Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Parmagiani Indonesia memberikan sumbangan keuangan bagi manajemen Parma untuk membangun tim baru.
Viola Club Indonesia sempat mencuri perhatian di media sosial pada awal 2019.
Sejumlah fan berat dan garis keras menempuh studi di Eropa sambil menonton laga tim kesayangan.
SEPAK BOLA kerap melahirkan fanatisme pada sikap dan tindakan pendukung atau penggemarnya. Mereka berani dan rela melakukan sejumlah hal untuk mengungkapkan kecintaan pada klub sepak bola idola. Hal ini tak melulu terjadi pada penggemar klub bernama besar seperti Manchester United, Juventus, Real Madrid, Bayern Muenchen, atau Paris Saint-Germain. Suporter klub-klub papan tengah dan bawah juga berani membuktikan kecintaan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya suporter yang bernaung di Parmagiani Indonesia—komunitas fan klub Italia, Parma Calcio 1913. Para anggotanya pernah urunan secara pribadi dan lewat komunitas untuk membantu keuangan Parma saat klub berjulukan I Gialloblu atau Si Kuning-Biru tersebut bangkrut pada 2015. Saat itu tim yang masih bernama Parma FC ini ditutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajemen baru membuka sarana donasi bagi semua orang untuk membantu pembentukan klub sepak bola baru di Kota Parma. Mereka harus membentuk skuad baru dan merintis perjalanan dari Seri D, liga semiprofesional level terbawah di Italia. Sejumlah mantan pemain Parma dan suporter pun beramai-ramai memberikan sumbangan, termasuk Parmagiani Indonesia.
"Lumayan nominalnya. Nama Parmagiani pun diukir pada tembok museum sebagai salah satu penyumbang, meski tulisannya kecil," kata Sekretaris Parmagiani Indonesia Arie Arvianto kepada Tempo, Jumat, 9 September lalu.
Akun instagram Klub Fiorentina memposting foto Eric Hartanto Wahyudi saat menyakiskan pertandingan Fiorentina melawan Sampdoria, di Firenze, Italia, November 2016. Instagram ACF Fiorentina
Tifosi alias kelompok suporter Parma lebih banyak lahir dari penonton Liga Seri A pada akhir 1990-an. Saat itu klub papan tengah ini memiliki pemain bertalenta yang kemudian mengisi posisi utama tim nasional masing-masing, seperti Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, Hernan Crespo, Enrico Chiesa, Diego Fuser, dan Gianfranco Zola. Pada era ini, Parma juga berhasil menumbangkan sejumlah klub raksasa Eropa dalam Piala Italia, Piala Super Italia, dan Piala UEFA.
Setelah bangkrut, klub yang bermarkas di Stadion Ennio Tardini tersebut kembali berlaga di Seri A dalam tiga tahun. Tapi mereka kemudian terdepak ke Seri B setelah duduk di posisi buncit pada musim 2020-2021.
"Kami termasuk garis keras. Mau main di liga seri apa pun, tetap dukung Parma. Tapi ya tak punya regenerasi. Anak muda sekarang mana ada yang nge-fans tim seperti Parma," ucap Arie.
Salah satu anggota Parmagiani Indonesia, Greffio Faraldo, 33 tahun, bahkan sengaja mengambil jatah cuti dari pekerjaannya untuk pergi ke Parma, Emilia-Romagna, Oktober 2015. Dia mengatakan sudah lama ingin mewujudkan keinginannya pergi ke markas klub kesayangannya tersebut. Dia berkunjung saat Gialloblu berada di titik terbawah.
Greffio mengaku belum memiliki pengalaman mengunjungi Italia. Sebagai pekerja di bidang teknologi informasi, dia hanya menyiapkan sejumlah cara agar tak tersesat, antara lain mengunduh semua informasi peta dan rute dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Meski demikian, dia sempat keliru terutama saat menaiki kereta lokal dari Roma ke Parma. Dia tertinggal kereta saat harus berpindah peron di Kota Bologna.
Selama empat hari, Greffio bertemu dengan manajemen dan The Boys—kelompok suporter fanatik Parma. Dia pun berkesempatan mengikuti tur museum dan stadion secara gratis. Dia juga bisa berjumpa dengan para pemain pada sesi latihan. Bahkan profil dan kisah perjalanannya ini menjadi berita di sejumlah media lokal Parma.
"Ketika itu memang sedang ada rezeki dari pekerjaan. Saya berpikir, dalam hidup minimal satu kali bisa ke Parma," tutur pengidola tim nasional Italia tersebut.
Dia juga salah satu anggota Parmagiani Indonesia yang memberikan sumbangan kepada Parma secara pribadi. Selama periode donasi, dia setidaknya menyumbang sekitar Rp 15 juta untuk manajemen klub tersebut. Sebagai imbalan, Parma memberikan tiga jersi resmi dan tanda tangan kapten tim saat itu, Alessandro Lucarelli. “Nama saya juga ada di museum Parma. Ukurannya kecil, tapi itu saja sudah membuat bangga,” ujar Greffio.
Tifosi asal Indonesia yang juga setia pada klub Italia yang prestasinya tak stabil adalah Viola Club Indonesia, suporter tim Fiorentina. Sebagian besar anggotanya awalnya kepincut aksi pemain klub tersebut asal Argentina, Gabriel Batistuta, pada 1991-2000. Meski demikian, komunitas ini tetap bertahan meski sang bintang sudah pensiun dan klub tersebut bangkrut dan harus merangkak dari Liga Seri C 2 pada 2002.
Salah satu anggotanya, Eric Hartanto Wahyudi, 37 tahun, bahkan sempat membuat geger akun media sosial penggemar tim berjulukan I Viola atau Si Ungu tersebut. Dia mengunggah sebuah video singkat berisi keinginannya bertemu dengan pemain Fiorentina di Twitter. Dalam unggahan tersebut, dia menandai akun-akun manajemen dan pemain Fiorentina. Hal ini dia lakukan beberapa hari sebelum berangkat ke Italia, Februari 2019. “Sebenarnya saya ada acara di tempat kerja, liburan ke Spanyol. Tapi saya perpanjang perjalanan karena mau mampir dulu ke Italia,” kata Eric.
Cuitan Eric ternyata mendapat respons dari berbagai kelompok, terutama tifosi Fiorentina di Kota Firenze. Bahkan videonya diunggah ulang atau mendapat re-tweet lebih dari 150 ribu kali. Sejumlah media lokal pun membuat berita tentang aksi dan rencana kedatangan fan asal Surabaya tersebut. Bahkan sebuah media online membuat berita Eric sudah tiba saat pesawatnya mendarat di Firenze.
Dia juga mendapat sambutan dari suporter Fiorentina saat hadir di Stadion Artemio Franchi untuk menonton laga Fiorentina versus Inter Milan yang berakhir dengan skor imbang 3-3. Dia kerap mendapat sapaan, jabat tangan, hingga permintaan foto bersama. Selama pertandingan, dia pun duduk bersama Curva Fiesole—sebutan untuk grup suporter fanatik Fiorentina—di belakang gawang.
Pada jeda pertandingan, dia sempat iseng mengangkat banner dengan tulisan tentang suporter Fiorentina asal Indonesia. Aksi tersebut langsung disambut ribuan pengunjung stadion yang menyuarakan yel-yel dengan menyebut Viola dan Indonesia. “Itu, kalau bahasa Jawa, mbrebes mili. Benar-benar berkesan dan mengharukan,” tutur Eric.
Dia pun mendapat sambutan hangat saat menemui para pemain pada sesi latihan. Selain mengobrol dan berfoto, para penggawa I Viola memberikan tanda tangan. Eric bercerita, salah satu pemain Fiorentina, Kevin Diks, sebenarnya sudah mengirimkan pesan di media sosial. Isinya, pemain yang sedang dipinjamkan ke klub Empoli tersebut ingin bertemu saat Eric ke Italia. Tapi pesan itu baru Eric baca setelah ia kembali ke Indonesia.
Meski demikian, Diks bisa mewujudkan keinginannya dengan mengajak Eric bertemu Viola Club Indonesia saat berkunjung ke Jakarta. Eric terbang ke Jakarta untuk menemui Diks di tempat sang idola menginap. Dalam pertemuan tersebut, Diks memberikan empat jersinya bagi suporter tim yang belum meraih trofi lagi sejak 2001 itu.
Mahir Pradana di Stadion Ramon Sanchez Pizjuan, Sevilla, Spanyol, November 2017. Dok Pribadi
Sebelumnya, Eric pertama kali pergi ke Firenze saat berlibur ke sejumlah tempat di Eropa, November 2016. Saat itu dia sengaja menyisihkan waktu selama empat hari yang bertepatan dengan jadwal dua laga Fiorentina di Stadion Artemio Franchi. Dia mengaku harus membeli tiket langsung di stadion dengan harga sekitar Rp 600 ribu. Dalam perjalanan pertama ini, dia tak punya banyak kesempatan bertemu dengan pemain.
Perjalanan ke markas tim di kawasan Eropa tentu memerlukan biaya besar. Beberapa fan lain memiliki cara dan strategi sendiri untuk bisa bertemu dengan tim idola. Salah satunya Darma Ananda Putra, Presiden Indospurs, yang memilih bertemu dengan para pemain klub Inggris, Tottenham Hotspur, di Singapura, Juli 2019. Saat itu klub berjulukan The Lilywhites tersebut tengah menjalani pertandingan pramusim melawan klub Italia, Juventus, yang berakhir dengan kekalahan 2-3.
Darma mengatakan komunitas fan Spurs di Asia berkembang cukup pesat. Mereka memiliki jalur komunikasi dan kerja sama dalam berbagai kegiatan. Hal ini membuat manajemen Spurs melirik Asia sebagai basis fan dan pasar bagi klub asal London Utara tersebut. Hal ini juga yang membuat rombongan Indospurs mendapat kesempatan menghadiri acara resmi hingga belakang panggung. “Saat itu bawa satu jersi yang ditandatangani 18-20 pemain Spurs,” ucapnya.
Menurut Darma, manajemen klub juga kerap mengirimkan suvenir atau pernak-pernik kepada pengurus komunitas suporter di suatu negara. Hal ini membuat komunitas Indospurs bertumbuh hingga memiliki cabang di sejumlah kota di luar Jawa dengan anggota terdaftar lebih dari 800 nama.
Darma mengoleksi jersi Spurs. Saat ini dia memiliki 15 seragam asli yang didominasi jersi musim 2000-an. Menurut dia, pakaian pemain pada era tersebut memiliki tampilan menarik. Dia mengaku baru menyukai klub tersebut saat menonton pertandingan Tottenham melawan Derby County pada 2004.
Didit Nugroho, anggota Indospurs, mengatakan tak mudah mendapatkan jersi asli tim sepak bola papan tengah dan bawah. Sejumlah toko jenama resmi lebih sering menjual pakaian tanding klub besar yang memiliki banyak penggemar. Dia pun berburu jersi Spurs dari mengunjungi lokapasar asing hingga menggunakan jasa titip. “Saya punya ratusan jersi kalau dihitung dari awal. Tapi yang saya koleksi 20-an saja. Sisanya sudah dijual ke anggota Indospurs,” ujar Didit.
Beasiswa kuliah juga bisa menjadi sarana menyalurkan kecintaan pada klub sepak bola. Seperti pengalaman Mahir Pradana, 37 tahun, saat mengambil program studi strata tiga di Sevilla, Andalusia, Spanyol. Dia mengaku sejak kecil menyukai sepak bola negeri yang memiliki tim nasional berjulukan La Furia Roja atau Si Murka Merah tersebut. Namun dia saat itu belum memiliki minat pada klub liga Spanyol alias La Liga.
Kecintaan Mahir pada Sevilla FC justru muncul di tengah proses studi di Spanyol. Saat itu dia mendapat pesan dari Fatmawati, pemimpin Peña Sevillistas Indonesia—komunitas suporter Sevilla di Indonesia. Dalam komunikasi tersebut, Sevillistas Indonesia meminta bantuan pengurusan legalitas agar menjadi komunitas suporter resmi klub berjulukan Los Nervionenses tersebut. Proses itu memang mengharuskan pemohon mengisi formulir berbahasa Spanyol dan membayar biaya pendaftaran. Setelah kelompoknya diresmikan, Fatmawati meminta Mahir menjadi sumber informasi perkembangan klub Sevilla.
Mahir lantas perlahan memiliki kedekatan emosional karena berada di tengah masyarakat yang menyukai sepak bola. Tempat kuliah dan belanjanya pun dekat dengan Stadion Ramon Sanchez-Pizjuan serta lapangan latihan tim. Dia tertarik pada sejarah Sevilla FC sebagai akar dan klub sepak bola tertua di Spanyol.
Dia mengaku beberapa kali menonton pertandingan langsung dengan harga tiket 30-80 euro pada 2016-2019. Dia juga sering menonton laga secara gratis karena menjadi kontributor sebuah media daring di Indonesia. Status ini juga yang membuatnya berkesempatan mengikuti konferensi pers dan kegiatan pemain lain.
Meski demikian, tutur Mahir, akses wartawan tak berlaku dalam setiap pertandingan. Khusus dalam pertandingan melawan klub besar atau ajang internasional, manajemen akan membatasi jumlah wartawan yang mendapat akses gratis. Contohnya, dia menjelaskan, saat Sevilla menjamu Manchester United dan Bayern Muenchen pada perhelatan Liga Champions 2017-2018. Tiket umumnya pun dihargai hingga 500 euro atau Rp 7,5 juta. “Akhirnya hanya nonton dan nunggu di luar stadion,” ujarnya.
Mahir bercerita, suasana kecintaan pada sepak bola di Kota Sevilla turut membangun minatnya. Salah satunya kisah pemain hebat kelahiran Sevilla, Antonio Puerta, yang meninggal di tengah pertandingan melawan Getafe, 25 Agustus 2007. Pemakaman pemain tengah ini kabarnya menyatukan Kota Sevilla yang berisi dua ultras atau kelompok suporter fanatik yang masing-masing mendukung Sevilla FC dan Real Betis. “Bahkan hingga saat ini di stadion setiap menit ke-16 pertandingan semua penonton akan hening. Mereka mengenang Antonio Puerta,” tutur Mahir.
Yaman Suryaman saat menyaksikan pertandingan Liverpool di stasion Anfield, Liverpool, Inggris. Dok Pribadi
Fan lain yang juga bisa datang ke markas klub kesayangan lewat program beasiswa adalah Yaman Suryaman, 47 tahun. Dosen Universitas Garut, Jawa Barat, ini sengaja mengambil program pembiayaan pendidikan di Inggris agar dekat dengan markas Liverpool FC. Dia mengatakan mendaftarkan diri di universitas di Liverpool dan London pada 2015.
Walau begitu, upayanya menonton The Reds— julukan klub Liverpool—cukup berat pada awal kedatangannya. Selain berfokus kuliah, dia tak memiliki banyak uang untuk membeli tiket di Stadion Anfield yang berkisar Rp 5-6 juta per pertandingan. Sebagian besar tiket pun telah dibeli suporter yang menjadi anggota. Walhasil, dia hanya menonton laga Liverpool versus Wolverhampton yang berakhir dengan kekalahan. "Kalau laga Liga Champions bisa lebih dari Rp 10 juta per tiket," ucapnya.
Yaman mulai rutin menonton laga The Reds setelah menjadi petugas accessibility steward atau pendamping penonton difabel di Stadion Anfield pada 2017. Sejak saat itu, dia dapat menyaksikan semua pertandingan Liverpool di markas tim tersebut. Bahkan dia juga bisa datang ke semua konser musik dan acara yang digelar di stadion berkapasitas 53.394 orang itu.
Setiap kali bertugas di stadion klub sepak bola itu, dia pun mendapatkan upah sekitar Rp 1,5 juta. “Saya suka filosofi bermainnya. Sebelum peluit berbunyi, berarti belum kalah. Sering Liverpool sudah ketinggalan skor kemudian menyamakan kedudukan dan menang,” kata Yaman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo