Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah sempat menangguhkan rencana mengevakuasi warga Indonesia di Wuhan dan sekitarnya.
Ketika kondisi memburuk, pemerintah bergerak melobi pemerintah Cina dan mengirim utusan.
Mencegah kondisi terlihat darurat, Presiden Jokowi menolak sejumlah permintaan warga Natuna.
MENYIMAK penyebaran dan dampak virus corona di kanal-kanal berita lokal dan luar negeri pada Selasa, 28 Januari lalu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meraih telepon selulernya. Malam itu, ia langsung mengetik pesan kepada Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, yang isinya menganjurkan segera mengevakuasi warga negara Indonesia di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, dan sekitarnya.
Senyampang menunggu balasan Retno, Muhadjir mengirim pesan yang sama kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Menjawab chatting Muhadjir, Pratikno sepakat untuk cepat-cepat memulangkan 244 warga Indonesia yang terisolasi di Wuhan dan sekitarnya. Pratikno juga menyebut sejumlah negara, seperti Jepang dan Amerika Serikat, yang telah mengevakuasi warganya dari Wuhan. “Penularan virusnya sudah begitu masif sehingga perlu ada langkah yang cepat,” kata Muhadjir saat ditemui Tempo di Jakarta Pusat pada Kamis, 6 Februari lalu.
Beberapa jam sebelumnya, Muhadjir memimpin rapat koordinasi penanganan virus corona Wuhan di kantornya. Rapat itu antara lain dihadiri Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate. Retno pun hadir dalam pertemuan itu. Menurut Muhadjir, rapat itu membahas rencana memperketat pengawasan penumpang yang masuk ke Indonesia melalui bandar udara dan pelabuhan internasional. Ada 135 gerbang kedatangan yang dipasangi 195 unit pendeteksi suhu tubuh alias thermal detector.
Rapat juga membicarakan kemungkinan mengevakuasi mahasiswa Indonesia di Wuhan. Diskusi tentang rencana evakuasi warga Indonesia berlangsung dinamis. Seorang peserta memperkirakan evakuasi akan sulit dilakukan karena pemerintah Cina telah mengisolasi Wuhan sejak 23 Januari. Peserta lain menyebutkan operasi penjemputan warga Indonesia belum mendesak. “Evakuasi menjadi salah satu opsi penyelamatan, tapi belum menjadi keputusan bersama,” ujar mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Di tengah ketidakpastian evakuasi, mahasiswa Indonesia di Wuhan justru menanti penjemputan. Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Tiongkok Cabang Wuhan, Nur Musyafak, melalui keterangan tertulis mengatakan warga Indonesia yang bermukim di Provinsi Hubei mengalami keterbatasan kemampuan bertahan di tengah isolasi kota. “Kami minta segera dievakuasi,” kata mahasiswa Central China Normal University itu.
Mahasiswa asal Klaten, Jawa Tengah, Hilyatu Millati Rusydiyah, pasrah dan tak mempermasalahkan jika evakuasi batal. Mahasiswa Chongqing University itu pun meyakini kepulangannya dari kota asal virus corona bakal menimbulkan kehebohan. “Saya yakin tetangga akan takut,” ujar Hilyatu saat itu.
Penjemputan warga Indonesia di Wuhan baru terang pada 30 Januari atau dua hari setelah rapat koordinasi di kantor Muhadjir. Presiden bersikap setelah bertemu dengan sejumlah menteri, antara lain Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, di ruang tunggu Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Kamis sore, 30 Januari lalu.
Kepada Jokowi, Retno menjelaskan bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikan status ancaman virus corona Wuhan yang masuk kategori “tinggi”. Ia juga memaparkan skenario dan protokol evakuasi warga Indonesia di Wuhan. “Presiden memerintahkan evakuasi WNI di Provinsi Hubei segera dilakukan,” kata Retno seusai rapat dengan Jokowi.
Sehari kemudian, Retno melobi Duta Besar Cina untuk Indonesia, Xiao Qian. Di kantor Retno, keduanya mematangkan rencana penjemputan warga Indonesia di Wuhan dan sekitarnya. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha, yang ikut dalam rapat itu, mengatakan Duta Besar Cina memberikan izin pendaratan pesawat di Bandar Udara Internasional Wuhan, yang terisolasi. Pemerintah menugasi maskapai yang sudah mengantongi izin rute penerbangan langsung ke Wuhan, yaitu Batik Air. Menurut Judha, hal ini semata-mata untuk memudahkan dan mempercepat proses administrasi penjemputan.
Bersamaan dengan lobi-lobi di Jakarta, lima diplomat Kedutaan Besar Indonesia di Beijing berangkat menuju Wuhan. Menurut Judha, tim pendahuluan itu mengkoordinasi 244 warga Indonesia yang tersebar di tujuh kota di Provinsi Hubei. Bagi warga yang bermukim di luar Wuhan, pemerintah Cina menyediakan bus untuk mengangkut mereka sampai ke Bandara Wuhan.
Ahmad Syaifuddin Zuhri, suami Hilyatu Millati Rusydiyah, yang juga mahasiswa doktoral hubungan internasional di Central China Normal University, Wuhan, menyebutkan seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri sempat menghubungi istrinya, yang terisolasi 12 kilometer dari pusat Kota Wuhan. Pejabat tersebut, menurut Zuhri, mengatakan evakuasi sedang disiapkan, tapi dia berpesan agar waktu evakuasi tidak bocor ke media. “Khawatir nanti muncul harapan yang terlalu tinggi dari mahasiswa,” ujarnya.
Warga Indonesia yang berkumpul di Wuhan tak otomatis bisa langsung pulang. Pemerintah Cina menggelar tes kesehatan sebelum mereka naik ke pesawat. Tiga mahasiswa, satu dari Wuhan dan dua dari Xianning, terdeteksi sedang demam. “Suhu tubuh mereka di atas 37,3 derajat sehingga tak diizinkan pulang ke Indonesia,” ucap Judha Nugraha. Judha mengatakan ketiga mahasiswa itu sekarang sudah fit dan tinggal di asrama kampus didampingi psikolog yang diutus Kementerian Luar Negeri.
Ahad, 2 Februari lalu, pesawat yang menjemput warga Indonesia di Wuhan mendarat di Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau. Singgah sejenak di sana, mereka kemudian diangkut dengan pesawat militer ke Pangkalan Udara Ranai di Natuna. Di hanggar milik TNI Angkatan Udara, 237 warga Indonesia dan seorang warga asing beserta kru diobservasi selama dua pekan. “Tempat ini dipilih karena punya fasilitas pendukung yang memadai. Di sini juga markas komando operasi gabungan yang siap untuk kondisi darurat,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Natuna berunjuk rasa menolak wilayahnya dijadikan tempat observasi WNI yang dievakuasi dari Wuhan, Cina, di depan gerbang pangkalan TNI Angkatan Udara Raden Sadjad, Ranai, Natuna, 1 Februari 2020. ANTARA FOTO/Cherman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Observasi di Natuna tak berlangsung mulus. Warga lokal dan pemerintah daerah sempat menolak kehadiran warga Indonesia dari Wuhan karena takut tertular virus corona. Sejak observasi dimulai, warga Natuna beberapa kali menggelar demonstrasi. Muhadjir Effendy mengakui penolakan itu muncul karena pemerintah pusat tak sempat berkoordinasi dengan bupati dan mensosialisasi keputusan observasi di Natuna kepada masyarakat. Mereka menuntut sejumlah hal kepada pemerintah, dari pemindahan fasilitas observasi ke kapal rumah sakit sampai penetapan libur sekolah hingga proses observasi selesai.
Permintaan meliburkan anak sekolah di Natuna hampir disetujui Muhadjir. Ia mengatakan akan mengusulkan hal itu kepada Presiden Jokowi sebagai “barter” atas persetujuan warga Natuna. Ketika usul itu dibawa ke rapat terbatas di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada 2 Februari lalu, Jokowi justru menolak skenario siswa di Natuna libur sekolah selama dua minggu. “Presiden meminta jangan membuat kesan darurat di Natuna dengan meliburkan para siswa,” ujar Muhadjir.
Tak hanya menggelar operasi pemulangan warga Indonesia di Wuhan, pemerintah juga memerintahkan rumah sakit dan dinas kesehatan daerah bersiap menghadapi virus Wuhan. Sekitar sepekan setelah Cina mengkonfirmasi pasien pertama corona Wuhan pada 31 Desember 2019, Kementerian Kesehatan langsung mengeluarkan surat edaran ke rumah sakit rujukan, dinas kesehatan, dan kantor kesehatan pelabuhan.
Bertarikh 6 Januari 2020, surat yang diteken Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono itu meminta dinas kesehatan mewaspadai pasien dengan gejala pneumonia yang sempat pelesiran ke negara terjangkit. Anung juga menginstruksikan 100 rumah sakit yang pernah menjadi tempat rujukan bagi pasien flu burung bersiap menerima pasien dengan gejala mirip MERS dan SARS serta sesegera mungkin melapor ke Kementerian. Jika menerima pasien dengan gejala itu, rumah sakit diminta Kementerian segera mengambil sampel dan mengirimkannya ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Hingga pekan kedua Februari, sudah 47 sampel dari pasien dengan gejala pneumonia dari seluruh Indonesia masuk. Berdasarkan pengujian di laboratorium, 43 sampel dinyatakan negatif virus corona Wuhan. Sisanya masih diteliti. “Indonesia masih steril dari virus corona Wuhan,” ujar Anung.
Pada 7 Januari lalu, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan juga menerbitkan surat edaran ke rumah sakit. Dalam suratnya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo meminta rumah sakit mewaspadai merebaknya unknown viral pneumonia di Cina. Sebagaimana Anung, Bambang memerintahkan rumah sakit mengecek dan menguji kembali alat serta prosedur penanganan penyakit infeksi seperti saat wabah flu burung beberapa tahun lalu.
Menempuh semua upaya mitigasi, Menteri Kesehatan Terawan yakin virus Wuhan tak akan bertahan lama. Menurut dia, siklus penyebaran virus itu akan berhenti seiring dengan perubahan iklim. Ia juga meyakini pemerintah Indonesia bisa menangkal penularan virus yang sudah menginfeksi lebih dari 31 ribu pasien itu. “Peralatan kita sudah canggih dan diakui WHO,” ujar Terawan.
RAYMUNDUS RIKANG, FIKRI ARIGI, WAYAN AGUS PURNOMO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo