuan Trump dan Zelensky yang diperkirakan terjadi “paling cepat bulan depan”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Amerika telah berjanji menggelontorkan bantuan militer senilai US$ 391 juta atau sekitar Rp 5,3 triliun kepada Ukraina dalam dua tahap. Bantuan senilai US$ 250 juta pertama dialokasikan Pentagon untuk peralatan tempur dan US$ 141 juta berikutnya dikelola Departemen Luar Negeri buat kebutuhan militer lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga hari kemudian, rencana itu berantakan. Dalam rapat antar-lembaga Komisi Koordinasi Kebijakan, seorang pejabat Kantor Manajemen dan Anggaran (OMB) menyatakan lembaganya telah menangguhkan pendanaan militer asing senilai US$ 115 juta sambil menunggu petunjuk dari pemimpin mereka tentang apakah dana untuk Ukraina masih menjadi prioritas pemerintah.
Pada hari yang sama, keputusan Trump menahan hampir US$ 400 juta bantuan ke Ukraina disampaikan ke Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan. Kabar ini mengejutkan para pejabat kedua lembaga, yang sudah memberikan penilaian bahwa Ukraina layak menerima bantuan dan telah menyiapkan pengiriman misil Javelin.
Keputusan Trump menjadi gunjingan di semua kantor pemerintah selama berminggu-minggu. Dalam sebuah surat elektronik kepada Menteri Pertahanan Mark Esper, yang baru sepekan menduduki jabatan itu, seorang pejabat teras Departemen Pertahanan menyatakan keprihatinannya atas keputusan Trump dan dampaknya bagi keamanan nasional. Para pejabat pertahanan berharap Esper dapat membujuk Trump agar membatalkan keputusannya.
Kegaduhan di kalangan pejabat itu terekam dalam dokumen dan dua lusin surat elektronik yang diperoleh CNN dan dibuka tepat menjelang sidang pemakzulan Trump di Senat pada Rabu, 5 Februari lalu. Dokumen itu dibuka Departemen Kehakiman atas permintaan Center for Public Integrity—organisasi nirlaba jurnalisme investigatif Amerika Serikat—berdasarkan Undang-Undang Kebebasan Informasi.
“Dokumen-dokumen itu memberikan gambaran bagaimana para birokrat memahami dan mempertanyakan arahan Gedung Putih yang tiba-tiba sehingga mengganggu perencanaan matang mereka, yang bertentangan dengan keputusan Pentagon dan merusak upaya Ukraina mempertahankan diri dari Rusia,” demikian kesimpulan CNN.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat meminta dokumen tersebut dibuka untuk membuktikan penyalahgunaan kekuasaan oleh Trump, tapi OMB dan Gedung Putih menolaknya. Dalam bocoran percakapan telepon antara Trump dan Zelensky, jutawan properti yang menjadi presiden itu mendesak Zelensky agar menyelidiki Joe Biden dan anaknya, Hunter Biden. Joe Biden adalah politikus Demokrat dan calon penantang potensial Trump dalam pemilihan presiden 2020. Putranya disorot karena bekerja untuk Burisma Holdings, perusahaan gas Ukraina yang sedang diinvestigasi pemerintah setempat atas tuduhan pencucian uang. Para politikus Demokrat menuduh Trump menahan pencairan bantuan militer ke Ukraina sebagai siasat untuk menekan negara tersebut.
Tanpa dokumen tersebut di tangan, Nancy Pelosi, Ketua DPR dari Partai Demokrat, mengajukan rancangan undang-undang pemakzulan Trump ke Senat. Rancangan itu berisi dua pasal: penyalahgunaan kekuasaan dan menghalang-halangi kerja Kongres. Tapi para senator dari Partai Republik, yang menguasai 53 kursi Senat, memblokir semua usaha Demokrat, yang hanya memiliki 45 kursi, untuk menghadirkan bukti dan saksi penting selama sidang pemakzulan Trump, yang dimulai pada pertengahan Januari lalu.
Upaya DPR memakzulkan Trump akhirnya kandas. Dalam pemungutan suara di Senat pada Rabu, 5 Februari lalu, untuk pasal penyalahgunaan kekuasaan, Trump lolos setelah 52 senator menolak dan 48 suara menganggapnya bersalah. Adapun untuk pasal menghalang-halangi kerja Kongres, Trump dinyatakan tak bersalah setelah mendapat dukungan 53 suara dan 47 senator menyatakan dia bersalah.
Trump adalah Presiden Amerika ketiga yang menjalani sidang pemakzulan di Senat. Dua presiden sebelumnya adalah Bill Clinton pada 1999 dan Andrew Johnson pada 1868. Adapun Richard Nixon lebih dulu mundur dari kursi kepresidenan sebelum dimakzulkan.
Semua senator Demokrat mendukung pemakzulan. Hanya segelintir Republikan yang menyeberang ke kubu Demokrat. Salah satunya Mitt Romney, senator Republikan dari Utah, yang mendukung pemakzulan dengan pasal pertama. Bekas calon presiden itu telah mengumumkan sikapnya sebelum pemungutan suara dilakukan.
Trump gusar dan merilis sebuah video montase yang menampilkan Romney menyebut Trump sebagai “aset rahasia Demokrat” dan saat Romney menerima dukungan Trump pada 2012. Sejumlah tokoh berpengaruh Republik, termasuk Trump, mendesak anggota partainya di Senat agar memecat Romney dari posisi di Senat.
Romney sadar dia akan menjadi sasaran kemarahan Trump. “Saya yakin akan mendapat serangan dari Presiden dan pendukungnya,” katanya saat berpidato mengenai pilihannya. Romney menyatakan siap menerima konsekuensi tersebut.
Adam B. Schiff, legislator Demokrat dan Ketua Komisi Intelijen DPR, menyebut keputusan Romney sebagai sebuah “inspirasi”. “Bahkan satu suara saja dapat mengubah sejarah. Saya pikir suara Romney telah menunjukkan itu,” ucapnya. “Bagi kebanyakan kita, ketika menghadapi pilihan sulit pada masa depan, kita akan mengenang keberanian yang ditunjukkan Romney—bagaimana dia menempatkan negeri ini di atas partai.”
Tanda-tanda kemenangan Trump sudah tampak ketika ia menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang Senat di gedung Capitol, Washington, DC, Selasa malam, 4 Februari lalu. Saat itu, Trump naik ke mimbar dan menyerahkan naskah pidatonya kepada Wakil Presiden Mike Pence dan Nancy Pelosi, yang berdiri di belakangnya. Tapi, ketika Pelosi mengulurkan tangan untuk menyalaminya, Trump malah balik badan dan menghadap ke arah para tamu.
Dalam pidatonya, Trump sama sekali tak menyinggung soal pemakzulan. Dia lebih banyak memamerkan keberhasilannya selama memimpin Amerika, seperti penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak daripada presiden sebelumnya dan angka pengangguran terendah dalam setengah abad terakhir.
Setelah Trump selesai berpidato, Pelosi merobek amplop biru berisi pidato Trump. Setelah turun dari mimbar, dia mengambil potongan-potongan kertas yang robek dari amplop dan melemparkannya ke udara disaksikan para tamu yang tersisa di ruangan. “Dia merobek kebenaran, jadi saya merobek pidatonya,” tutur Pelosi.
Hubungan Pelosi dan Trump renggang sejak DPR berencana memakzulkan Trump. Pelosi menyatakan kepada CNN bahwa dia belum pernah berbicara dengan Trump sejak rapat tentang Suriah di Gedung Putih yang kontroversial pada Oktober 2019, yang menyebabkan kedua tokoh itu bentrok.
Kini, setelah kemenangan Trump dalam sidang pemakzulan di Senat, tampaknya hubungan keduanya akan makin renggang. Tapi sidang itu tidak membersihkan nama Trump. Skandal Ukraina akan tetap melekat pada politikus 73 tahun itu karena tim pembelanya dalam sidang tersebut tidak benar-benar membantah perannya.
Iwan Kurniawan (CNN, BBC, The Independent, USA Today)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo