Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA di Parara Ethical Store & Cafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Selasa, 8 Agustus lalu, Bibong Widyarti langsung memesan semangkuk menu mi sagu rebus seafood seharga sekitar Rp 38 ribu dan jus green boost berbahan utama sayur pakcoi dengan kisaran harga Rp 25 ribu. Sebagai penambah rasa, perempuan 61 tahun yang menjalani gaya hidup slow food itu meminta jus pesanannya tersebut dicampur dengan bahan-bahan lain, seperti nanas, lemon, dan madu hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, sambil menunggu pesanan tiba, Bibong mengajak Tempo melihat-lihat sejumlah produk bahan makanan yang dijual di Parara. Salah satunya olahan mi yang terbuat dari sagu buatan Kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Tohor Lestari, Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau. “Bahan mi yang saya pesan ini jauh-jauh didatangkan dari Meranti, lho,” kata Bibong kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai orang yang menjalani gaya hidup slow food, Bibong paham betul asal-usul bahan makanan yang ia konsumsi. “Produsennya siapa, terus minyaknya pakai minyak kelapa. Kemudian udang dan cumi, semua kami tahu,” ujar ketua komunitas Slow Food Jakarta Urban ini.
Gaya hidup slow food mengacu pada kebiasaan mengolah makanan sehat yang diproduksi secara alami dan ramah lingkungan. Mereka yang menjalani gaya hidup tersebut juga mengetahui asal sumber bahan makanan yang hendak mereka nikmati. “Tentunya dengan mengedepankan tiga nilai, yakni produk harus baik, bersih, dan dipasarkan secara fair,” ucap Bibong.
Bibong melanjutkan, nilai fair atau adil yang terjalin antara produsen dan konsumen menjadi hal yang menarik dari gaya hidup slow food. Menurut dia, keterbukaan sangatlah penting. Dari situ, soal harga sampai kemungkinan risiko yang bisa terjadi dapat dibicarakan bersama dan dicari solusinya. "Bahwa, 'Oh, ini lho, kita jual sekian, ada biaya ini'. Kalau konsumen oke, kenapa tidak. Karena yang penting kita bisa mendapatkan sesuatu yang baik,” katanya.
Sunday Farmer Market di Parara Ethnical Srore, Jakarta. 13 Agustus 2023/Tempo/Yosea Arga
Bibong menuturkan, ia aktif menerapkan gaya hidup slow food sejak 2010. Saat itu ia mengikuti acara komunitas slow food yang digelar di Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. Awalnya ia memanfaatkan momen itu untuk menjalin relasi dengan sesama penganut gaya hidup slow food. Hingga akhirnya ia mendaftar sebagai anggota komunitas.
Pada 2012, setelah mengikuti pertemuan komunitas slow food di Bali, Bibong mendapat tawaran membuat komunitas serupa di Jakarta. Lalu terbentuklah dua komunitas di Jakarta: Slow Food Kemang dan Slow Food Jabodetabek—yang pada 2022 berubah menjadi Slow Food Jakarta Urban dengan jumlah anggota puluhan orang.
Boleh dibilang slow food sudah menjadi bagian dari gaya hidup Bibong. Untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan sehari-hari, Bibong memanfaatkan jalinan relasi di komunitas. Sayuran, misalnya, biasa dipesan langsung dari petani di Bogor, Jawa Barat. Adapun kebutuhan beras bisa dipenuhi Bibong sendiri dari lahan pertaniannya di Jawa Tengah.
Dia juga kerap berbelanja kebutuhan bahan makanan slow food di Parara Ethical Store yang setiap pekan menggelar Sunday Farmer Market. “Untuk kebutuhan itu, ya gantian saja. Sagu kadang saya beli di Parara. Ikan teri dari Palu, misalnya, beli juga di Parara,” tutur Bibong.
Untuk semua kebutuhannya itu, Bibong tak bisa merinci biaya yang ia keluarkan. Bila merujuk pada daftar harga di Sunday Farmer Market yang digelar di Parara, harga beras organik berkisar Rp 27-93 ribu per kilogram, tergantung jenis dan varietasnya. Lalu paket sayuran segar seperti bayam, caisim, dan daun pepaya dihargai Rp 6.000 hingga Rp 12 ribu per 200 gram.
Bibong mengungkapkan, meski menjalani gaya hidup slow food, ia tak khawatir jika harus bepergian jauh ke luar kota dalam waktu cukup lama. “Untuk urusan makan, biasanya saya memilih menyantap makanan lokal sehat yang ada. Tapi saya tidak mengkonsumsi daging ayam dan ikan nila yang berasal dari budi daya,” ucapnya.
•••
GAYA hidup slow food bermula dari sebuah gerakan di Italia yang diinisiasi Carlo Petrini pada 1980-an. Gerakan ini ditandai dengan aksi demonstrasi terhadap pembukaan gerai makanan cepat saji di monumen Spanish Steps, Roma. Demonstrasi itu juga menjadi respons atas eksistensi makanan tradisional Italia yang terancam oleh kehadiran gerai makanan cepat saji tersebut.
Pada 1989, gerakan slow food secara resmi didirikan. Hingga akhirnya gerakan ini menjadi global dan melibatkan jutaan orang di lebih dari 160 negara. Di Indonesia, gerakan tersebut memunculkan komunitas di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bali.
Dengan mengusung prinsip produk makanan yang baik, bersih, dan adil, sejumlah orang di Indonesia menjalani gaya hidup slow food. Selain Bibong Widyarti, Lydia Silalahi menjalani gaya hidup ini. Saat ditemui Tempo pada Ahad, 13 Agustus lalu, Lydia sedang mengikuti Sunday Farmer Market yang digelar di beranda Parara Ethical Store.
Pagi itu, di atas meja-meja yang tersusun rapi, berbagai jenis sayuran berjejer, dari bayam hijau, bayam merah, buncis, daun singkong, hingga daun pepaya muda. Ada juga aneka bahan bumbu masak, seperti lengkuas, jahe emprit, jahe gajah, kunyit, serai, dan daun salam. Sesekali, Lydia membantu menyusun bahan pangan yang setiap pekan dikirim dari perkebunan Gede-Salak-Pangrango di Bogor tersebut.
Sunday Farmer Market juga menjual aneka sayuran yang sudah dikemas dalam paket plastik yang bervariasi. Ada paket bahan sayur bayam bening dengan berat 400 gram yang dijual seharga Rp 20.100. Ada pula paket olahan sup dengan harga Rp 16.200. “Sunday Farmer Market berjalan sejak Juni lalu,” kata Lydia kepada Tempo.
(dari kiri) Tiko Sukarso, Tarlen Handayani, dan Ferdian Lie/Dok Instagram/klubmasaksirja
Lydia mulai menaruh perhatian pada gaya hidup slow food setelah sering berbincang dengan orang-orang yang tergabung dalam komunitas Slow Food Parara. Kala itu dia masih menjadi orang yang kerap membantu sejumlah pergelaran kegiatan di sana. Dia lalu mulai tertarik pada produk-produk pangan yang baik untuk kesehatan. "Dan aku mulai mengkonsumsi," ujarnya.
Sebelum mengenal slow food, pekerja kantoran ini tak pernah peduli asal makanan yang ia konsumsi. Jenis makanan apa saja, termasuk makanan cepat saji, kerap ia santap. Kini Lydia mulai memilah-milah makanan konsumsinya.
Lydia menuturkan, Sunday Farmer Market sangat membantunya dalam mencari bahan makanan untuk kebutuhan gaya hidup slow food yang dijalaninya. Dia kerap berbelanja di sana. Dengan uang Rp 60 ribu, misalnya, dia bisa mendapatkan 10 butir telur ayam kampung omega dengan harga Rp 35 ribu. Telur tersebut, Lydia menjelaskan, berasal dari peternakan dengan ekosistem yang baik, yakni ayam yang dibiarkan berkeliaran dan sonder kandang baterai. “Cukup murah dan kompetitif, lah, harganya,” ucapnya.
Sunday Farmer Market, Lydia menambahkan, juga meluaskan pergaulannya karena ia kerap berjumpa dengan banyak orang sesama pegiat slow food. Ia bertukar ilmu sampai berbagi metode pengolahan makanan yang baik, bersih, dan sehat. "Datang ke Sunday Farmer Market makin nambah ilmunya," tuturnya.
Lydia juga mengaku merasakan manfaat kesehatan yang positif setelah menekuni gaya hidup slow food. Dia menerangkan, “Tubuh bisa tetap energetik meski banyak kegiatan.”
•••
GAYA hidup slow food juga dijalani beberapa orang di Yogyakarta. Di antaranya Tiko Sukarso, Tarlen Handayani, dan Ferdian Lie. Pada 2022, mereka bertiga mendirikan Klub Masak Sirja, komunitas masak plant-based atau sajian nabati, sebagai bentuk resistansi atas definisi slow food ala Barat yang pertama kali muncul di Italia.
Menurut Tarlen, masyarakat Indonesia punya pengertian sendiri dan memiliki keberagaman bahan pangan lokal yang menyehatkan. Sebetulnya, dia mengungkapkan, masyarakat Indonesia baik dalam keseharian maupun berbagai tradisi telah menerapkan gaya hidup slow food. Contohnya dalam tradisi masyarakat Jawa ada kenduri dan sego wiwitan yang dimakan pada saat panen raya.
“Gaya hidup slow food mengacu pada kebiasaan mengolah makanan tidak tergesa-gesa, menikmati makanan, mengerti sumber atau asal makanan, dan menerapkan keadilan pangan,” kata Tarlen saat dihubungi Tempo, Rabu, 16 Agustus lalu.
Tarlen bercerita, sejak bocah ia sebetulnya telah menerapkan gaya hidup slow food karena ibunya suka mengolah sumber pangan lokal sebagai masakan. Ibunya menikmati saat-saat memasak bahan-bahan lokal itu di dapur dan tidak tergesa-gesa. Dari kebiasaan itulah Tarlen kemudian menerapkan gaya hidup tersebut hingga kini.
Tarlen mengatakan Indonesia punya kekayaan pangan lokal dan tradisi mengolah makanan sejak dulu. Masyarakat Indonesia, dalam berbagai tradisinya, menjaga harmoni dengan alam. Tapi Orde Baru era Presiden Soeharto dengan revolusi hijau mencerabutnya. Di Papua, misalnya, sagu diganti dengan beras. Begitu juga umbi-umbian.
Tarlen mengamati politik Orde Baru yang kapitalistik tersebut membuat Indonesia tidak berdaulat atas pangan. Misalnya, Indonesia menjadi bergantung pada gandum impor. Selain itu, Tarlen menambahkan, politik Orde Baru menyumbang kerusakan lingkungan karena berbagai proyek swasembada beras yang acap mengabaikan pelestarian alam.
Silvina Miguel/Dok Pribadi
Sebagian masyarakat, Tarlen melanjutkan, kemudian melawan situasi itu dengan menerapkan pola makan sehat dengan mengkonsumsi makanan yang bersumber bahan pangan lokal. Masyarakat makin mengerti akan pentingnya memahami sumber pangan dari hulu hingga hilir dan cara mengolahnya. Lambat-laun terjadi perubahan gaya hidup masyarakat dari fast food ke slow food. Dia mencontohkan tren makan di warteg yang menggunakan bahan pangan lokal dan diolah tidak terburu-buru.
Pendiri Klub Masak Sirja lain, Tiko Sukarso, menyebutkan Indonesia memiliki kekayaan pengetahuan kuliner jauh sebelum istilah slow food diperkenalkan di Italia. Makanan lokal seperti gado-gado, ketoprak, pecel, dan tape uli adalah contoh makanan yang menggunakan bahan lokal. Tiko menjelaskan, tape uli adalah contoh makanan ala slow food yang diolah dengan penuh cinta dan tidak tergesa-gesa, bergizi, serta menggunakan bahan lokal.
Slow food, tutur Tiko, juga berhubungan dengan kesehatan tubuh manusia dan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Dengan mengenal sumber makanan dan mengetahui cara pengolahannya, orang akan lebih tenang.
Tiko membiasakan diri memakan sayur sehat sejak 2015. Kini dia kerap diundang untuk mengisi kelas dengan menyajikan bahan olahan nabati dan sayur kreasinya. Contoh minuman dan makanan kreasinya adalah wedang asam dan serai, lontong sate jamur, serta ketan uli bakar.
Tiko mengatakan Klub Masak Sirja kerap menggelar kegiatan belajar bersama untuk mengenal bahan pangan dari sejumlah daerah di Indonesia. Contohnya kelas warung icip-icip yang memperkenalkan makanan lokal seperti olahan keju kacang mete dan berbagai olahan nabati. Kelas itu tidak hanya berlangsung di Yogyakarta, tapi juga di Bandung dan Jakarta. Mereka juga pernah membuat kelas yang mengajak peserta mencicipi cita rasa teh oolong asal Bukit Barisan di Sumatera.
Selain itu, mereka memperkenalkan cara memasak atau mengolah bahan pangan dan memberitahukan sumber bahan tersebut kepada peserta di kelas. Tiko menyebutkan ekosistem gaya hidup slow food di Yogyakarta sangat mendukung karena bahan pangan dan petani lokal serta komunitas yang menerapkan gaya hidup tersebut berlimpah di daerah ini.
•••
LAIN lagi cerita Silvina Miguel, perempuan asal Argentina yang tinggal di Bali dan memilih gaya hidup slow food. Tiba di Pulau Dewata pada 2015, Silvina mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengendap dalam pikirannya tentang makanan. Salah satunya: dari manakah asal bahan makanan yang ia konsumsi?
Sebelumnya, perempuan yang lahir di Buenos Aries pada 1970 itu tidak peduli terhadap makanan yang ia santap. Pada 2009, saat mulai meninggalkan makanan cepat saji, ia merasa hidupnya jauh lebih sehat. “Saya memutuskan untuk meninggalkan kehidupan seperti itu. Lalu saya menemukan semacam koneksi dengan diri sendiri, ibu pertiwi, juga dengan yang lain,” ucap Silvina kepada Tempo, Sabtu, 12 Agustus lalu.
Silvina kemudian bergabung dengan Komunitas Slow Food Bibit Pusaka Bali pada 2016. Ia mulai menekuni gaya hidup slow food dengan menanam sayur-sayuran di halaman belakang rumahnya. Untuk itu, dia mengikuti pelatihan menanam dan mengolah makanan sendiri. Rutinitas yang paling sering ia lakukan adalah menanam dan memetik tomat. Pada panen perdana, tomat itu diulek menjadi sambal. Di situlah Silvina menemukan keseruannya.
Mie Sagu Rebus dan Goreng dihidangkan di Parara Ethical Store & Cafe, Kemang, Jakarta Selatan, 8 Agustus 2023/TEMPO/M Taufan Rengganis
Bukan hanya soal makanan, Silvina menemukan makna lain ketika menjalani gaya hidup slow food. Dia menyadari betapa pentingnya peran produsen lokal dalam penyediaan bahan makanan. Ia sadar tidak akan ada makanan apabila tak ada petani.
Silvina pun sadar bahwa dia adalah bagian dari sistem produksi pangan. “Sekarang saya sadar, saya memiliki tanggung jawab untuk bertindak lebih baik,” ujar perempuan yang pernah bekerja sebagai jurnalis ini.
Silvina pun memaknai makanan bukan sekadar perkara selera, tapi lebih dari itu: setiap pilihan, termasuk urusan makan, adalah tindakan politis. “Setiap kali saya memilih tempat untuk membeli makanan, saya telah menentukan hidup seperti apa yang hendak saya jalani,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani dari Yogyakrta dan Made Argawa dari Bali berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Makan Bermakna dengan Slow Food"